Pacar?!

3379 Kata
" Nggak! Pokoknya Kakak nggak setuju! Mau kamu jungkir balik kek. Mau kamu kayang kek. Tetep aja Kakak nggak setuju. Emangnya Arka ngijinin kamu buat kerja sama Kakak?!" sebal Tian menatap adiknya. Tian berhasil menyeret Lea ke ruangannya setelah adegan joget bersama di luar tadi. Tian nggak habis pikir. Kenapa Lea sampai punya ide seperti itu. " Oiya, ya. Harus ijin ya? Lupa kalo Lea udah punya suami hehehe," cengenges Lea. " Kalo kamu masih ngeyel, kakak telponin Mamah dan Arka. Pasti mereka belain kakak," ucap Tian percaya diri. Lea tersenyum misterius dan menaikkan satu alisnya. " Oya? Lagian nih kakakku yang gantengnya sejagad rumah karena belum laku-laku juga, Mamah yang nyuruh aku ke sini. Kalo urusan suami tersayang mah kecil. Kecillll." Lea lalu menjetikkan kukunya. Tian menggeleng menghadapi keras kepalanya Lea. Tian lalu duduk di kursinya dan menghembuskan nafas keras. Lea mengikuti Tian dengan berdiri di sampingnya dan menggoda Tian dengan menggelitiki dagunya " Ucuk ucuk Kakak. Iyain aja. Lea kan jobless. Pengacara. Pengangguran banyak acara. Males Kak di rumah nggak ngapa-ngapain. Percobaan deh percobaan," rayu Lea sembari menatap Tian memelas. Tian memejamkan matanya. Dia paling nggak bisa nolak kalo Lea udah kayak gini. Tian masih diam dan berusaha nyuekin Lea. Permintaan Lea kali ini susah mengingat siapa wanita yang akan menjadi asistennya nanti. Jika Tarra menjadi asistennya maka peluang untuk mereka saling bertemu akan semakin besar. Tian tidak ingin itu terjadi. Cukup dengan pertengkapan mereka membuat Tian sadar bahwa dirinya masih sangat membenci Tarra. Kebimbangan melanda perasaan Tian. Saat itu sebenarnya Tianlah yang emosi. Haruskah dia mencobanya? " Ya udah deh. Lea intropeksi diri di pojokan," manyun Lea. Lea beranjak menuju pojokan ruangan sembari sesekali melirik ke kakaknya. Tapi Tian masih mendiamkan Lea. Lea akhirnya berdiri dipojokan. Lea membuka gelungan rambutnya. Menaruh semua rambutnya ke depan hingga menutupi wajahnya. Lea terdiam seperti itu cukup lama. Tian yang gerah dengan kebisuan yang ada akhirnya menoleh ke adiknya hendak berkata sesuatu. Mata Tian melebar melihat penampakan di pojokan. " MASYAALLAH! BULBUL!" teriak Tian kaget hingga terjengkang dari kursinya. Lea menyibakkan rambutnya hingga terlihat wajahnya yang polos dan tanpa dosa " Apa sih, Kak," kata Lea merasa tidak bersalah. " Kamu..." geram Tian tidak bisa berkata apa-apa saking kagetnya. Tian mencoba berdiri dan menggeleng cepat. " Ya udah deh. Lea balik badan aja soalnya Kakak sedih liat Lea dari depan." Lea langsung berbalik. Sedih?! Nih bocah beneran nggak bisa bedain sedih sama kaget apa?! Tapi sosok Lea berambut panjang berdiri menghadap tembok di pojokan tetap saja horror buat Tian. " Kamu ke sini deh Bul," perintah Tian pelan tapi tegas. Tian sampai harus memijat dahinya karena ulah Lea. Lea langsung sumringah tersenyum lebar. Setengah loncat-loncat menghampiri Tian. Tian mengetuk-ketukkan jari tangannya ke meja dan memejamkan mata sebentar. " Kakak mulai nggak suka kalo kamu mulai maksa," kata Tian ketika Lea sudah berada di sampingnya. " Aku kan nggak maksa kak. Hanya meminta dengan sedikit rayuan. Itu mah beda," kata Lea ngeyel. " Oke. Oke. Oke. Kamu boleh jadi sekretaris kakak asal Arka yang minta ke kakak langsung." Tian mencoba mengakali adiknya. Kalau Arka yang datang langsung ke Tian jelas Tian bisa bernegoisasi dengan damai. Nggak kayak sama Lea. Lea langsung memeluk Tian singkat. " Makasih Kakak. Lea juga tahu Kak Tian bakal ngerayu Arka kan biar Lea nggak usah jadi sekretaris kakak. Tapi tenang aja. Rayuan Lea lebih maut. Lea cium 5 menit aja paling luluh. Kalo kakak mau nyium Arka kan Arkanya kabur," senyum Lea lebar. Tian langsung memandang adiknya tidak percaya Beneran nih bocah susah dibuayain, apalagi dikadalin nggak bakal mempan " Ya udah sana keluar. Panggilin Tarra ke sini," kata Tian lemas. " Makasih Kakak kesayangan. Lea doain cepetan laku deh. Cepetan branding hatinya orang." Lea mengecup pelan pipi kakaknya. Tian akhirnya tersenyum. Tian memang tidak bisa benar-benar marah dengan adiknya. Siapa sih yang bisa marah sama makhluk yang diperebutkan semua rusun di jakarta buat difosilkan sebagai patung penakut tikus? Berarti kan Lea berharga. " Bilang ke Arka suruh ketemu Kakak siang ini kalo kamu pengen mulai kerja besok." Lea menganguk dan bergegas keluar dari ruangan untuk memanggil Tarra masuk. Tian kembali memfokuskan diri ke pekerjaannya hingga 5 menit kemudian Tarra masuk sembari membawakan Tian lemon tea. Tarra meletakkan teh itu ke meja dengan diam. Tian hanya melirik sekilas lalu akhirnya menatap Tarra. "Karena saya belum bisa menemukan asisten baru, saya meminta kamu untuk menjadi asisten saya sementara waktu," kata Tian menekankan kata sementara waktu. Tarra menelan ludahnya kasar dan mengangguk pelan.  Tian berdeham kecil dan mendongak menatap Tarra, "dan saya minta maaf atas kejadian malam itu. Saya akan bersikap professional sekarang." Tarra berkedip-kedip tidak percaya. Seorang Christian Filbert Priambodo meminta maaf kepada seekor eh seorang Tarra? Tian memandang Tarra lama. Sejak kejadian malam itu di pernikahan Lea, Tian banyak berpikir. Dia memang membenci Tarra. Tarra benar. Saat itu Tian seharusnya tidak menyalahkan sepenuhnya ke Tarra. Dia juga bersalah. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. Tapi setiap Tian mengingat mata coklat Tasya yang terluka, Tian didera rasa bersalah karena sudah menyakiti Tasya. Menyakiti perempuan yang sangat dicintainya. Tarra membalas tatapan mata Tian tapi kemudian menunduk. Tarra tahu butuh waktu yang panjang untuk Tian berdamai dengan dirinya. Tian juga tahu, cara Tarra menghindari tatapannya berarti Tarra juga masih memendam perasaan bersalah kepada Tasya. " Kamu boleh kembali ke tempatmu," kata Tian mengakhiri kegelisahan di antara mereka. Tarra mengangguk dan keluar dari ruangan Tian. Sesampai di mejanya Tarra langsung merosot ke bawah. Kakinya tidak dapat menopang tubuhnya setelah Tian memandangnya seperti itu. " Gimana kalo deketan nantinya? Bisa jadi Ayam tulang lunak gue," sedih Tarra. Sementara itu, Tian menyesap teh yang dibawakan oleh Tarra. Entah kenapa rasanya rileks setelah meminum teh hangat buatannya. Sebuah pertanyaan berkelebat dalam pikiran Tian. Sebenernya dari dulu Tarra ada buat gue. Kenapa gue benci Tarra ya?                                                                                     ********** Lea selesai bertemu dengan papahnya dan memutuskan mengajak Tarra makan siang. Lea segera menuju ke lantai ruangan Tian. Dilihatnya Tarra masih sibuk dengan pekerjaannya karena selain sekretaris, Tarra meng-handle sebagian pekerjaan Rudolf. " Kak Trasi makan siang yuk!" ajak Lea. Tarra termenung sesaat. Minggu-minggu ini Tarra harus super hemat karena rencananya untuk keluar dari rumah pamannya sudah harus terealisasi. Apalagi sejak Rudolf ke Bandung, tantenya tambah bebas bully Tarra. Kemarin minggu aja pas Pak Bagas olahraga ke luar, Tarra disuruh gosok semua kamar mandi yang ada di rumah itu. Harus selesai sebelum pamannya pulang. Tapi kok nggak enakan ya nolak ajakan Lea? " Kamu duluan aja nanti aku nyusul," kata Tarra akhirnya. Biarlah Lea menunggu lama dikantin. Toh kalo Lea udah makan biasanya lupa segalanya. " Kak Tian mana?" tanya Lea. " Masih di ruangannya. Tapi 15 menit lagi mau keluar. Ada janji makan siang dengan Pak Arka. Ingat?" kata Tarra tersenyum. Lea menganggukkan kepalanya sembari tersenyum lebar. " Kakak lagi nggak ada tamu kan?" Tarra menggeleng lalu Lea masuk ke ruangan kakaknya. Entah apa yang terjadi karena Tarra hanya mendengar gerutuan dan suara tawa. Tak lama Tian dan Lea keluar dari ruangannya. " Ayo Kak Trasi makan siang. Tadi Lea berhasil nyopet dompet Pak Bos. Besok kan Lea mulai kerja jadi traktiran gitu," cengenges Lea. Tian hanya bisa memutar bola matanya mendengar alasan Lea. Sejak kapan seorang Bos nraktir pegawai baru karena pegawai barunya mau mulai kerja? Tarra terlihat ragu dan melihat Tian sekilas. " Udah sana. Anggap aja sebagai tanda perdamaian dari saya," kata Tian. Tarra tersenyum sekilas. " Cieeee...damai damai damai damai," ucap Lea cepat dan menyodok perut kakaknya pelan. Tian langsung melotot dan mencubit hidung Lea. " Sebaiknya kamu segera bawa adik saya ke kantin sebelum saya ngisap ubun-ubunnya." Mendengar ucapan Tian, Lea meraih tangan Tarra dan mengajaknya berlari ke lift. " Kaburrrrrr," cekikik Lea dan Tarra                                                                                     ************ Lea dan Tarra akhirnya sampai dikantin kantor. Lea sengaja ingin makan di kantin daripada di café karena ingin mengenal lingkungan tempat kerjanya nanti. Seumur-umur Lea baru dua kali ke kantor ayahnya. Waktu Lea kelas 2 SMA sama sekarang ini. " Disana kosong loh," tunjuk Tarra ke bangku di bagian belakang. Tarra dan Lea lalu bergegas duduk sebelum ada yang mendahului. Tarra mempersilahkan Lea untuk memesan makanan duluan. Tarra menunggu Lea ketika tanpa disadari Erick datang mendekat. " Hai...sendirian aja," sapa Erick basa basi. Tarra menoleh dan hendak menjawab ketika Erick sudah duduk di dekatnya sembari menaruh makanannya. " Sama temen kok. Itu lagi pesen makanan," kata Tarra berusaha sopan. " Gue boleh duduk di sini ya? Yang lain penuh," pinta Erick. Tarra hanya tersenyum sekilas dan diam. Mungkin nggak ada salahnya mempersilakan Erick duduk bareng. Erick terus mengajak Tarra mengobrol ketika Lea datang. " Kak Trasi, udah tuh. Nanti antri lama loh," kata Lea sembari memicingkan matanya melihat Erick. Erick juga melihat Lea aneh karena sudah memanggil Tarra dengan panggilan Trasi. " Gue antri dulu ya?" kata Tarra ke Erick. Erick kini menatap Lea yang menaruh piring dan minumannya. Bertanya-tanya siapa gadis cantik di depannya ini? Erick belum pernah melihat Lea. " Pegawai baru ya?" tanya Erick tidak yakin dengan penampilan Lea yang tomboy. Erick sampai harus melirik ke sepatu kets Lea. " Iya. Emang kenapa mas?" tanya Lea balik. Erick menggelengkan kepalanya pelan. Mereka berdua terdiam menunggu Tarra datang. Sesekali Erick melirik ke Lea. Tarra kemudian datang membawa makanannya. Tarra duduk dan secara tidak langsung memperhatikan cara Erick memandang Lea dengan aneh. " Dia sekretaris baru Pak Tian," kata Tarra membuat Erick angguk-angguk. Tadinya Erick hendak bertanya langsung ke Lea tapi kayaknya Lea judes nggak bisa diajak ngobrol. Karena Tarra sudah datang, Lea kemudian berdoa cukup kencang dan memulai makan setelah sebelumnya menawari Tarra dan Erick. Lea makan cukup lahap tanpa gengsi. Lagi-lagi Erick mengernyit. Tarra tersenyum kecil. Mungkin Erick belum pernah melihat perempuan dengan nafsu makan besar. Eh tapi Erick kan udah sering melihat Tarra makan lahap kayak Lea.   " Lo kalo gitu gantiin Pak Rudolf ya?" tanya Erick. Tarra hanya bisa mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah. " Wah. Harus traktiran nih! Kan naik jabatan. Gimana kalo minggu ini kita nonton bareng." Lea yang tadinya lahap makan kemudian diam. Lea melirik tajam ke Erick. " Masnya niat mau makan apa mau ngobrol?" tanya Lea pelan tapi cukup membuat Erick tersentak. Erick merasa sebagai pegawai baru Lea udah kurang ajar sama pegawai lama. " Kayaknya wajar kalo mau makan sambil ngobrol," jawab Erick ketus. Tarra hanya bisa melirik dari ujung matanya. Membiarkan Lea seperti itu karena tadinya Tarra yang hendak memotong pembicaraan Erick. Mulut Tarra aja sedari tadi sibuk mengunyah makanan, mana bisa diajak ngobrol. " Kalo ngelihat mulut penuhnya Kak Trasi kayaknya nggak wajar. Mas mau disembur mukanya sama Kak Trasi? Nggak enak rasanya mas. Percaya deh," kata Lea masih dengan nada datar. Erick semakin tidak suka dengan Lea. Padahal tadinya Erick yakin bisa mengajak Tarra jalan berdua ketika melihatnya duduk sendirian tadi. Tarra langsung menelan makanannya " Udah. Percaya aja sama Lea. Dia itu guru spiritual gue." Tetap saja Erick memandang Lea tidak suka. " Mas tau nggak ini apa?" tanya Lea pelan tapi mulai habis sabarnya. " Gue juga nggak b**o! Itu garpu," kata Erick ketus. Tarra menggeleng pelan. Merasa kasihan dengan Erick karena bakalan kalah sama Lea. " Kayaknya enak nih ditancepin dilubang idung orang," sinis Lea menyodorkan garpunya sepintas ke arah Erick. Erick melotot. " Udahlah, Rick. Makannya dihabisin dulu aja. Lagian nggak enak juga kok makan sambil ngobrol soalnya bagi gue sama Lea namanya makan tuh nggak bisa diganggu. Kami harus fokus," kata Tarra akhirnya. Erick menatap tajam sekali lagi ke Lea kemudian terdiam dan menuruti apa kata Tarra. Mereka terdiam menghabiskan makanannya sampai selesai. Baru juga Tarra minum, Erick sudah mengajaknya mengobrol lagi. " Gimana ajakan gue? Lo udah berkali-kali nolak, Tar. Sekali ini aja. Gue bakal buktiin ke lo kalo lo nggak bakalan nyesel kencan sama gue," bujuk Erick kini sama sekali menghiraukan Lea. Menganggap Lea tidak ada. Lea memutar bola matanya kesal. Erick mengamati tingkah Lea. Entah kenapa cara Lea memutar bola matanya terkesan lucu. Erick lalu menoleh ke Lea. " Kenalin nama gue Erick. Kalo lo?" Erick menyodorkan tangannya hendak berjabat tangan. Lea memandang tangan Erick lalu ke Erick. Sebenarnya Lea males kalo kenalan sama orang tapi nanti dia dikira karyawan songong. " Gue, Lea," jawab Lea tanpa mau menjabat tangan Erick. Erick kemudian mengernyitkan dahinya karena kini ada tangan lain yang menjabat tangannya. " Gue, Arka. Suami Lea." Erick langsung tersentak dan berdiri. Menarik tangannya cepat. Arka memang mengirim tatapan membunuhnya tapi Erick bertambah keringetan dingin karena di sebelah Arka ada Tian. Bos besarnya. " Se...selamat siang Pak Tian," sapa Erick. Tian membalasnya dengan senyuman. " Maaf ya mengganggu makan kamu. Tapi adik ipar saya tidak suka istrinya di sentuh orang," kata Tian pelan tapi bisa membuat Erick menunduk. Tidak sanggup menatap Arka. Tunggu?! Adik Ipar?! Berarti Lea? Bingung Erick. Kini Erick tahu hubungan apa yang dipunya antara Lea dan Tian. Mereka kakak beradik. Pantes aja galaknya sama. " Iya nggak papa Pak. Maaf kalo tadi saya lancang. Saya hanya ingin berkenalan sebagai sesama pegawai saja," bela Erick. Tarra dan Lea menahan tawa mereka. " Kalo gitu saya permisi pak. Saya sudah selesai makan. Mari," pamit Erick. Erick sempat melirik ke Tarra yang memberikan tanda dengan matanya bahwa dia minta maaf. Sedangkan Lea melambaikan tangannya dengan riang. Tarra dan Lea...kita liat aja nanti. Erick akhirnya berlalu meninggalkan Lea yang cengengesan memandang suaminya yang cemberut. Sama halnya dengan Tian yang kini memandang Tarra dengan tatapan tajamnya. " Udah makan? Aku ambilin ya?" kata Lea ketika Arka menggeleng. Lea mengecup pipi Arka sekilas. Arka yang tadinya cemberut kini terlihat biasa. " Bapak mau saya ambilin juga? Mumpung tadi saya liat ada sayur kesukaan bapak," kata Tarra. Tian mengangguk pelan dan ragu. Tarra langsung menyusul Lea. " Hubungan kalian kaku banget," sindir Arka. " Udah deh. Nggak usah kayak Bulbul. Aku udah pusing sama kelakuannya tadi. Tapi kamu yakin ngijinin Lea buat jadi sekretarisku?" tanya Tian untuk kesekian kalinya. Tadi saat ketemu di lobby Tian langsung mengajukan pertanyaan itu ke Arka. " Kalo Lea mau sih nggak masalah. Kecuali nanti kalo dia udah hamil, aku pengennya dia banyak istirahat. Yang penting jam pulang kerjanya nggak ngelebihin jam kerjaku. Toh malah enak kalo mau makan siang sama dia. Tinggal ke sini. Nggak jauh dari kantor," jawab Arka. " Kamu yakin nggak ada perasaan sama sekretaris kamu?" tanya Arka tiba-tiba. Tian sampai menoleh ke Arka dan terdiam cukup lama " Aku nggak ada perasaan sama dia," kata Tian. Arka terkekeh pelan " Kok aku nggak yakin ya?" goda Arka. Kini gantian Arka menggoda Tian setelah waktu dulu Tian menggoda Arka tentang Lea. " Asem kamu!" maki Tian. Arka tertawa. Lea dan Tarra yang datang bersamaan langsung menaruh piring di meja. Lea membantu Arka sedangkan Tarra hanya bisa menaruh dan membiarkan Tian mengatur peralatan makannya sendiri. Ketika Tian makan, Tian melirik Tarra sembunyi-sembunyi. Tarra sedang bercanda dengan Lea. Entah mengapa Tian rasanya ingin perhatian Tarra ada pada dirinya. Tian tidak suka ketika mata hitam kecoklatan itu terasa hidup ketika memandang Lea. Tian ingin juga dipandang seperti itu. Seperti sekarang ketika Tarra tertawa lepas. Tarra tersentak ketika ada yang menyenggol sepatunya. Seketika pandangan Tarra langsung ke Tian yang kini sedang memandangnya. Tarra menarik kakinya dan menunduk malu. Garis bibir Tian tertarik ke atas. Tian tersenyum. Seperti terhipnotis senyuman Tian, Tarra ikut tersenyum kikuk. Kamu jangan sampai ketipu sama muka polosnya dia. Aku tuh udah temenan sama dia lama. Dia selalu godain pacar-pacarku sebelumnya. Selama ini aku ngalah tapi kali ini nggak. Aku nggak pengen kehilangan kamu. Aku nggak pengen kamu deket-deket sama dia lagi. Seketika ucapan Tasya melintas di pikirannya. Wajah Tian berubah muram. Tarra yang mengetahui perubahan raut wajah Tian hanya bisa bergidik ngeri. Daripada Tian nanti kumat membentaknya, mending Tarra milih kabur. " Maaf Pak Tian dan Pak Arka, saya duluan. Telpon dikantor udah bunyi aja dari tadi," alasan Tarra lalu kabur begitu saja. " Emang kedengeran gitu dari sini?" heran Lea. Arka yang mengerti perubahan suasana di sekitarnya hanya bisa tertawa " Pesenku Hamster, yang sabar ngadepin dua orang yang nggak sadar diri sama perasaan masing-masing ya?" pesan Arka, Tian langsung menoleh dan melotot ke Arka " Uhh...takut..." kata Arka pura-pura takut.                                                                                 ************* Tarra baru saja keluar dari lift ketika melihat Miranda, tunangan Tian sedang berdiri tidak sabaran di depan mejanya. " Ah! Datang juga si pemalas. Nggak tau apa gue udah nunggu lama. Mana Tian?!" tanyanya tidak sabaran. " Pak Tian masih istirahat, Bu. Sedang makan siang dengan Pak Arka dan Bu Lea," jawab Tarra santai lalu duduk di kursinya. " Ada Lea?" seketika intonasi suaranya berubah. Kali ini lebih lembut. " Ada, Bu. Silahkan tunggu saja di ruangan Pak Tian," kata Tarra datar. Suasana hati Tarra tidak semakin membaik apalagi melihat kedatangan tunangan Tian. Tarra merutuki dirinya dalam hati. Kayaknya gue kebanyakan belajar pelajaran sejarah deh. Pengennya flashback aja nggak bisa move on. Tarra menatap pintu ruangan Tian yang kini sudah ditutup rapat oleh Miranda. Tarra menggelengkan kepalanya cepat. Lebih baik dia cepat-cepat menyelesaikan ketikannya sebelum Tian marah-marah. Setengah jam kemudian Tian, Lea dan Arka keluar dari lift. " Maaf, Pak. Ada Ibu Miranda sudah menunggu dari tadi di dalam," kata Tarra. Tian langsung berhenti berjalan dan menatap pintu ruangannya. Tian kadang risih dengan Miranda. Sudah Tian pertegas kalau Tian nggak bakalan bisa menerima pertunangan mereka. Belum ada acara resminya juga. Tetap saja Miranda selalu datang menganggunya. Bukan gangguan biasa, tapi kadang Miranda sengaja memancing Tian agar melakukan hal yang lebih jauh. Tian nggak mau melakukan hal itu dengan sembarang orang. Apalagi bukan orang yang dicintai Tian. " Kok nggak masuk kak? Horor ya?! Lea juga suka merinding kalo ketemu Mbak Miranda. Bawaannya pengen pipis." " Kok bisa?" tanya Arka heran. " Nggak tau, Ar. Aku juga suka aneh." Arka mengedikkan bahu. Ini nggak tahu Miranda yang aneh atau istrinya yang aneh. Tian melirik ke Tarra. Sebuah ide terlintas di pikirannya. " Kamu ikut saya ke dalam," perintah Tian tegas. Tarra menggaruk pelipisnya yang memang gatal. " Ayo Kak Trasi," ajak Lea. Tarra sampai harus dituntun Lea saking ragunya sama perintah Tian. Tian memasuki ruangan bersama-sama. Miranda yang melihat pintu terbuka langsung berdiri dan hendak memeluk tubuh Tian ketika melihat ada Lea di situ. Miranda tahu betapa Lea tidak terlalu menyukainya. " Hai sayang," sapa Miranda lalu mengecup bibir Tian sekilas. Lea berkacak pinggang sebal. " Hai Lea. Hai Arka," sapa Miranda. Miranda mengecup pelan pipi Arka kemudian mengecup pipi Lea. Lea spontan menghapus jejak bibir Miranda di pipi Arka. " Ups. Maaf. Aku terbiasa memberikan salam seperti itu sama yang aku kenal," kata Miranda setengah meminta maaf, setengahnya malah dimanja-manjain. Untung gue nggak dicipok. Bisa mandi pake tanah 7 kali nih Tarra memilih diam di belakang Lea. " Jangan nyium kayak gini sih, nggak enakan sama pacarku," kata Tian mengelap bibirnya yang tadi dicium Miranda. " Pacar?! Kenapa aku harus nggak enakan? Aku kan tunangan kamu," kata Miranda dengan penuh percaya diri. " Sini sayang. Jangan sembunyi kayak gitu. Aku tau kamu lagi marah sama aku," kata Tian melambaikan tangannya, memanggil seseorang di belakang Lea. Lea dan Arka seketika menoleh ke Tarra. " Nggak usah cemberut gitu. Sini aku kenalin ke temen aku," kata Tian lagi. Tarra malah memandang Lea dan Arka. Masih belum mengerti apa yang sedang terjadi. Karena Tarra tidak beranjak juga, Tian menghampiri Tarra dan mendorongnya berjalan hingga berhadapan dengan Miranda. " Mir...kenalin ini pacarku Tarra." Miranda memandang Tian dan Tarra tidak percaya. " Pa...Pacar?! Pacar yang pacar tuh?! Pacar pacar?!" cerocos Lea kaget. Arka mengacak-acak rambut istrinya gemas. Lea lucu kalo sedang kaget dan bingung. " Dia bilang, dia sekretaris kamu. Kalian nggak ada hubungan apa-apa," kata Miranda dingin, menatap Tarra. " Karena aku pengen ini dirahasiain. Aku pengen ngelindungi wanita yang aku cintai dari kejaran Mamah dan Papah. Soalnya mereka pasti nyuruh aku langsung nikah. Sedangkan aku tau Tarra masih ingin berkarir. Iya kan sayang?" kata Tian menoleh ke Tarra dengan senyum mautnya. Tarra masih linglung. Mencoba mencerna ucapan Tian. " Pak...pacar itu jenis makanan apa ya pak?" tanya Tarra dengan muka melongonya. Miranda merasa aneh dengan gelagat Tarra. Tapi hal itu musnah ketika melihat apa yang sekarang dilakukan Tian. " Pacar tuh kayak gini nih..." Tian langsung mendaratkan bibirnya ke bibir Tarra. Tadinya Tian hanya ingin mengecup bibir Tarra. Tapi rasa manis di bibir Tarra membuat Tian terus mencium Tarra sampai Tarra kehabisan nafas. Arka menutup mata Lea dengan tangannya. " Yah...Arka, pengen nonton," manja Lea. " Nggak usah nonton. Nanti aja sama aku gampang. Mau gaya ikan sapu-sapu juga nggak papa," kata Arka. Miranda yang melihat cara Tian mencium Tarra menghentakkan kakinya ke lantai dan pergi tanpa pamit ke semua. Bahkan dengan sengaja, Miranda menyenggol badan Lea. Tian terus mencium Tarra bahkan ketika Miranda sudah tidak ada lagi. Tian seakan lapar akan ciuman Tarra. " Kamu bisa berhenti Ti...atau gaklah terserah kamu," kata Arka mengajak istrinya keluar ruangan. Tian menghentikan ciuman mereka. Nafas mereka saling memburu. Seakan sadar Tian langsung mundur dan menjauhi Tarra " Pak...kok saya jadi pengen lagi," ucap Tarra parau masih belum sadar apa yang sudah dia lakukan dan ucapkan. Mendengar ucapan Tarra, Tian maju dan mencium bibir Tarra untuk kedua kalinya. Ciuman yang memabukkan. Ciuman yang membuat Tarra dan Tian lupa dimana mereka berada. Gue nggak akan minta maaf untuk ini Ra                                                                                         *************
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN