“Ayano, semalem kamu gak diapa-apain kan sama Kevin?” Jenni berbisik di telinga Ayano saat menunggu dosen datang.
Ayano menggeleng. “Kemarin ada Saga, jadi baik-baik aja.”
Karena Kevin meminta Ayano untuk merahasiakan tindakan bejadnya, Ayano pun tutup mulut. Meski masih ada rasa kesal atas tindakannya itu, Ayano tetap menganggap Kevin sebagai teman dan tidak ingin mencemarkan nama baiknya.
“Syukurlah, padahal aku sudah khawatir. Syukurlah aku panggil Saga untuk nemuin kamu.” Jenni bernapas lega.
“Eh? Saga dipanggil sama kamu? Kemaren Saga bilang dia baru pulang dari karaoke. Yang bener yang mana?” Ayano kebingungan.
Jenni agak terkejut mendengar jawaban Ayano. Rupanya Saga telah berbohong pada Ayano kemarin. Jenni pun mengerti dan segera menyesuaikan.
“Iya, kemaren Saga emang lagi di karaoke juga, tapi aku suruh dia cepet pulang.”
“Oh, gitu. Kalau gitu, makasih ya, Jenni, sudah mengkhawatirkan saya.”
“Iya, sama-sama.”
“Kapan-kapan kita karaokean sama Saga, yuk!” ajak Ayano.
“Ayo!”
Di lain tempat, Saga sedang tersenyum-senyum sendiri sambil menatap buku cara beternak jangkriknya. Dia mengingat momen kencan bersama Ayano yang dia lakukan semalam. Meski hanya sekedar mengunjungi toko buku, tapi itu sudah sangat membuatnya bahagia.
“Weh, lu tertarik beternak jangkrik, Sag?” tanya Asep yang duduk di sebelahnya.
“Kagak.”
“Terus kenapa lu pegang buku itu? Sambil senyum-senyum lagi.”
Saga semakin tersenyum, tetapi tidak mau bercerita pada Asep soal kencannya dengan Ayano semalam.
“Ini buku gak bakal gua baca. Buat hiasan kamar aja.”
Asep geleng-geleng kepala.
“Terserah deh.”
***
Pagi ini, Saga ada praktikum Anatomi Veteriner. Dia sudah berada di laboratorium dengan mengenakan jas lab berwarna putih. Seorang asisten dosen sudah berdiri menghadap Saga dan teman-teman sekelompoknya sambil memegangi bagian-bagian dari tulang sapi.
“Anak-anak, perhatikan ya, kita mulai dari tulang kepala. Bagian ini namanya….”
Dengan fokus, Saga mengingat-ingat bagian tulang itu. Satu tulang saja bagiannya ada banyak. Lekukan, lubang, garis, semua bagian tulang itu ada namanya masing-masing. Seperti yang dikatakan Argi, sekolah kedokteran hewan memang memerlukan daya ingat serta analisis yang kuat.
Ketika sedang memperhatikan asisten dosen menerangkan, seorang gadis menabrak punggung Saga. Ketika menoleh, gadis itu ternyata Ayano.
“Eh, maaf Saga, tidak sengaja.”
“I-iya, tidak apa-apa.”
Ayano ternyata sedang praktikum juga di laboratorium ini. Tempat berkumpul mereka bersebelahan. Ayano berdiri di belakang punggung Saga, membuatnya semakin bersemangat untuk memperhatikan asisten dosen.
“Cukup sekian tutor dari saya. Kalau kalian masih ingin belajar, kalian bisa meminjam tulang-tulang ini ke dosen penjaga. Tapi tulang-tulang ini tidak boleh kalian bawa pulang, kalian harus belajar di sini.”
“Iya, Kak!” Semuanya mengangguk mengerti.
“Minggu depan ada ulangan harian praktek. Jangan lupa belajar lagi.”
“Iya, Kak!”
Setelah itu, kelompok mereka bubar.
Saga menoleh ke belakang, Ayano masih sibuk mencatat sambil memperhatikan. Dia ingin mengajaknya makan siang hari ini, tapi tidak berani menganggunya. Akhirnya Saga pergi meninggalkan lab terlebih dahulu.
“Anjir, banyak banget hapalannya. Gak cukup belajar sekali ini mah,” curhat Asep.
“Nanti belajar lagi aja. Kan di buku sama power point juga ada,” balas Mega.
“Beda lah. Meski nama-nama tulang tadi bisa diliat di buku sama power point, tapi belajar langsung sama tulangnya jauh lebih mudah.” Argi yang berkomentar.
“Iya sih.”
Argi lantas menoleh pada Saga.
“Gimana Sag? Nyantol di otak gak?” tanya Argi.
“Sejujurnya… kagak. Besok gua mau belajar lagi.”
Teman-temannya terkaget. “Eh, besok kan tanggal merah.”
“Emang kenapa? Kampusnya gak tutup ini. Otak gua gak seencer kalian. Gua mau belajar ini tiap hari biar pas ulangan gak lupa.” Saga berkata dengan sungguh-sungguh.
“Waah, anak rajin. Gua besok mau liburan ah, dah penat hari ini. Belajarnya pas mendekati ujian aja.” Asep melepas jas labnya.
“Aku juga.” Mega setuju.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Saga sudah siap berangkat ke kampus. Argi yang biasanya bangun pagi malah masih tertidur setelah semalaman berkumpul di klub catur.
Ketika dia hendak pergi meninggalkan kontrakan, handphone-nya tiba-tiba berdering. Tidak ada nama di nomornya.
Saga pun mengangkat.
“Halo.”
“Ha-Halo Saga… i-ini Ayano!”
“A-Ayano?!” Betapa terkejutnya Saga mendengar suaranya di telpon. “Ada apa Ayano? Dari mana kamu tau nomorku.”
“Saya dikasih tahu Jenni.”
“Oh….”
Percakapan terhenti sejenak. Keduanya terlalu gugup.
“A-anu… Saga hari ini ada waktu?”
“I-iya, kenapa emangnya?”
“Hari ini saya mau pergi ke suatu tempat, tapi Jenni bilang dia sibuk. Saga bisa anterin?”
Kondisi macam apa ini? Saga sampai tidak bisa berkata-kata. Jantungnya berdegup sangat kencang. Seharusnya dia yang bergerak mendekati Ayano, tetapi ini malah berjalan sebaliknya. Apa Ayano juga punya rasa pada Saga? atau ini hanya sekedar ajakan biasa sebagai teman?
Sekarang Saga bingung, dia harus memilih antara pendidikan atau cinta. Kesempatan diajak oleh Ayano tidak akan datang dua kali. Bahkan kalau sekarang Saga menolaknya, bisa-bisa Ayano tidak berani mengajaknya lagi.
Tapi di lain sisi, Saga juga merasa ingin belajar saat ini. Dia sedang semangat-semangatnya.
Karena itu, Saga memberikan jawaban pada Ayano.
“Boleh, tapi temani aku belajar anvet dulu di lab. Gimana?”
“Eh? Saga mau ke kampus? Sekarang kan tanggal merah.”
“Iya, nggak papa. Justru karena lagi tanggal merah, lab anvet jadi kosong. Aku bisa pinjem tulang sebelum keduluan kelompok lain. Gimana, Ayano mau temenin aku?”
“Iya, boleh! Saya bersiap-siap ke sana sekarang.”
Saga berdebar kencang. Entah mengapa rasa senangnya jadi double. Bukan hanya ditemani belajar oleh Ayano, sepulangnya dari lab dia juga akan berjalan-jalan bersama dirinya. Saga bersyukur dia berniat belajar hari ini.
Sesampainya di lab Anatomi, Saga terkaget melihat penampilan Ayano dengan pakaian santainya. Dia mengenakan gaun terusan khas Jepang yang jarang dia lihat digunakan oleh gadis-gadis di daerahnya.
“Kawaii.”
“Apa?” Ayano tidak mendengarnya.
“Bukan apa-apa.”
“Kalau begitu, ayo kita masuk,” ucap Ayano sembari mengeluarkan jas lab dari dalam tasnya.
Meski sekarang masih libur, memakai jas lab ke laboratorium adalah hal yang wajib. Jika tidak menggunakannya maka mahasiswa tidak boleh masuk.
Sesuai dugaan Saga, lab anatomi memang kosong hari ini. Tidak ada satupun mahasiswa yang datang, hanya ada penjaga lab saja. Dengan begitu, mereka bisa langsung meminjam tulang tanpa harus mengantri.
“Wah, saya pikir kampus tutup di tanggal merah. Kalau tahu begini, saya juga akan datang ke sini hari ini.”
“Beberapa fakultas memang tutup tiap tanggal merah, tapi fakultas ini buka. Aku diberitahu sama kakak kelas.”
“Oh, begitu.”
Tanpa lama-lama, mereka berdua mulai belajar bersama. Saga dan Ayano saling bergantian menjelaskan nama-nama bagian tulang.
Seperti yang sudah diduga, Ayano lebih cepat hapal ketimbang Saga. Hal ini karena otak Ayano sudah terbiasa untuk menghapal cepat, sedangkan Saga sama sekali jarang menghapal. Saga belum terbiasa.
“Wah, Ayano keren banget. Hapalnya cepet.”
Ayano menggeleng. “Enggak, biasa aja kok. Saga juga bisa kalau tahu triknya.”
“Memang bagaimana triknya?”
Ayano lantas mengeluarkan catatan kecil dari dalam tasnya.
“Saya menulis semua nama tulang di sini, beserta gambarnya. Selama menunggu atau sedang di perjalanan, saya selalu baca agar selalu ingat. Karena catatannya kecil, saya jadi bisa baca di mana saja.”
Saga terbelalak. Dia pikir dia sudah paling niat dengan datang ke tempat ini saat libur, namun Ayano ternyata lebih niat. Dia sampai repot-repot menggambar bagian-bagian tulang dengan sangat detail beserta tulisannya.
“Boleh aku pinjam catatannya, aku mau salin. Gambar di buku sama power point kurang jelas soalnya.”
“Iya, boleh.” Ayano mengangguk.
Saga dan Ayano belajar dari pukul tujuh sampai sembilan pagi. Setelah itu mereka berdua pergi ke pusat perbelanjaan yang agak jauh dari kampus mereka. Ayano katanya ingin membeli beberapa peralatan memasak.