"Mana uang bulanannya? Tante tau kamu udah gajian."
Tarra meletakkan amplop berwarna coklat di meja dapur. Dengan mendesah pelan, Tarra mengutarakan niatnya ke Tante Alma, istri Om Bagas.
" Tan...Tarra bulan depan boleh nggak motongnya nggak 50 persen lagi? Soalnya Tarra berencana mau ngekos aja. Tarra tau, Tarra udah ngerepotin Om dan Tante," ucap Tarra pelan padahal aslinya Tarra sebel sama Tantenya. Bukannya mau kurang ajar sih.
" Baguslah kalo kamu pengen keluar dari rumah ini, kenapa nggak secepatnya?" sinis Tante Alma.
Wong gaji aja buat Tante. Gimana gue bisa ngekos. Mikir Tante. Mikir!
" Ini, tabungan Tarra belum cukup, Tan," kata Tarra masih bersikap sopan.
" Ngapain aja kerja bertahun-tahun nggak ada tabungannya. Makan tinggal makan. Kamu boros sih." Tante Alma lalu membalikkan badannya dan memberi arahan ke Mboh Yah, pembantu keluarga ini untuk memasak kepiting asam manis kesukaan Om Bagas.
Tarra menggertakkan giginya tanpa sepengetahuan Tantenya. Kalau bukan karena Om Bagas, Tarra nggak bakal bertahan di rumah ini. Semua penghuninya baik. Kecuali ya makhluk di depan Tarra sekarang. Sang nyonya besar.
Sejak awal ketika Tarra bekerja di perusahaan Priambodo, Tantenya meminta terus terang untuk menyisihkan gaji Tarra dengan alasan untuk uang dapur. Padahal Om Bagas udah bilang kalo Tarra nggak usah memberi apapun untuk Om Bagas. Om Bagas sendiri orang mampu dan membantu Tarra sudah kewajibannya sebagai adik ayahnya. Tapi Tantenya meminta setengah dari gaji Tarra tanpa sepengetahuan suaminya. Bisa dibilang Tarra pelit dan super hemat karena itu.
" Ngapain kamu masih disitu? Nggak berangkat kerja? Sana pergi," usir Tante Alma. Tarra hanya bisa mengangguk dan pamit ke Tantenya. Tadi Rudolf udah nawarin buat bareng tapi Tarra tolak. Gara-gara siapa? Tentu aja lagi-lagi si nyonya besar yang mengancam Tarra untuk tidak merepotkan suami dan anaknya.
" Tarra pamit, Tante." Bahkan ketika Tarra hendak mencium punggung tangannya, Tante Alma langsung melengos. Tarra mengedikkan bahunya dan tersenyum kecil ke Mbok Yah yang tersenyum padanya. Tarra membalikkan badannya dan bergegas keluar rumah. Udah setengah tujuh dan Tarra nggak yakin bakal nyampe di kantornya on time.
Karena terdesak, Tarra memilih naik taksi. Begitu naik taksi, Tarra membuka dompetnya dan mendesah sedih. Tak apalah, nggak makan siang 4 harian. Yang penting di rumah Om Bagas masih bisa makan.
Handphone jadul Tarra berbunyi, dilihatnya id penelepon yang ternyata Rudolf.
" Hallo"
" Tar ... kamu dimana? Pak Tian nyariin kamu tuh! Kamu nggak inget harus berangkat pagi karena Pak Tian mau cek lapangan? Tadi diajakin nggak mau."
Tarra lalu menepok jidatnya. Lupa kalau kemarin Tian berpesan jam 7 tet, Tarra harus udah ada di kantor.
" Maaf, Pak. Saya lupa."
" Pak Tian udah marah-marah tuh. Udah naruh setumpuk file di meja kamu buat kamu pilah dan tulis ulang. Saya dan Pak Tian harus berangkat sekarang. Kata Pak Tian, sebelum Pak Tian balik, semua harus udah selesai," perintah Rudolf.
" Siap, Pak!"
Tarra lalu mematikan handphone-nya dan menyuruh sang sopir untuk ngebut. Sesampainya di kantor, Tarra bergegas naik lift dan menuju mejanya. Betapa terkejutnya Tarra karena file-file yang ditaruh di meja banyak sekali.
" Setumpuk? Lima tumpuk kek gini dibilang setumpuk? Anda syuper sekali Pak Tian." Tarra lalu bergegas duduk di kursinya dan mulai memilah file atau Yang mulia Christian bakal ngamuk.
*************
Tian sedang bad mood.
Tarra melirik ke Tian yang sedang mendiskusikan sesuatu dengan Rudolf, sedangkan Tarra sibuk memilah file selama 3 jam nonstop duduk tanpa sedikitpun istirahat. Tarra mendengus kesal. Siapa yang nyangka kalo Tian bakal dateng 2 jam setelah Tarra datang. Karena Tarra belum selesai memilah file, Tian menyuruh Tarra memindahkan file ke mejanya dan menyortirnya di sana. Bahkan ketika ada telpon masuk di meja Tarra justru yang mengangkat telponnya Rudolf. Sampai Tarra mikir, Ini siapa yang asisten siapa yang sekretaris sih?
Tangan dan punggung Tarra mulai pegal. Bahkan matanya mulai memerah tidak bisa berkedip. Rasanya panas.
Rudolf selesai berdiskusi dengan Tian dan menghampiri Tarra. " Udah jam satu loh, Tar."
Tarra melirik ke jam dinding yang mempertegas bahwa jam makan siang udah lewat, yang artinya Tarra nggak bisa nyolong bekal makan siangnya Kania. Yang artinya dia nggak akan makan siang.
" Sudah tau saya, Pak," senyum Tarra ke Rudolf. Tian yang duduk di depan Tarra hanya diam.
Lagian gimana gue bisa pergi makan kalo gue duduk berhadapan gini. Mana ngeliatnya nggak enak lagi.
Tarra melirik ke Tian. Dari pandangan acuh tak acuhnya saja membuat Tarra kesal.
" Dia dapat beristirahat kalau pekerjaannya sudah selesai, ini harusnya sudah selesai sebelum jam makan siang kalau dia tidak terlambat," kata Tian dengan nada datarnya. Tian kembali sibuk melihat laptopnya sedang Rudolf menggeleng pelan. Rudolf tahu betapa berharganya kata 'makan' buat Tarra.
" Saya nggak papa kok Pak Rudolf. Biasanya kalo kelaparan dan kelelahan efeknya ngeri. Entar juga gampang Pak, kalo saya lapar tinggal saya mutilasi siapapun yang seruangan sama saya entar. Saya bakal makan dagingnya dengan darah masih mengalir dan hatinya saya jadikan makanan penutup. Maknyus," kata Tarra kalem sambil menyortir file yang tinggal sedikit lagi. Tarra tahu Tian bergidik ngeri mendengar omongan Tarra makanya Tarra nggak berani ngeliat Tian.
" Em ... karena saya nggak ikut-ikutan, saya sebaiknya kembali ke ruangan saya," kekeh Rudolf lalu melihat ke Tian. " Masalah ini akan saya bereskan Pak sebelum kita bertemu dengan klien terbaru," kata Rudolf lalu pergi ketika Tian mengangguk.
Keadaan langsung sepi sepeninggal Rudolf. Tarra dan Tian sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, tapi akhirnya Tian berdeham memecah kesunyian.
" Ehem!"
Nggak ada respon sama sekali dari Tarra.
" EHEM!"
Tarra melirik sekilas kemudian sibuk kembali dengan aktivitasnya.
" Ka ... kamu istirahat aja dulu. Saya nggak ingin jadi korban kelaparan kamu," gagap Tian membuat Tarra akhirnya tertawa lebar.
" Hahahahaha. Bapak percaya saya bakal mutilasi bapak?" Tian mengangguk pelan.
" Bapak kayak nggak tau saya aja. Kita kan udah kenal selama..." kata-kata Tarra langsung berhenti karena Tian menatapnya tajam. Seketika memori tentang perkenalan mereka dulu dan kejadian di malam itu menyeruak di pikiran mereka. Tanpa sengaja mereka saling memandang lama.
" Selama...?" bisik Tian menggantung ucapannya. Atmosfir di ruangan Tian mendadak kurang oksigen karena sekarang Tarra tidak bisa mengatur nafasnya. Rasanya Tarra tercekik karena Tian memandangnya dengan pandangan berkabut. Tarra langsung memutus kontak mata mereka.
" Selama ... lamanya eh selama sebulan ini, Pak," kata Tarra sembari menunduk. Tarra masih ingat bagaimana dulu mereka berpisah.
Jangan pernah anggap gue ada. Ketika kita bertemu nanti, jangan harap gue bakal inget siapa lo. Lo juga jangan sok kenal sama gue.
Tarra mengingat kembali kata-kata Tian saat itu. Tian menginginkan seperti itu maka Tarra akan melakukan hal yang telah mereka sepakati. Tidak saling kenal.
" Hehehe. Ekspresi muka bapak lucu," kata Tarra berusaha ngeles padahal jelas-jelas Tian sedang diam dan tatapan tajamnya mampu membuat Tarra salah tingkah.
" Saya tidak lucu, Nona bodoh," kata Tian dengan nada dinginnya, "dan sekarang kembali ke meja kamu. Gunakan otak kamu untuk berpikir dan bukannya mulut manis kamu untuk menyelesaikan pekerjaan."
Tanpa banyak bicara, Tarra berdiri dan pergi keluar. Dibantingnya pintu ruangan Tian hingga membuat Tian kaget dan menggelengkan kepalanya.
" Selalu aja ngetes kesabaran gue. Lo emang nggak berubah, Ra."
Sedang Tarra di luar justru tersenyum senang.
" Dia bilang mulut gue manis," cekikik Tarra.
**************
Telepon di meja Tarra berdering. Tarra tahu ini pasti dari FO. Dia lalu segera mengangkat telpon dan menjawabnya.
" Halo. Dengan sekretaris Pak Tian berbicara."
" Ibu Tarra, ada Bapak Alan hendak bertemu dengan Pak Tian..." Tarra lalu melihat ke buku note nya "...beliau sudah mengadakan janji temu dengan Pak Tian."
" Suruh langsung ke atas aja." Tarra lalu memutuskan telpon dan menekan tombol di line 1 untuk Tian.
" Pak, ada Pak Alan datang. Beliau sedang menuju ke sini." Tarra menutup telponnya setelah Tian menjawab dengan jawaban simple 'oke'. Tian keluar dari ruangannya dan menunggu Pak Alan di depan meja Tarra.
Seistimewa apa sih sampe ditungguin gini. Bukan pacarnya kan?
Tanpa sadar Tarra bergidik ngeri membayangkan hal aneh tentang Tian dan Alan. Ketika Alan keluar dari lift, Tian langsung mendekat dan memeluk laki-laki tampan yang masih muda itu.
" Hei bro, lama nggak ketemu. Gimana kabar lo? Gue seneng denger kalo lo bakal netap lama di Jakarta. Bosen di Surabaya?" kata Tian memukul lengan Alan. Alan terkekeh dan balas memukul ringan tangan Tian.
" Nggak ada yang bikin gue betah sih. Moga aja disini ada," sahut Alan membuat mereka berdua tertawa. Dan ketika akhirnya mereka berhenti tertawa, Alan menyadari Tarra yang sedang melihat mereka.
" Hei! Siapa gadis cantik ini?" tanya Alan. Tian lalu mengajak Alan mendekat ke Tarra.
" Dia sekretaris gue. Perkenalkan dia Tarra dan Tarra perkenalkan dia Bapak Alan," ujar Tian saling memperkenalkan Alan dan Tarra. Alan memandang Tarra sembari menggodanya. Seketika Tian merasa kesal.
" Dia sahabat baik gue," kata Tian mempertegas ucapannya. Tarra menoleh bingung dengan sikap Tian. Dulu bilangnya nggak boleh saling kenal. Sekarang malah dikenalin sebagai sahabat baiknya Tian. Alan mengangguk memahami maksud Tian.
" Oke. Gue tahu peraturannya. Tidak ada acara saling menggoda di kantor. Hai, Tarra. Senang berkenalan dengan kamu," senyum Alan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
" Senang berkenalan dengan anda, Pak Alan," kata Tarra menyodorkan tangannya juga tapi alih-alih saling berjabat tangan, Alan meraih tangan Tarra dan mencium punggung tangannya.
Tarra merona dengan perlakuan Alan dan tersenyum malu. Di sebelahnya Tian melihat tidak percaya.
Alan akhirnya melepaskan tangan Tarra dan melirik ke Tian.
" Upps. Gue nggak bisa menolak pesona kecantikannya"
Tian sama sekali tidak merasa senang, harusnya Tian sebal ke Alan tapi justru Tarra yang dimarahinya.
" Kamu tahu apa pekerjaan kamu selain menggoda tamu saya kan, Nona Tarra?"
Ugh! Pengen banget gue tembak kepalanya.
Tarra melirik dan menunduk hormat ke Tian.
" Yes your majesty. Pelayan ini akan melayani anda with pleasure"
Seketika Alan merasakan ada aura gelap di atas Tian dan Tarra. Mereka saling mengirimkan tatapan mematikan yang membuat Alan tersenyum geli. Rudolf yang seperti merasakan adanya aura nggak enak, keluar dari kantornya dan menyapa Alan.
" Siang Pak. Lama tidak bertemu," sapa Rudolf. Tarra dan Tian memandang dengan pandangan aneh. Bukan memandang Rudolf tapi karena aura tidak senang mereka akan sesuatu.
Tian sebenarnya kesal dengan Alan. Tapi mereka sudah lama tidak saling berjumpa. Masak hanya karena seorang wanita mereka bertengkar.
" Ayo masuk ke ruangan gue aja. Rudolf, kamu ikut ke dalam. Dan kamu..." tunjuk Tian ke Tarra " ...tetap disini dan lakukan pekerjaan kamu," perintah Tian. Tanpa dikomando Rudolf mengikuti Tian masuk ke ruangannya. Sebelum Alan masuk, Alan membisikkan sesuatu ke Tarra.
" Saya tidak akan pernah menyerah, Nona Tarra." Alan kemudian mengirimkan kedipannya untuk Tarra.
Tarra langsung melongo dan tanpa sadar berdiri membeku terhipnotis dengan kata-kata Alan. Alan masuk ke ruangan Tian kemudian Tian keluar dan berdiri di depan Tarra dengan sikap bermusuhan. Tadi Tian mendengar apa yang dikatakan oleh Alan.
" Tidak! Saya tidak akan memberikan ijin saya!" kata Tian sambil menyilangkan tangannya di depan Tarra. Tarra hanya bisa mengangguk seperti orang bodoh.
Maksudnya?
*************
" Gue kadang nggak ngerti sama Tian. Hari ini benci gue trus bilang A. Besoknya kayak minta baikan trus bilang B. Dipikirnya gue samsak tinju kali ya. Tempat luapan emosinya dia," gerutu Tarra. Hari ini Tarra berhasil kabur dari cengkraman Tian setelah beberapa hari ini Tian selalu nyuruh Tarra buat makan siang di mejanya. Sejak kejadian sama si Alan.
" Kemarin aja pas Pak Arka dateng, gue godain dikit dibentak coba. Masak bilang 'kamu yang bakal saya pegang duluan sebelum kamu megang dia' entah maksudnya apa," kata Tarra menirukan gaya bicaranya Arka.
Kania tersenyum geli " Kalian ya. Bikin gue sedih. Sampai sekarang pada nggak nyadar. Nyesel tau rasa dia. Lo juga. Gampang banget luluh dicium tangan lo aja sama siapa tuh? Alan?"
" Hehehe. Habisnya Pak Alan cakep, Ni. Lo juga pasti kesengsem. Nggak mungkin nggak."
" Hati-hati sama orang cakep. Kalo nggak playboy ya homo. Tuh kayak kelakuan Tian." Tarra mengangguk setuju lalu segera memakan bekal Kania. Kania bela-belain datang ke kantor Tarra, karena Tarra bilang dia kelaparan, nggak punya uang. Sekarang mereka mojok duduk dekat FO, takut ketahuan Tian.
" Hem...enak ya, Ra. Lo kenyang gue yang laper. Untung bapak gue nggak pernah protes kalo gue minta uang jajan lebih," sindir Kania. Tarra tersenyum lebar memperlihatkan giginya. Beruntung memang punya sahabat Kania. Tarra nggak pernah menderita kelaparan.
" Eh Ra! Tian! " kata Kania setengah berteriak. Tarra langsung bersembunyi di bawah meja FO sedangkan Kania yang ngerasa nggak punya dosa tetap duduk di kursi.
" Lo sembunyi juga kek!" kata Tarra lalu memberi kode ke mbak FO kalau Tian nanya dimana Tarra bilang aja nggak tahu. Mbak FO hanya mengangguk ragu.
" Gue kan nggak punya masalah sama Tian. Eh dia celingukan loh, Ra. Tapi ada cewek gitu yang lagi ngajak ngobrol Tian. Cewek kekinian Ra. Itu tuh yang putih di muka aja," timpal Kania. Tarra berdiri setengah mengintip Tian lalu menunduk lagi.
" Oh, cewek korban abu vulkanik maksud lo? Yang tebel banget abu di wajahnya," ujar Tarra lugas. Mbak-mbak FO yang mendengar menahan tawa mereka. Tanpa sengaja Tian melihat keganjilan sikap mereka. Kania tidak menyadari bahwa Tian kini melihatnya. Melihat Kania sedang berbicara menghadap ke bawah. Tian menggunakan kesempatan itu untuk mendekat ke Kania dan kabur dari perempuan yang sekarang mengajaknya berbicara. Tian bahkan tidak kenal siapa wanita itu ketika tahu-tahu sang wanita nyamper dan bersikap SKSD.
" Selera bos lo ajib bener ya? bukannya dia suka yang gede di depan dan gede di belakang?" cengenges Kania.
" Hahahaha. Kingkong maksud lo? Itu kan juga gede di depan dan gede di belakang," tawa Tarra puas. Tarra masih tertawa ketika menyadari tidak ada yang tertawa bersamanya.
" Sudah puas tertawanya Nona Tarra?" Kata Tian terdengar dingin. Tarra menelan ludahnya kasar lalu dengan cengiran khasnya, Tarra berdiri dan menyapa Tian.
" Hallo Pak Tian. Nemu juga saya disini. Jadi malu saya, Pak."
Tian hanya diam dan memandang Kania. Sorotnya berbeda saat memandang Tarra.
" Hei Kan. Lama nggak ketemu. Lo kerja dimana sekarang?" tanya Tian dengan nada biasanya.
" Biasalah. Di tempatnya Babe. Tau sendiri lah gimana," jawab Kania.
" Sorry, bukannya mau ngusir tapi gue musti bawa sekretaris gue ke atas lagi. Jam istirahat udah selesai soalnya," kata Tian memberi alasan. Serentak mbak-mbak FO, Kania dan Tarra menengok ke jam di atas mereka. Baru setengah satu siang yang artinya masih ada setengah jam lagi jam istirahat.
" Gue ngerti, Ti. Lagian gue kesini cuma dimanfaatin buat nganter makanan doang. Biasalah ngeluh..." belum juga Kania menyelesaikan kalimatnya, Tarra langsung membekap mulut Kania.
" Oke, Bos. Ayo ke atas, sebelum ada yang saya umpanin ke ikan piranha," ujar Tarra melirik tajam ke Kania. Tarra memberi peringatan lewat matanya ke Kania. Jangan sampai Tian tahu tentang kehidupannya karena itu dulu salah satu hal kenapa Tian membencinya. Tarra nggak mau dikasihani.
Kania mengedipkan matanya berkali-kali mengerti akan kode keras Tarra. Tarra dengan lemas meninggalkan Kania mengikuti Tian untuk masuk ke lift. Tian sudah mengucapkan salam perpisahannya ke Kania dan kini mereka memasuki lift khusus petinggi direksi. Berdua hanya dengan Tian membuat Tarra grogi.
" Lain kali kalo sembunyi di bawah perhatikan apa yang kamu pakai," kata Tian cepat. Tarra seketika melirik ke blouse nya dan mendesah kesal karena belahan dadanya terlihat jika dilihat dari atas.
" Saya sih seneng-seneng aja lihat tontonan gratisan. Toh kamunya sukarela ngelihatin," sindir Tian. Tarra melirik kesal ke Tian dan berbisik, "mesum."
" Saya dengar loh. Lagian saya m***m kalo yang dimesumin mau." Tian melirik Tarra sekilas lalu pintu lift terbuka. Tian keluar sembari tersenyum kecil. Dibelakang Tarra masih di dalam lift sedang mengamuk. Tarra memencet tombol sesuka hatinya sembari mengumpat.
Damn it!
" Oke! Gue besok pake baju kurung ke kantor!"
****************