13

1228 Kata
Hasil ulangan harian praktikum anatomi telah ditempelkan di dinding. Secara ajaib, Saga berhasil lulus dengan nilai pas-pasan, yaitu 42. Murid yang mendapat nilai di bawah 40 harus mengikuti remedial. “Syukurlah, gua lulus, pas ulangan tadi gua mendadak amnesia.” Saga bernapas lega. “Selalu aja begitu, hadeuh.” Argi geleng-geleng kepala. “Emang waktu SMA kayak gimana?” tanya Asep. “Ya gitu, seharian belajar tapi pas ulangan lupa. Jadi percuma aja dia belajar.” “Oh, gitu.” Saga masih merasa sangat senang. Baru kali ini dia merasakan hasil dari jerih payahnya dalam belajar. Usaha keras memang tidak akan mengkhianati hasil. “Untuk merayakan semua ini, ayo kita makan sepuasnya di restoran bintang lima!” Saga menatap Argi dan juga Asep. Argi berkeringat dingin. “Hah? E-emangnya lu punya duit sebanyak itu, ya?” “Ada lah, di ATM gua kan masih ada 1M.” Saga menjawab dengan santai. Argi menepuk wajahnya sendiri, sedangkan Asep menatapnya aneh. Saga tidak sadar telah membocorkan rahasianya sendiri. Barulah setelah beberapa saat dia tersadar. “Tapi bo’ong, hahaha.” “Ah dasar, emangnya lu keluarga Harvent punya uang jajan sebanyak itu, hahaha.” Argi mengikuti bercandaan Saga, tapi Asep sama sekali tidak tertawa. Dia malah menatap curiga pada keduanya. “Saga, jadi lu beneran anak keluarga Harvent, ya?” Saga berkeringat dingin. “Kenapa lu nanya?” “Waktu perkenalan sama dekan kan dia bilang lu itu Saga Harvent. Terus kalo dipikir-pikir, tas sama sepatu lu itu barang mahal, loh. Lu juga kelihatan gak pernah khawatir soal keuangan, padahal mahasiswa umumnya suka khawatir meskipun dia anak orang kaya. Kalau sampai gak punya kekhawatiran kayak gitu itu artinya keluarga lu bener-bener kaya banget. Lu juga tadi bilang isi ATM lu tinggal 1M. Jika boleh menarik kesimpulan, satu-satunya hal yang masuk akal adalah lu itu anak keluarga Harvent. Apa gua bener?” Asep mengeluarkan argumennya yang panjang lebar, membuat Saga dan Argi tercengang. Keduanya saling balas bertatapan. Detektif Asep ternyata lebih peka dibanding yang mereka pikirkan. “Gapapa, kayaknya dia bisa dipercaya.” Saga mengangguk. “Oke lah, gua yang jelasin.” Argi juga mengangguk. Argi lalu berbisik pada telinga Asep. “Iya, bener. Saga itu anak keluarga Harvent. Dia anak ke-6 dari 8 bersaudara.” Reaksi Asep tidak seheboh yang mereka pikirkan. Dia hanya berkata. “Sudah kuduga, udah dari lama sih gua curiga.” “Yaudah, karena lu udah tau gua traktir makan deh, tapi jangan kasih tau siapapun, ya.” Saga menawarkan perjanjian. “Oke, selama bisa makan gratis, gua bakal tepatin janjinya.” “Oke, berangkat!” *** Asep dibawa oleh Saga dan Argi ke restoran di hotel berbintang lima. Dari luar saja sudah kelihatan bahwa hotel ini benar-benar hotel yang mahal. Uniknya, mereka bertiga datang ke tempat ini menggunakan sebuah angkot. “Ayok, langsung ke restorannya.” Saga terlihat begitu santai karena memang sudah terbiasa mengunjungi tempat-tempat yang mewah seperti ini. Argi pun begitu. Sementara Asep merasa sedikit ketakutan, takut jika ternyata Saga benar-benar bercanda dan tidak memiliki uang. “Seriusan ini kita makan di sini? Di warung kaki lima juga gapapa deh kalau mau traktir.” Asep memegangi baju belakang Saga. “Udah, diem aja, ini bakal menjadi pengalaman lu yang berharga.” Begitu sampai di restoran, Asep dibuat terkagum dengan indahnya desain interior ruangannya. Semuanya benar-benar mengkilap, rapi, bersih, serta memiliki suasana yang terkesan fantastis. Tempat yang biasa Asep lihat di film kali ini dia kunjungi secara langsung. Begitu mereka sampai, pelayan segera mengantarkan mereka ke tempat duduk. “Ini menunya, silakan dipilih.” Asep terlonjak saat melihat salah satu harga makanan di menu. “Anjiir, satu menu harganya sejuta!” Uang sebanyak itu setara dengan uang bekalnya untuk satu bulan. Saga menaruh telunjuknya di bibir. “Diem, jangan malu-maluin.” Argi mengangguk-angguk. “So-sorry, orang biasa seperti gua gak bisa menjaga menahan kaget.” Saga dan Argi lalu tertawa. “Udah, lu pilih aja mau makan yang mana. Gak usah liat harga.” Saga tersenyum. “Eh, seriusan?” “Iya.” Meski sudah dibilang begitu, Asep masih tetap merasa sungkan. Mau beli menu yang paling murah pun harganya 300 ribu. Karena sudah di sini, Asep pun membuang harga dirinya. Sekalian saja dia beli makanan-makanan yang membuat lidahnya berliur. Tidak akan memedulikan harga seperti yang dibilang oleh Saga. “Saya pesan menu ini, ini, ini, dan ini.” Asep menunjuk nama-nama makanan yang ada di menu tersebut. Setelah itu, Saga dan Argi juga memesan pesanan mereka masing-masing. Alasan mengapa harga-harga makanan di hotel restoran mahal adalah karena koki yang menghidangkan masakan untuk mereka adalah koki-koki professional. Selain itu bahan makanan serta peralatan yang digunakan adalah produk-produk berkualitas. Servis dari pelayan serta suasana restoran yang sangat membuat nyaman juga yang menjadi faktor mengapa makanan di hotel menjadi sangat mahal. Namun, di atas semua itu, reputasi hotel lah yang menentukan semuanya. Beberapa belas menit setelah memesan menu, makanan mereka pun diantar oleh pelayan. d**a Asep berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, dia akan mencicipi makanan super mewah yang selama ini bahkan tidak terbayang olehnya. “Gila, bekerja puluhan taun pun gua kayaknya gak bakal bisa beli makanan ini.” Hal yang dikatakan Asep memang masuk akal. Restoran-restoran mewah di hotel seperti ini biasanya memang hanya dikunjungi oleh para pejabat atau bos pemilik perusahaan yang terkenal. Kalangan menengah ke bawah tidak mungkin mau menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk sekali makan. “Selamat menikmati.” Seorang pelayan pria yang sangat sopan pergi pamit setelah mengantar pesanan mereka bertiga. “Cubit gua Sag, kayaknya gua lagi mimpi.” Saga langsung mencubit pipi Asep. “Kalau butuh bantuan lagi, bilang aja.” Mereka bertiga lantas menyantap makan siang mewah itu bersama-sama. Asep terlihat sangat menikmati, sampai-sampai menyantap makanan itu dengan pelan. Saga tidak ingin mengejek tingkah Asep yang seperti itu, karena dia memang belum terbiasa dengan hal ini. Saat pertama kali datang ke restoran ini, Argi pun bertingkah mirip dengan Asep. Udara yang sejuk, karpet yang empuk, bau yang harum, alunan musik yang merdu membuat makan siang itu menjadi sangat nikmat. Seperti yang dikatakan Saga, Asep memang tidak akan bisa melupakan makan siang hari ini. “Ah, kenyang banget, puas banget. Lain kali ajak gua lagi ke sini, ya.” Asep terlihat sangat bahagia. “Iya, tapi inget ya, jangan sampe rahasia ini bocor. Gua gak mau orang lain tau soal ini,” balas Saga. Asep menatapnya serius. “Sag, Ayano tau soal ini, gak?” “Enggak, dia orang yang paling gak boleh tau soal ini.” “Eh, kenapa?” “Ya, lu tau sendiri, gua ini suka sama Ayano. Gua gak mau Ayano tau gua orang kaya dan jadi suka gara-gara hal ini. Gua mau dia mencintai gua apa adanya.” Asep mengangguk-angguk. “Oh, jadi alasan lu belajar dengan keras itu biar bisa diakui sama Ayano, ya?” “Itu nomor dua, yang pertama tentu saja karena gua pengen jadi dokter hewan.” Asep tersenyum. “Gitu ya, ok. Ternyata gua emang gak salah pilih temen. Gua dukung lu deh pokoknya. Gua dukung lu jadi dokter hewan, dan gua dukung juga lu sama Ayano. Kalo lu butuh bantuan apapun, bilang aja ke gua. Gak usah pake bayar-bayaran.” Saga tersenyum, dia juga bersyukur berteman dengan Asep. Lelaki ini sepertinya bukan tipe orang yang mata duitan seperti teman-temannya saat SMA dulu. Buktinya, dia kembali bersikap seperti biasa dan memperlakukan Saga sepantaran dengannya. “Makasih, Bro!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN