"Ayo dimakan. Tunggu apalagi?" kata Tian. Tarra masih terdiam menatap makan siangnya. Tidak ada yang salah dengan makan siangnya. Makan siangnya begitu nikmat dilihat. Tarra juga tidak sabar untuk bisa makan. Tapi bukan itu yang mengganggu Tarra.
Tarra melirik sebal ke Tian.
"Menunya kurang? Mau saya telponin OB buat ambil lauk lagi di kantin kantor?" kata Tian terdengar dingin. Tarra sampai merinding.
"Maaf, Pak. Tapi saya nggak bisa makan berhadapan dengan Bapak. Apalagi di meja Bapak," balas Tarra ketus.
" Saya tidak keberatan kamu makan di meja saya."
" Saya yang keberatan pak! Apalagi menunya ayam. Banyak tulang mudanya. Saya kan suka krikit-krikit. Saya nggak yakin Bapak nyaman melihat saya makan tulang ayam. Lagian kenapa saya harus makan di meja Bapak? Di meja saya sendiri juga nggak masalah," serang Tarra. Tian menggeser laptopnya agar bisa melihat Tarra jelas. Digelengkannya kepala sebentar mendengar bahasa Tarra yang campur aduk. Mungkin karena Tarra orang Jawa. Ditatapnya Tarra dengan tatapan tajamnya. Tarra berusaha tidak terintimidasi dengan pelototan Tian.
" Perlu saya ingatkan kembali alasan kamu makan disini? Kamu selalu tidak tepat waktu kembali ke kantor. Dan lagi saya sudah bilang ini untuk menyingkat waktu. Rudolf sedang saya tugaskan ke Singapore untuk mengecek cabang di sana dan saya sangat membutuhkan kehadiran kamu sebagai asisten sementara dan sekretaris saya." Tian memajukan badannya dan bersedekap.
" Sudah ingat kan?" kata Tian lagi. Tarra langsung mendengus. Seandainya bisa pasti Tarra protes. Tapi Tarra tahu itu pasti sia-sia. Tidak ada gunanya melawan Bos. Peraturan pertama bagi Bos adalah Bos selalu benar. Kalo Bos salah kembali ke peraturan pertama. Kalo pegawai benar kembali lagi ke peraturan pertama.
Walau Tarra tahu Tian bukan tipe bos seperti itu. Tian masih mau mendengarkan keluh kesah pegawainya. Tian bukan orang yang menuduh tanpa bukti.
Masalahnya Tarra tidak pernah benar-benar terlambat. Dia selalu datang sebelum jam satu. Tianlah yang menentukan sendiri jam istirahat Tarra. Mentang-mentang Tian jarang istirahat. Tian terlalu workaholic.
Tarra melihat d**a ayam yang sudah melambai-lambai minta disentuh. Dengan berat hati Tarra akhirnya mulai makan. Tian kembali memfokuskan diri ke laptopnya.
" Bapak nggak makan? Saya nanya bukan saya khawatir lho Pak. Hanya saya nggak enakan kalo makan sendiri," kata Tarra di sela-sela mengunyah. Tian hanya melirik sekilas lalu kembali fokus ke pekerjaannya. Tian malah diam tidak menjawab pertanyaan Tarra.
Yak! Kacang-kacang! mijon-mijon! Lumayan buat ngelempar manusia beton aneh!
Tarra mengedikkan bahunya. Memilih tidak peduli dengan Tian. Tarra makan dengan lahap. Berusaha memakan tulang muda kesukaannya. Masa bodo dengan image kalau udah makan.
" Minggu depan kamu ada acara?" tanya Tian tiba-tiba. Tian kemudian melihat ke Tarra tapi justru Tian kaget dengan keadaan Tarra. Bibir Tarra penuh dengan sisa nasi dan tangannya sedikit berminyak. Tian bahkan mengeryit ketika Tarra nyengir dan ada sesuatu nyelip di giginya.
" Nggak jadi," kata Tian berdeham. Sebenarnya Tian tertawa dengan muka aneh Tarra tapi Tian harus menahan tawanya. Tidak ketika seharusnya dia membenci Tarra.
" Ya mangap pak," senyum Tarra garing.
" Maaf," ucap Tian membenarkan omongan Tarra. Tarra memutar bola matanya. Apa-apa dilarang. Apa-apa diatur. Susah emang kerja di temen sendiri. Apalagi temen yang mantannya itu temen baik kamu dan kamu dulu udah ngehancurin hubungan mereka.
Tian menghela nafas lagi mencoba fokus kembali ke pekerjaannya. Menimbang-nimbang hendak mengajak Tarra. Kalau Tian mengajak Miranda ke acara pernikahan Lea sama saja Tian menyetujui pertunangan mereka. Kalau Tian membawa salah satu teman dekatnya pasti Mamah dan Papahnya bakalan marah karena Tian malah ngajakin orang lain dan bukannya Miranda, tunangan pilihan orang tuanya.
Tian melirik ke Tarra yang sekarang sudah selesai makan.
" Kamu minggu depan ikut saya," perintah Tian.
" Kemana, Pak?"
" Ke pernikahan Lea dan Arka." Seketika Tarra kaget mendengar nama Lea dan Arka disebut.
" Lea?! Lea adik bapak yang petakilan itu?! Ya ampun ... Bapak didahuluin ck-ck-ck. Eh tunggu, Arka? Maksud Bapak, Pak Arka?! Ah...gugur sudah harapan saya," cerocos Tarra tidak menyadari tatapan membunuh dari Tian.
" Maksud ... kamu?" kata Tian memberi penekanan di setiap kata-katanya. Tarra hanya bisa nyengir merasa bersalah dan memukul bibirnya.
" Mulut ya, minta di lakban," kata Tarra pada dirinya sendiri.
" Maksud saya, Pak, selamat atas pernikahan mereka berdua," senyum Tarra. " Kalo boleh saya permisi, Pak. Mau cuci tangan dan sikat gigi," pamit Tarra lalu berdiri tanpa menunggu jawaban iya dari Tian.
" Kiri" kata Tian singkat tapi keras cukup menghentikan niat Tarra untuk membuka pintu ruangan Tian.
" Ya?" toleh Tarra.
" Ada nasi nempel di bibir kamu sebelah kiri," kata Tian datar. Seketika Tarra langsung mengelap bibirnya dan mengucapkan terima kasih ke Tian.
" Piring," kata Tian lagi ketika Tarra mau menyentuh kenop pintu.
" Eh iya. Mangap, Pak." Tarra lalu bergegas mengambil piring dan melap sedikit meja Tian dengan tisu. Tarra bergegas keluar sebelum Tian mengatakan sesuatu lagi. Tarra bergegas memanggil OB untuk mengambil piring kotor di mejanya sedangkan Tarra pergi ke toilet wanita.
Tarra selesai menyikat giginya ketika menyadari sesuatu.
" Kok Pak Tian nggak ngajak pacarnya ya? Kok gue? Jangan bilang kalo Pak Tian itu..." Tarra memikirkan kata-kata yang tepat tentang ajakan Tian.
"...khilaf ngajakin gue," ujar Tarra terlihat sedih. Tarra memandang dirinya lewat cermin dan tersenyum kecil.
" Oke. Gue akan bikin Pak Tian nggak nyesel ngajak gue," janji Tarra.
*******
Pernikahan Lea dan Arka berlangsung meriah. Tarra terpesona dengan dekorasi ruangan yang begitu cantik. Tarra mendengar bahwa Pak Arka yang menginginkan dekorasi bertemakan eropa untuk menyenangkan Lea.
Beruntung banget sih lo Le. Dapet Pak Arka yang normal dan cakep.
Tarra memandang ke sekelilingnya. Setelah Tian menjemputnya tadi di jalan dan menjadikannya pasangan ketika memasuki ruangan, Tian sudah tidak terlihat lagi. Tarra tidak tahu Tian kemana dan ngapain.
Tarra memandang gaun berwarna ungu miliknya. Gaun sutra berpotongan rendah itu sengaja dia pakai karena Tian mengatakan dress code untuk perempuan berwarna ungu. Kini Tarra tahu hanya keluarga inti saja yang memakai baju berwarna ungu.
" Lo pacar barunya Tian ya?" ucap seorang wanita yang kini sudah berdiri di sebelah Tarra. Tarra memandang wanita itu dari atas ke bawah. Berusaha mengingat-ingat siapa wanita itu.
" Maaf. Saya bukan pacar Pak Tian. Saya sekretarisnya," balas Tarra datar.
" Oh ya? Sekretaris ya? Tapi kok mau diajak ke acara pribadi seperti ini," sindirnya. Tarra berusaha sabar dan tersenyum ke wanita itu.
" Kebetulan saya kenal dengan pengantin wanita, Lea. Lagipula kalo memang Pak Tian pacar saya pasti Pak Tian ada di sebelah saya terus bukannya nggak tau kemana."
Wanita itu diam mengamati Tarra kemudian menyodorkan tangannya.
" Kenalin, gue tunangan Tian. Nama gue Miranda," ucapnya.
Kalau masalah pacar yang banyak memang Tarra tahu tapi tunangan? Tarra gak nyangka Tian sudah bertunangan.
" Eh, saya Tarra," balas Tarra menjabat tangan wanita itu.
" Tarra ... hem. Gue bakal inget-inget nama lo. Harusnya gue yang diajak Tian. Kenapa lo?! Lo nggak ngajuin diri kan buat diajak sama Tian?!" Kini nada Miranda menunjukkan ketidaksukaannya pada Tarra. Tarra hendak menjawab ketika melihat Tian mendekat. Tian malah berdiri di samping Tarra bukannya di samping Miranda.
" Sayang...ah, aku dari tadi nyariin kamu," kata Miranda lembut. Tarra memasang muka sebalnya. Tian melihat Miranda lalu ke Tarra.
" Aku kan harus bantuin Arka. Kamu udah ketemu sama Lea dan Arka?"
" Udah dong. Tadi sama Papah. Mamah nggak bisa dateng. Nggak enak badan katanya."
Kini Miranda menggelayut manja di lengan Tian. Tian malah tersenyum. Tarra memandang wajah Tian lalu ke lengan dimana Miranda sedang bergelayut.
" Kok kamu nggak ngajakin aku sih? Malah ngajakin sekretaris kamu," manja Miranda. Tarra tidak tahan dengan adegan mesra-mesraan di depan matanya. Tanpa pamit, Tarra mundur tanpa diketahui oleh Tian dan Miranda. Tarra tidak ambil pusing dengan omongan mereka. Tarra bergegas ke toilet dan menenangkan diri.
Tarra memang tidak peduli bahkan ketika Tian bertemu pacar-pacarnya di kantor. Tentu saja Tarra juga tidak peduli Tian ternyata sudah memiliki tunangan. Tapi kenapa sekarang Tarra terisak dan merasakan sakit di hatinya?
************
Sejak pertemuan dengan Miranda tadi, Tian merasakan sikap Tarra berubah. Tarra seperti menjaga jarak. Tidak lagi membantah ketika Tian menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Biasanya kan Tarra paling pintar membuat emosi Tian naik turun.
" Kamu nggak sakit kan?" tanya Tian saat mereka masuk ke mobil. Tian hendak mengantar Tarra pulang setelah tadi Tarra memberikan alasan haus agar bisa keluar dari suite. Gimana ya rasanya es kelapa campur es doger? Aneh-aneh aja alasan Tarra agar tidak mengganggu Arka dan Lea.
Tarra menggeleng pelan. Tarra memilih melihat keluar lewat kaca mobil dan mengacuhkan Tian.
" Saya ada di sini, bukan di luar," sindir Tian.
" Yang bilang Bapak ada di luar juga siapa," balas Tarra ketus.
" Apa Miranda ngomong yang nggak-nggak ke kamu?"
" Tunangan Bapak ngomong yang iya-iya kok ke saya. Lagipula kenapa sih Bapak nggak ngajakin tunangan Bapak? Kan saya yang dimusuhin," kesal Tarra.
" Oh, kamu udah kenalan sama Miranda. Tapi dia bukan tunangan saya. Hanya kesepakatan keluarga yang belum saya setujui. Saya nggak punya tunangan. Saya nggak punya pacar. Saya itu laki-laki bebas, Ra," terang Tian. Tarra melongo mendengar penjelasan Tian. Laki-laki macam apa dia?!
" Bapak nggak kasihan? Bapak udah PHP in banyak cewek loh."
Tian mengedikkan bahunya. "Dari awal saya sudah bilang ke mereka bahwa saya tidak berminat berpacaran atau bertunangan. Terserah mereka mau menganggap apa. Asal kamu tahu, saya nggak pernah ngambil keuntungan dari mereka. Saya tidak seperti laki-laki yang kamu pikirkan."
" Emang Bapak tahu saya mikir apa? Kenapa nggak jaga jarak dari awal? Pasti mereka mikirnya Bapak bakal mau sama mereka kalo mereka usahanya lebih."
" Emang kamu siapa ngatur-ngatur saya?!"
Tarra terpekur mendengar ucapan Tian. Memang Tarra bukan siapa-siapa Tian. Tapi Tarra pernah merasakan rasanya diberi harapan tapi ternyata Tarra salah menafsirkan. Itu yang membuatnya patah hati hingga sekarang. Tarra belum bisa move on dari seseorang.
" Kenapa?" lirih Tarra tapi Tian mendengarnya.
" Kenapa..." kini Tian membeo ucapan Tarra. Tian terlihat sedih ketika mengucapkannya. Tian mendadak memukul setir dengan cepat.
" Ini gara-gara lo, Ra. Kalo waktu itu lo nggak jebak gue dan Tasya ngelihat kelakuan kita berdua, hidup gue bakalan tenang. Lo yang ngacauin dan lo masih nanya kenapa!" Marah Tian tiba-tiba. Kini Tian berbicara mengabaikan formalitas antara mereka berdua. Tian seketika ingat kejadian dulu. Kejadian yang membuat Tian seperti laki-laki b******k seperti sekarang. Tarra kaget dengan bentakan Tian dan mukanya memerah hendak menangis.
" Gue udah jelasin ratusan kali, Fi. Gue nggak pernah niat buat jebak lo waktu itu. Tasya yang nyuruh gue buat jemput lo di club. Dan gue nggak tau kalo Tasya akhirnya bisa dateng. Gue..." Tarra kini terisak "...Gue nggak tau kenapa kita ngelakuin itu. Lo yang duluan nyerang Fi. Lo bilang lo sayang. Lo..."
" STOP!!" teriak Tian menggenggam erat setir hingga buku jarinya memutih. Tian tidak ingat pasti apa yang dikatakannya yang dia tahu saat itu Tasya lah yang datang. Tasya lah yang menenangkannya. Kenapa bayangannya pudar dan menjadi Tarra?
" Seandainya Tasya nggak teriak waktu itu mungkin gue udah nikah sama lo. Untung aja gue bisa berhenti di saat yang tepat," sinis Tian seakan-akan Tarra merupakan hal terngeri dalam hidupnya.
Tarra menggigit bibirnya berusaha menahan tangis. Kenapa mereka sekarang membicarakan masa lalu lagi? Tadinya Tarra mengira ketika Tian mengajaknya berbicara, Tian sudah berdamai dengan masa lalu. Kini Tarra yakin. Tian masih sangat mencintai sahabatnya itu. Sahabat yang juga masih membencinya sampai sekarang.
Keheningan menyeruak bagaikan duri menusuk hati Tarra. Tarra membuka pintu mobil dan keluar.
" Maaf Pak. Saya naik taksi saja," kata Tarra kembali memposisikan dirinya sebagai sekretaris Tian. Tarra memang salah mencoba ikut campur dalam kehidupan pribadi Tian. Kini mereka justru bertengkar lagi.
Tarra berjalan dari parkiran ke jalanan di depan hotel. Berusaha mencari taksi ketika Tian menyusulnya.
" Kita harus bicara. Kita..." dan Tarra tidak memperdulikan omongan Tian lagi. Tarra langsung naik taksi yang kini berhenti di depannya. Tarra bahkan tidak sanggup melihat Tian. Yang dia lakukan hanya terisak dan menunduk.
Harusnya gue nggak bertahan. Gue pikir dia peduli. Gue salah.
***************
" Kak Trasi!" teriak seseorang di belakangnya. Tarra memandang sekelilingnya yang kini memandang balik Tarra. Pagi itu Tarra berangkat lebih awal karena nggak pengen dimarahin Tian. Tidak hanya itu, Tarra mencoba tidak menimbulkan masalah karena mereka saling menghindar sekarang. Tian menggunakan metode lamanya dan Tarra menggunakan sapaan tidak berbalasnya lagi.
Tarra menggeleng pelan. Mungkin hanya imajinasinya. Nggak mungkin makhluk aneh itu ada di sini. Di lobi kantor Tian. Eh tapi mungkin sih. Ini kan kantor kakaknya.
" Kak Trasi! Yuhuu!" Panggilan itu kembali terdengar. Hanya satu nama terlintas di otaknya, orang yang menyingkat nama panjang Tarra Sikara menjadi Trasi. Tarra memberanikan menengok ke belakang dan kaget melihat siapa yang menghampirinya. Ternyata itu bukan imajinasi Tarra.
" Hai Kak! Jumpa lagi~~ Ada Lea disini~~ Cilukba!" sapa Lea dengan sapaan anehnya. Tarra tersenyum lebar. Sudah lama dia nggak ketemu sama adiknya Tian yang super duper nggak bener ini. Terakhir ketemu ya 2 minggu lalu saat Lea menikah. Em...berarti belum lama-lama banget sih.
" Kak Trasi kerja di sini? Kok Lea nggak tau? Oh pantes waktu Lea nikah Kakak dateng sama Sitian," ujar Lea. Tarra tersenyum maklum. Padahal Tarra sudah bekerja selama 2,5 tahun di kantor ini dan memang Lea sama sekali tidak tertarik dengan dunia perkantoran. Dia tidak pernah datang ke kantor mencari ayahnya atau Anetta.
" Sssttt. Jangan panggil Trasi disini sih. Malu Kak Tarra nya," kata Tarra setengah berbisik. Tarra jelas menjaga image nya sedang Lea emang suka buang image.
" Yah. Bagus padahal. Nggak usah malu. Kan ada Lea hehehe. Yang ngetawain kak Trasi entar Lea cabut bulu idungnya," kekeh Lea. Tarra hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ampun dah kalo sama Lea, Tarra nggak berkutik. Biasanya yang ada dia ikutan nggak bener.
" Kamu ada perlu apa kesini Le?"
" Lagi suntuk di rumah sendiri, Kak. Siapa tau ada kerjaan di sini. Bikin keributan gitu," kata Lea asal. Tarra tersenyum simpul.
" Nggak dimarahin sama suami kamu?" tanya Tarra lagi. Lea menggeleng.
" Nggak mungkinlah. Arka jauh dari jangkauan. Lagi nyari istri muda paling," jawab Lea asal.
" Hush. Kalo iya nangis darah kamunya."
" Tenang aja. Kalo iya tinggal Lea sihir avada kedavra. Kan kak Ane bisa," cengenges Lea mengingat panggilan Anemort buat Anetta. Untungnya sekarang Anetta tidak marah ketika Lea keceplosan memanggil kakaknya seperti itu. Mereka berdua malah berantem ala Harry Potter dan Voldemort.
" Yaudah yuk ke atas," ajak Tarra. Lea mengiyakan. Sebenarnya Lea sengaja datang ke kantor Tian karena mamahnya curhat Sitian suka uring-uringan sendiri sejak Lea menikah. Innaka khawatir kalau Tian jadi kena syndrome pengen nikah tapi nggak kesampaian. Menurut Lea sih bukan. Karena Tian kan punya banyak pacar dan seorang tunangan. Tinggal tunjuk maka jadilah dia punya istri.
" Kak Tian belum dateng ya?" tanya Lea saat mereka sampai di di depan meja Tarra. Tarra melirik sebentar ke kantor Tian.
" Belum, Le. Masih otewe paling."
Baru juga Tarra menjawab, di belakangnya Tian keluar dari lift.
" Kak Tian!" teriak Lea lalu berlari memeluk Tian. Tian membalas pelukan Lea dan mengacak-acak rambut Lea. Tarra yang melihat hanya bisa gigit jari.
Pengen...
Lea yang melihat muka mupeng Tarra jadi semakin jahil. Lea sengaja meluk kakaknya lebih lama.
" Kamu ngapain di sini Bul? Nggak dicari sama Arka? Biasanya penganten baru nggak bisa pisah," kata Tian lalu berjalan ke kantornya masih dengan Lea menggelayut manja di pelukan Tian. Tian akhirnya berhenti di depan meja Tarra. Tian sempat melirik Tarra yang masih berdiri manis memandang mereka.
Lea langsung teringat kejadian tadi pagi saat Lea mau ke kantor Tian. Tentu saja Arka nggak rela. Lea harus bilang no jatah kalo Arka nggak ngebolehin. Akhirnya Arka setuju. Emang istri durhaka Lea.
" Lea denger dari Mamah katanya asisten Kakak jadi kepala cabang di Bandung ya?"
Tian mengangguk " Iya. Terus kenapa?". Lea malah melepas pelukannya dan manggut-manggut. Tarra dan Tian kini berdiri berhadapan dengan kikuk. Lea pura-pura berdiri di belakang Tarra dan menunduk mengambil sesuatu di meja Tarra. Senggolan p****t Lea yang aduhai membuat Tarra kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh di pelukan Tian. Tian dengan sigap memegang badan Tarra yang mau ambruk.
Tian dan Tarra kini saling memandang lama. Seperti dalam drama atau film, mereka saling memandang malu walaupun Tian memasang muka judesnya. Tapi Lea yakin, kilatan mata coklat Tian, menandakan Tian sedang grogi.
" Ups! Nggak sengaja," kata Lea dengan muka polosnya. Tarra segera berdiri tegak dan Tian melotot ke Lea.
" Kalo gitu Kak Trasi jadi Asisten kakak aja," ucap Lea menaik turunkan alisnya menggoda Tarra dan Tian.
Tian maju selangkah hendak memoles kepala adiknya tapi Lea berhasil menghindar.
" Terus yang jadi sekretaris kakak siapa?" sewot Tian.
" Aku..." kata Lea.
Seketika diam.
Tian memandang adiknya tidak percaya.
" Tung tak tung tak tung! Tung tak tung tak tung!" nyanyi Lea ketika Tian tidak bisa berkata apa-apa. Lea asyik berjoget india sedangkan Tarra perlahan tapi pasti ikutan Lea joged pake goyang jempol digoyang.
" Oh ya ampun," ujar Tian menepok jidatnya.
**************