Singkat cerita, Gaida duduk di sebelah Saga dan Ranti di sebuah kursi panjang di sekitar kampus. Saga bercerita pada Ranti bahwa gadis yang sedang bersamanya ini adalah teman SMA-nya saat sekolah di Surabaya.
“Aku Gaida.” Gaida mengajaknya bersalaman.
“Aku Ranti.” Ranti balas menyalami.
“Kalian berdua pacaran?” tanya Gaida, bertanya sekaligus ingin memastikan apakah Saga masih jomblo atau sudah ada yang punya.
“Udah dibilang, aku cuma nemenin temen,” balas Saga.
“Aku pacarnya orang lain.” Ranti memantapkan.
Gaida tersenyum. “Oalah, kirain pacaran.”
“Kagak lah, mana mau aku pacaran sama cewek aneh kayak Ranti.”
Ranti langsung menggeplak kepala Saga untuk yang kesekian kalinya.
Gaida sedari tadi memperhatikan kostum Ranti. Bagi Gaida, itu tidaklah aneh, menurutnya justru itu adalah sebuah seni.
“Kamu cosplay Suzumiya Haruhi, ya?” tanya Gaida.
Ranti terbelalak. “Kamu tau?”
“Iya, aku suka nonton anime soalnya.”
Penilaian Ranti terhadap Gaida mendadak berubah. Awalnya dia merasa sebal karena tahu sedari tadi Gaida ada menyembunyikan sesuatu dari mereka. Namun, sekarang perasaan itu telah hilang. Ranti langsung menggenggam kedua tangan Gaida.
“Salam kenal, aku Ranti!” Kali ini Ranti terlihat antusias.
Memang begitu sifat Ranti. Setiap kali menemukan teman sehobi, dia langsung berubah mode dari jutek menjadi super ramah. Sangat sulit menemukan teman satu hobi, oleh karena itu sangat berharga bagi Ranti jika sampai menemukannya.
“Kamu sukanya anime apa aja?”
“Banyak. Chihayafuru, Kuroko no Basket, Haikyuu, Kimetsu no Yaiba, banyak lah pokoknya.” Gaida menjawab.
Ditilik dari jawabannya, Ranti yakin Gaida bukan penyuka anime abal-abal. Gaida mungkin satu aliran dengannya.
“Aku juga suka anime-anime itu! Tapi paling suka anime Free!”
“Oalah Free, aku juga suka!”
Tanpa sadar, tempat duduk Saga bergeser ke samping. Ranti dan Gaida mengobrolkan banyak tentang anime serta cosplay. Saga jadi kambing conge di antara kebisingan mereka berdua.
“Udahan dulu ngobrolnya, nanti lanjut. Kasian Saga dicuekin, silakan ngobrol-ngobrol aja sama Saga. Kalian udah lama gak ketemu, kan?”
Ranti mendadak jadi perhatian. Sungguh, Saga tidak paham sifat asli gadis aneh ini.
Sekarang posisi duduk kembali seperti tadi. Saga duduk di tengah, di sebelah kiri dan kanannya ada Ranti dan Gaida yang mengapit.
Gaida seperti ingin mengatakan sesuatu pada Saga, tapi merasa sungkan karena di sana ada Ranti. Ranti pun mengerti dan segera pergi.
“Ada yang mau diomongin berdua, ya? Yaudah silakan aja, aku keliling dulu. Nanti ke sini lagi.”
Ranti sama sekali tidak tahu soal Saga. Dia tidak tahu Saga suka pada Ayano, dia juga tidak tahu kalau Gaida adalah gadis yang disukai oleh Argi. Yang Ranti tahu, pokoknya Saga dan Argi berteman, itu saja.
Setelah Gaida hanya duduk berdua dengan Saga, dia pun mulai berbicara.
“Jadi bener Ranti bukan pacar kamu?” tanya Gaida untuk yang ketiga kalinya.
“Bukan. Dia cuma temen kuliah. Dia pacar—” Saga hendak menyebut Ranti pacar pura-pura Argi. Tapi dia keburu sadar. Hal itu tidak boleh diungkapkan, apalagi pada Gaida. “Dia pacar temenku.”
“Terus kenapa dia ke sininya sama kamu? Pacarnya gak cemburu gitu?”
“Enggak, pacarnya sendiri yang nyuruh aku buat nganterin dia. Pacarnya Ranti itu temen deketku juga, jadi gak mungkin kutikung lah.”
Gaida mengangguk-angguk. “Jadi intinya kamu tidak punya pacar, kan?” tanya Gaida untuk yang keempat kalinya.
“Iya! Kenapa nanya terus, sih? Suka?”
Wajah Gaida memerah, dia memalingkan pandangan.
Saga terkaget melihat reaksinya, padahal tadi dia cuma bercanda.
“Kamu juga suka sama aku, kan?” tanya Gaida, tanpa menoleh pada Saga.
“Hah? Kata siapa?”
“Beberapa bulan lalu kan kamu dateng ke sini, terus nanya apa aku masih pacaran sama Heru apa enggak. Waktu itu kamu mau nembak aku kan semisal aku udah putus sama Heru?”
Saga mengingat-ingat sejenak, kemudian tertunduk lesu.
“Saga, sekarang aku juga jomblo. Udah putus sama Heru bulan kemarin. A-aku mau kok kalau kamu ngajak pacaran.”
Tidak ada jawaban dari Saga.
“Sa-Saga, jawab dong! Jangan buat aku malu. Aku maksain loh ngomong ini. Soalnya, aku beneran suka sama kamu.”
Saga benar-benar merasa bersalah pada Argi, seharusnya saat itu Argi lah yang datang sendiri pada Gaida. Gara-gara kecerobohannya sendiri, sekarang gadis incaran sahabatnya malah menyukainya.
“Maaf, Gaida. Aku sama sekali gak ada perasaan sama kamu.”
“Loh? Terus kenapa dulu nanyain hubunganku sama Heru?”
Saga tidak mau mengatakan ini, tapi dia sudah muak dengan semua ini.
“Aku nanyain hal itu buat Argi. Dia yang suka sama kamu, terus pengen tau hubungan kamu sama Heru. Tapi dia malu nanya ke kamu, anak cupu emang, padahal wajahnya ganteng. Jadi aku deh yang nanyain ke kamu. Maaf ya kalau bikin salah paham.” Saga tidak enak mengatakan ini.
Gaida terdiam sesaat. “Jadi, kamu gak suka sama aku.”
“Iya.”
“Yang suka sama aku itu Argi?”
“Iya, kamu mau gak jadi pacar dia?” Saga mencari kesempatan dalam kesempitan.
Tatapan Gaida berubah serius. “Aku gak suka cowok ganteng, jadi gak bisa.”
“Lah?”
“Aku tau kok, dari dulu Argi itu udah suka sama aku. Dia juga nembak aku berkali-kali. Saking seringnya mungkin sampai dia jadi malu dan gak berani lagi ngomong sama aku. Tapi ya, mau gimana lagi, aku gak ada perasaan apa-apa sama Argi. Seandainya waktu itu yang nanyain hubunganku sama Heru itu Argi, perasaanku sama dia tetep gak bakal berubah. Apapun yang dia lakukan, pokoknya aku gak bakal suka sama Argi.” Gaida mengeluarkan apa yang ada di kepalanya.
Jika Argi mendengar secara langsung, dia pasti akan patah hati. Saga merasa kasihan pada teman lelakinya itu.
“Kenapa gak suka cowok ganteng?”
“Soalnya cowok ganteng pasti bakal dikerubungi cewek. Aku gak suka. Terus karena wajahku biasa-biasa aja, orang-orang pasti bakal ngomongin aku, bilang aku jelek lah, gak pantes lah, pacarnya buta lah. Aku gak suka, aku sadar diri aku sama Argi itu berada di level yang berbeda. Kalau jalan sama Argi aku bakal keliatan jeleknya, gak ada pantes-pantesnya. Aku gak mau.”
Saga sempat berpikir bahwa Ranti adalah gadis paling aneh, tapi ternyata Gaida juga tidak kalah anehnya. Baru kali ini Saga mendengar ada seorang perempuan yang tidak menyukai laki-laki tampan. Alasannya memang cukup logis, tapi tetap saja rasanya begitu aneh.
“Tapi Argi baik loh, dia beneran suka sama kamu. Dia kuliah ke Bandung aja karena masih pengen ngejar kamu. Jarang loh cowok kayak Argi, yang suka sama cewek yang udah punya pacar. Itu artinya dia beneran suka sama kamu.” Saga mencoba menjelaskan.
“Bodo amat.”
“Argi itu banyak yang suka, dia selalu nolak cewek-cewek karena dia pengennya cuma sama kamu. Susah loh dapetin cowok kayak Argi. Sudah ganteng, pinter, baik, setia lagi. Kok bisa kamu gak mau sama dia?”
Gaida berdecih sebal. “Ya mau gimana lagi, kalau gak suka harus diapain? Aku gak mau sama Argi, aku maunya sama kamu!” Gaida menyatakan cinta dengan perasaan sebal.
“Kenapa kok sama aku? Selain anak keluarga Harvent, aku ini gak ada spesialnya.”
“Aku gak mau cowok yang spesial, aku mau cowok yang biasa-biasa aja. Gak terlalu ganteng, gak terlalu pinter, gak terlalu populer, cowok biasa-biasa aja pokoknya. Aku tulus suka sama kamu, bukan karena kamu anak keluarga Harvent.”
Saga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia stress karena semuanya menjadi rumit. Mana mungkin Saga menerima ajakan pacaran dari gadis yang disukai sahabatnya sendiri, bukan?
“Maaf Gaida, aku udah suka sama cewek lain.”
Gaida sudah menduga, tapi tetap saja rasanya sakit.
“Siapa? Ranti?”
“Bukan!!!” Saga benar-benar kesal karena Gaida memasangkannya terus dengan Ranti. “Bukan Ranti. Pokoknya cewek lain di kampusku.”
“Oh, siapa?”
“Rahasia.”
Gaida membenarkan kacamatanya. “Bohong, ya? Kamu sebenarnya suka sama aku juga, kan? Tapi gak enak sama Argi, jadinya kamu ngarang-ngarang. Bener, gak?”
Saga sudah tidak tahan lagi dengan gadis ini. Masih merasa bingung mengapa Argi bisa menyukai gadis yang hanya punya otak ini.
Saga menatap Gaida dalam-dalam. “Gaida, cewek yang kusukai itu namanya Shiraishi Ayano. Cewek asal Jepang yang sekampus sama aku. Aku berkata jujur, nggak bohong. Jadi, maaf ya, aku hargai perasaan kamu, tapi aku gak bisa jadian sama kamu. Tolong jangan bilang itu lagi, apalagi di hadapan Argi.”
Saga tidak ingin membuat Argi sakit hati jika mengetahui bahwa gadis incarannya justru menyukai sahabatnya sendiri.
Gaida menyeka air matanya yang keluar.
“Yaudah kalau gitu. Demi kamu, aku bakal jaga rahasia ini. Ah, sayang banget, aku pikir bisa jadian sama kamu. Pasti bakal bahagia banget aku.”
Mendengar itu Saga tidak bisa membohongi dirinya sendiri, dia senang mendengar hal itu. Apalagi Gaida mengatakannya dengan sangat tulus. Namun lagi-lagi, Saga tidak bisa menerima perasaannya.
“Makasih banyak, ya. Kita temenan aja.” Hanya itu yang bisa Saga tawarkan.
Gaida mengangguk-angguk. “Iya, terima kasih Saga.”
Tak seberapa lama, Ranti pun datang dengan membawa banyak merchandise. Padahal niatnya hari ini tidak beli apa-apa, tapi ujung-ujungnya beli juga.
“Maaf ya lama, kalian—” Perkataan Ranti terhenti saat melihat mata Gaida yang sembab.
“Oi Saga, lu apain Gaida, hah? Lu bikin dia nangis?!”
“Enggak, bentar aku jelasin!”
“Alah, bacot.”
Pletak!
Kepala Saga digeplak lagi oleh Ranti, entah yang keberapa kalinya.
Setelah berhasil melukai Saga, barulah Ranti mau mendengar perkataannya.
“Oh gitu, jadi Gaida suka sama Saga? Tapi Saganya gak suka?” Ranti menatap Gaida.
Gaida mengangguk-angguk seperti anak kecil.
Ranti menghela napas. “Masih banyak laki-laki yang lebih baik dari Saga. Udah lupain aja, Saga gak cocok sama cewek semanis kamu.”
Ranti sepertinya tidak mengerti soal cinta. Rupa, sifat, dan hal-hal lainnya tidak menjadi permasalahan selama ada cinta yang tulus. Tapi Gaida tidak mempermasalahkan, dia tetap berterima kasih karena Ranti sudah mau menghiburnya.
Setelah kejadian ini, Saga meminta pada Gaida untuk tidak memberi harapan apapun pada Argi. Saga ingin Argi melupakan Gaida, dan berhenti mengejarnya. Gaida pun mengerti, dia memang tidak akan pernah menerima pernyataan cinta dari Argi karena hatinya sudah diberikan pada Saga.
Sebelum pulang, Ranti dan Gaida bertukar kontak WA dan mulai menjalin pertemanan.
“Kamu serius gak mau kasih tau Argi perasaanku yang sebenarnya sama Argi?” tanya Gaida.
“Iya, terkadang ada sesuatu yang tidak perlu diketahui. Biar ini jadi rahasia. Kamu bantu aku jaga rahasia ini, ya.”
“Iya.”
“Tapi….” Saga memotong perkataan.
“Tapi apa?”
“Semisal memang dibutuhkan agar Argi berhenti ngejar kamu. Kamu boleh kok mengatakan yang sebenarnya. Demi kebaikan Argi sendiri.”
“Iya, aku ngerti.”
Saga tersenyum. “Baguslah.”
Saga dan Ranti pun pamit pulang.
Namun, Gaida menghentikan Saga untuk yang terakhir kalinya.
“Saga!”
“Iya?” Saga menoleh, sedang duduk di jok dan bersiap menyalakan mesin.
“Ka-kalau berubah pikiran dan mau pacaran sama aku… bilang aja, ya. Nomorku ada di Ranti.”
Saga menghela napas, tidak mau memberi harapan lagi pada Gaida.
“Tidak akan pernah.”