19

1137 Kata
Argi duduk di ruang tamu rumah Ranti. Padahal ini baru hari kedua mereka mejalani hubungan palsu, tapi Argi sudah dikenalkan saja pada orang tuanya. “Nak Argi, mau dibuatin minum apa?” Ratna menawari. “Eh, nggak usah repot-repot, Tante.” “Nggak apa-apa, ayo bilang mau apa.” Argi menggaruk belakang kepalanya. “Terserah Tante aja deh.” “Es jeruk mau?” “Iya boleh.” “Oke, Tante bawain ya, jangan pulang dulu!” Ratna segera bergegas pergi ke dapur. Argi dan Ranti duduk bersebelahan, kali ini sikap Ranti kembali seperti biasa, tidak menempel-nempel lagi seperti saat di kampus. Gadis itu fokus menatap layar handphone-nya untuk bermain game online. “Oi, kenapa gua dibawa ke sini, sih? Repot nanti kalau dia tau yang sebenernya.” Argi setengah berbisik. “Makanya, jangan sampe dia tau.” Ranti menjawab singkat. “Duh.” Ardi menepuk jidatnya. Tak lama, Ratna datang membawa dua gelas es teh. Argi merasa bingung, padahal seingat dia tadi Ratna bilang mau membawakannya es jeruk. Tapi tak apa, Argi tidak mau memusingkan ini. “Ini dicicipi es tehnya.” “I-iya, terima kasih, Tante.” Argi langsung meneguk es tehnya. Ratna mengambil tempat duduk yang bersebrangan dengan Argi, ingin segera mengobrol-ngobrol dengannya sebentar. “Ranti, udahan dong main hapenya. Ini pacarmu ada di sini, loh!” Ratna menegur Ranti yang tidak lepas dari gadget-nya. “Biarin aja Ma, Argi gak bakal kabur kok, tenang aja. Dia itu cinta mati sama aku. Kalau gak percaya silakan Mama ajak ngobrol sendiri.” Ranti menjawab tanpa menoleh pada orang tuanya. Argi berdecih dalam hatinya. Lagi-lagi gadis ini membuat kebohongan yang sangat besar. Argi bisa saja membongkar kebohongannya saat ini juga, tapi merasa tidak tega karena akan menyakiti hati ibunya yang terlihat sangat bahagia. “Jadi, Nak Argi, gimana ceritanya bisa kenal Ranti?” “Kami temen satu kampus, tapi beda kelas. Saya suka lihat Ranti di kantin sendirian, kirain saya gak punya temen, ternyata emang suka sendirian. Terus saya coba ajak ngobrol aja, eh ternyata cocok.” Argi seratus persen mengarang. Ratna merasa senang sekaligus malu. Senang karena Argi mau mendekati Ranti, tapi juga malu karena faktanya Ranti memang tidak punya teman. “Yang nembak siapa?” tanya Ratna, tidak sabar ingin segera tahu jawabannya. “Aku.” Ranti yang menjawab. “Beneran?” Ratna meliriknya. “Iyaa.” Mendengar itu, Ratna merasa senang setengah mati. Seumur hidupnya, baru kali ini Ratna mendengar Ranti menyatakan cinta pada laki-laki. Padahal biasanya mendengar kata laki-laki saja Ranti mau muntah. Ditembak oleh siapapun, Ranti selalu menolak, sehingga membuat Ratna merasa khawatir. “Kamu kok tiba-tiba jadi normal, sih? Kenapa mau sama Nak Argi?” Ranti menjawab. “Soalnya Argi ganteng, pinter, dan tidak sombong. Kalau bicara juga nyambung sama aku.” “Syukurlah.” Ratna menyusut air matanya yang sedikit keluar. Dia lalu berganti menatap Argi, menanyakan hal yang sama. “Nak Argi kenapa mau sama Ranti? Nak Argi tau kan kalau Ranti itu sedikit… aneh?” Argi tersenyum kecil. “Nggak aneh kok, Tante. Saya justru suka sama tipe-tipe cewek kayak Ranti. Dia bilang gak suka laki-laki beneran itu pasti maksudnya agar bisa menjaga diri dari para laki-laki yang gak bener. Buktinya pas saya tembak, Ranti mau kok. Itu berarti anak Tante sebenarnya normal, kok.” Lagi-lagi Argi membuat argumen dadakan. “Gitu ya, syukurlah.” Ketika pembicaraan selesai, Ranti juga baru menyelesaikan game online-nya. Dia menaruh gadgetnya di meja kemudian mulai meneguk es teh. “Nak Argi, kamu—” “Udah Ma, kasian Argi jangan ditanya-tanya terus. Argi kebingungan menjawabnya.” Ratna pun tersadar, dia lantas tertawa kecil untuk menutupi kesalahannya. “Ahahaha, maaf-maaf, kalau gitu silakan ngobrol-ngobrol sama Ranti. Tante mau lanjutin nyiram kebun dulu.” Ratna pun pergi meninggalkan Argi dan Ranti di rumah. Argi langsung menghela napas. “Gila, ini parah banget. Kenapa gua harus berkata bohong, sih? Jadi ribet entar.” “Nggak ribet, kok. Begitu kontrak selesai, gua bilang aja kita udah putus. Beres.” “Tapi gua gak tega lihat nyokap lu yang baik banget itu bersedih. Kalau kontrak kita selesai, lu bakal balik kayak dulu lagi, kan? Gak bakal deketin laki-laki lagi?” “Iya lah, mana mau gua deket-deket sama laki-laki.” “Tapi ini lu deket sama gua.” “Ya lu mah gapapa, soalnya lu udah bayar gua. Lu juga bakal nemenin gua tiap ada event anime, jadi gak masalah.” Argi menatap mata Ranti dalam-dalam, membuat gadis itu merasa risih. “Lu gak jatuh cinta ke gua, kan?” Ranti merengut dan langsung menampol wajah Argi. “Kagak lah. Pede banget. Muka lu emang ganteng, tapi gua sukanya cowok 2 dimensi. Jadi no thank you!” Argi bernapas lega. “Pokoknya pas kontrak selesai, kita jadi orang asing lagi, ya. Gua gak bakal peduli nyokap lu jadi sedih juga.” “Ya emang gitu kan perjanjian awalnya.” “Bagus lah kalau lu inget.” Sore itu, Argi hanya mampir sebentar untuk dikenalkan pada Ratna. Ranti sengaja memperkenalkannya agar jika suatu hari ada kejadian yang mengharuskan Argi datang ke rumahnya, Ratna bisa langsung diajak kerja sama, jadi tidak akan tercium kebohongannya. “Eh, Nak Argi udah mau pulang?” tanya Ratna yang sedang duduk di balkon. “Iya, hari ini cuma mampir sebentar. Cuma mau ketemu sama Tante, hehehe.” “Argi katanya gak sabar pengen ketemu calon mertua, jadi aku bawa ke sini deh.” Ranti membuat kebohongan lagi. Ratna langsung sumringah, sementara Argi semakin merasa tidak enak. “Kamu berencana nikahin Ranti, Nak Argi?!” tanya Ratna dengan semangat. Argi bingung menjawabnya. “Y-ya, kalau Tuhan mengizinkan.” Ratna langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Adeuh… so sweet!!! Tante doain semoga jadi!” Ratna tentu tidak ingin melepas Argi begitu saja. “I-iya, terima kasih, Tante.” Setelah itu, Argi kembali membonceng Ranti. Rencananya, Ranti akan mengantar Argi sampai kontrakannya, kemudian balik lagi sendirian. Dia tidak tega membiarkan Argi menaiki taksi. “Kapan-kapan main lagi, ya.” “Iya, Tante.” *** “Meg. Muka kamu kok kayak terong penyakitan gitu, sih? Kamu kenapa?” tanya Sisil pada Mega yang sedang duduk di kelas dengan cemberut. Mega akhirnya curhat pada Sisil tentang dirinya yang sudah lama mengagumi Argi. “Ya, mau gimana lagi. Argi juga pasti suatu saat bakal dapat pacar. Salah kamu sendiri terlalu lama memendam perasaan.” “Tapi kan aku belum siap untuk menyatakan. Kenapa Argi gak nunggu aku siap dulu, sih?!” “Ya gak bisa gitu lah, Meg. Argi mana tau perasaan yang sedang kamu pendam. Kalau tau pun paling kamu ditolak. Kak Erika aja ditolak. Apalagi kamu. Argi kayaknya suka cewek aneh.” Mega terdiam. “Tunggu putus aja. Entah kenapa aku ngerasa hubungan mereka gak bakal bertahan lama. Tapi, jangan terlalu berharap, deh,” saran Sisil. Mega merenung. “Yaudah, temenan aja deh.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN