bc

Jalan Tol

book_age12+
520
IKUTI
3.8K
BACA
love-triangle
drama
like
intro-logo
Uraian

Kata siapa hubungan yang berjalan lurus tanpa masalah dan pertikaian akan berjalan lancar hingga jenjang yang bernama pernikahan?

Hubungan tanpa masalah bukan berarti semuanya akan lancar tanpa kendala, karena kendala itu bisa datang kapan saja dan di mana saja, termasuk di dalam hubungan gue dengan pacar gue yang tergolong lancar banget kayak jalan tol.

Gue yang cendrung bersikap dewasa dan Kavindra yang cendrung bersikap mengalah dan menghindari masalah seharusnya kombinasi yang tepat dalam membangun suatu hubungan penuh keseriusan.

Tapi ternyata hal itu gak menghindari kami dari suatu masalah yang bernama ... jenuh.

chap-preview
Pratinjau gratis
First Story
Perselingkuhan terjadi bukan hanya karena niat, tetapi karena ada kesempatan! *** Perselingkuhan dan pelakor alias perebut laki orang memang sedang menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini akibat banyaknya kasus yang di blow up di media, terutama di kalangan public figure. Dan kasus itu baru saja menimpa sahabat gue, Zenata Alsava. Zenata menjalin kasih dengan Danu Zaferino dalam waktu yang terbilang lama, tiga tahun, semenjak mereka duduk di kelas dua bangku SMA. Tapi sepertinya ujian cinta terbesar menghampiri mereka saat menduduki bangku kuliah. Danu berkhianat dan menjalin kasih dengan wanita lain yang memiliki nama yang hampir mirip dengan gue, hanya berbeda satu huruf depan saja. “Egi, gimana si Nat?” tanya Inara, sahabat gue yang lainnya. “Jangan sebut nama itu di depan gue!” teriak Zenata murka yang membuat Kandita Inara Ahmad, sahabat gue yang biasa dipanggil Inara tersentak pelan. “Lo sih, udah tau dia lagi sensitif sama nama itu,” sungut gue pelan. Nama selingkuhan Danu memiliki nama yang cukup mirip dengan gue, selingkuhan Danu memiliki nama Regita, sedangkan nama gue Egita, kami bahkan memiliki nama panggilan yang sama, yaitu Egi. Inara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. “Terus kita ubah panggilan nama lo mulai sekarang?” Gue menggendikkan bahu singkat. Gue nggak ingin membuat Zenata terluka lebih jauh setelah ia memergoki kekasihnya itu tidur dengan perempuan lain tepat di depan matanya, dan sepertinya mengubah nama panggilan gue adalah jalan teraman untuk saat ini. Ini merupakan salah satu bentuk solidaritas kepada teman gue yang sedang berduka ini. Lagipula ini hanya untuk sementara bukan? Zenata pasti akan move on dan melupakan masalah ini nantinya. “Kayaknya itu lebih baik, gimana menurut lo?” Gue meminta pendapat Inara. “Terus kita ubah jadi apa? Nama lo kan Egita Airis Zahran, jangan Zahran, nanti gue ketuker sama Bang Zafran si mahasiswa abadi Fakultas Teknik yang gayanya norak itu. Kalau Airis, kekerenan. Gigi atau Gigit gimana?” Inara bermonolog. Gue hampir saja melemparkan botol minum ke arahnya jika tidak mendengar suara tawa Zenata yang tiba-tiba pecah karena monolog Inara barusan. “Gue suka tuh! Gigit aja panggilannya! Biar beda dari cewek s****n itu! Lo nggak pantes disama-samain sama orang kayak gitu,” ucap Zenata menggebu. Gue menghela napas. Zenata memang tipe sahabat yang bahagia jika melihat sahabatnya menderita. “Please, mau ditaruh di mana muka gue kalau kalian manggil gue ‘Gigit’, hah?” timpal gue tidak terima. “Oke, kita panggil lo Git aja, gimana?” usul Inara pada akhirnya. “Setuju!” timpal Zenata. Yeah, panggilan nama gue yang sudah bertahan selama satu setengah tahun terakhir sepertinya harus diganti, setidaknya ‘Git’ lebih baik dari ‘Gigit’. “Oh ya, lo juga harus hati-hati tuh, Kak Kavindra cowok lo itu kan termasuk cowok yang paling diincer seantero kampus Git, jangan sampai lo mengalami nasib yang sama kayak gue.” Zenata menasihati, wajahnya kembali berubah menjadi sendu saat ini. “Yes, pelakor kayaknya emang lagi musim deh, pebinor juga,” tambah Inara. “Tapi kayaknya Egi ini nggak bisa disebut pelakor deh, yang bener pepacor, kan lo masih pacaran, Nat, bukan nikah,” timpal gue sambil menunjukkan gigi. Zenata yang kesal karena ucapan gue barusan melempar bantal sofa. “Garing lo, Gigit!” sungutnya kesal. “Gue masih nggak nyangka loh, seorang Danu ternyata bisa kayak gitu, Nat.” Inara menghentikan perdebatan yang bisa saja berlanjut lebih jauh lagi. Gue mengamini ucapan Inara dalam hati, pasalnya Danu terlihat sebagai sosok yang baik-baik saja selama ini, bukan cowok yang tukang tebar pesona kayak mantan gue, Fikar. Fikar adalah sahabat Zenata yang sudah seperti kucing dan anjing. Jika keduanya sudah dipertemukan, maka kehebohan lah yang akan terjadi. “Danu awal masuk kampus baik-baik aja, tapi lama kelamaan dia jadi makin aneh. Mulai dari minta cium pipi setiap kami habis jalan, berlanjut minta cium bibir, bahkan terakhir ngajak gue tidur bareng,” ungkap Zenata yang membuat bola mata gue dan Inara reflek melebar. “Gila!” teriak gue spontan. “Setelah gue nolak, Danu kayak jaga jarak sama gue.” “He doesn’t deserve you, Nat!” ucap Inara emosi. “Danu sebrengsek itu?” tanya gue nggak percaya. “Zaman sekarang tuh ya, cowok sukanya kalau nggak d**a ya paha! Udah kayak KFC aja pokoknya,” keluh Zenata. “Nggak semua cowok kali, Mas gue nggak b******k,” sahut Inara tidak terima. Zenata memang anak tunggal, berbeda dengan gue dan Inara yang memiliki kakak. Kakak gue seorang perempuan, Kak Nares kini tinggal di Jepang untuk mengikuti suaminya yang memang bekerja di sana. Sedangkan kakak Inara adalah seorang laki-laki, itu satu-satunya informasi yang gue tahu. “Kavindra juga enggak,” timpal gue sambil menyesap ice frappe latte, minuman kesukaan Zenata yang gue beli sebelum menuju ke sini, gue sengaja membelinya untuk mengurangi kegalauan sahabat gue itu. “Nat, cowok masih banyak, kalau gitu Danu emang nggak pantes buat lo. Masih banyak kok ikan di laut, tinggal lo yang bener aja mancingnya. Ikan dengan harga tinggi nggak akan mau dengan umpan murah,” ucap Inara yang membuat gue tertawa. “Sok tahu! Lo sendiri aja nggak punya pacar!” ledek gue yang membuat wajah Inara berubah menjadi merah padam. Sahabat gue yang satu itu terlibat dalam salah satu zona yang paling berbahaya di dunia, yaitu friendzone, dengan sahabatnya sejak SMP yang bernama Aldo. “Gue nggak butuh nasihat dari jomlo,” tambah Zenata yang membuat gue tergelak. Inara berubah menjadi masam. “Yang jomlo biasanya yang lebih ampuh loh sarannya,” ucap gue membela Inara. Zenata mengangguk. “Gue juga heran deh, kenapa yang jomlo malah lebih ampuh ya sarannya?” “Karena jomlo bisa memandang permasalahan dari banyak sisi.” Inara menyahut. Suara dering ponsel gue membuat kami bertiga terdiam, nama Fikar Rashdan menghiasi layar ponsel gue. “Halo, kenapa Kar?” sapa gue begitu mengangkat panggilan itu. “Lo lagi di tempat Nat?” tanya Fikar tanpa basa-basi. “Iya, kenapa? Mau ke sini?” “Tunggu gue di sana, jangan biarin Nat sendirian.” Panggilan itu terputus begitu aja, dan gue memandang Zenata yang menatap dengan penasaran. “Fikar,” ucap gue menjelaskan. “Kayaknya gosipnya udah nyebar di kampus,” tebak Inara. “Fikar nggak akan ke sini kalau dia nggak tau soal masalah Nat,” simpul gue. Inara mengangguk menyetujui. Sementara Zenata kini memandang jendela yang menampilkan langit berwarna kelabu dengan tatapan kosong. “Mantan lo manis juga ya? Selalu ada saat sahabatnya butuh,” ucap Inara yang membuat gue mengulum senyum. “Hati Fikar nggak pernah ada untuk gue, kami cuma salah tafsir tentang apa yang kami rasain waktu itu,” ungkap gue jujur. Inara memandang gue dengan heran, sementara Zenata masih menatap jendela, sepertinya masih merenung. Gue menatap Zenata dengan pandangan miris, tidak hanya Inara yang terjebak dengan zona friendzone, tetapi juga Fikar dan Zenata. Fikar bahkan jauh lebih peduli dengan Zenata dibandingkan dengan gue saat status kami masih berpacaran dulu. Tapi Zenata seolah dibutakan oleh cintanya terhadap Danu. “Kok lo sama Fikar bisa baik-baik aja sih Git? Nggak ada cekcok emang waktu putus?” tanya Inara penasaran. Gue mengangguk. Gue dan Fikar memang berpisah secara baik-baik, karena kami menyadari bahwa perasaan kami bukanlah cinta, hanya sekadar rasa nyaman untuk hangout dan bertukar pikiran sebagai teman, tidak lebih. Pertanyaan Inara barusan membuat kenangan satu tahun yang lalu kembali terbuka di dalam memori. Momen di mana gue mengakhiri hubungan dengan Fikar.   *** Satu tahun yang lalu. Setelah tiga minggu berpacaran dengan Fikar, gue merasakan banyak keanehan. Rasa nyaman saat awal kami mengenal dulu menghilang, tergantikan dengan perasaan terganggu. Fikar adalah tipe cowok yang harus diberi kabar, kapan pun di mana pun. Sedangkan gue bukanlah tipe seseorang yang suka melaporkan apa pun yang gue kerjakan. Fikar memang teman bertukar pikiran yang cukup baik, tetapi terkadang ocehannya melebihi batas. Satu-satunya tempat untuk gue mengamankan diri dari ocehan berisiknya adalah perpustakaan. Gue memang bukan seorang kutu buku yang tidak punya pergaulan, gue masih suka pergi ke mall dan main di kafe, malah terkadang pergi ke kelab sampai malam, meskipun gue nggak pernah menyentuh minuman beralkohol layaknya Zenata, hanya untuk memenuhi rasa penasaran saja. Tapi gue suka ketenangan dan sering kali menghabiskan waktu di perpustakaan. Ketenangan dan Fikar adalah hal yang berlawanan, Fikar bukan tipe orang yang suka belajar dan duduk diam, dia berisik dan juga aktif. Jadi gue kerap kali menghindari kecerewetannya dengan pergi ke perpustakaan, tempat yang paling dihindari olehnya. Pada akhirnya gue menyadari bahwa gue suka sama Fikar hanya sebatas teman main, tidak lebih. Dan gue rasa Fikar pun merasakan hal yang sama. Oleh karena itu, gue memaksa Fikar untuk menginjakkan kakinya ke perpustakaan untuk pertamakalinya selama nama dia terdaftar di kampus. "Kar, lo ngerasa kita cocok nggak sih?" "Lo cewek gue cowok, cocok lah," jawab Fikar cuek. "Sampah! Bukan kayak gitu maksud gue." "Terus apa?" "Gue ngerasa lebih cocok temenan sama lo, semenjak kita jadian, gue malah lebih canggung. Pas kita main juga jadi nggak seasik dulu." Gue sama sekali tidak menemukan raut terganggu maupun kesedihan di wajah Fikar. Kejujuran gue ditanggapi Fikar dengan begitu santai, dia bahkan mengulas sebuah senyum. "Gue juga ngerasain hal yang sama tau." Fikar menganggukkan kepalanya tanda ia setuju. Seperti dugaan gue sebelumnya. "Jadi? Kita udahan aja?" Hubungan ini tidak sehat lagi, rasa nyaman yang dulu didapuk sebagai awal kami menjalin sebuah hubungan sudah hilang. Jadi gue memutuskan untuk mengakhiri semuanya sebelum berubah menjadi beban. "Ya udah. Aduh, rekor tercepat gue nih pacaran tiga minggu doang. Tapi lo perlu bangga lah ya punya mantan kayak gue." Kepedean Fikar membuat gue semakin yakin akan keputusan untuk mengakhiri semuanya. Fikar memang lebih cocok untuk dijadikan seorang teman dibandingkan seorang pacar. "Yeh! Itu aib buat gue!" "Anjir lo, s****n! kemaren aja ngomong sayang!" "Gue nggak ngomong sayang!" "Lo manggil gue ‘yang’!" "Itu karena kepala lo peyang!" "Ssssst, ini perpustakaan." Perdebatan kami dihentikan dengan suara seseorang. "Maaf Bang Kavin, kita abis putus jadi gini." Fikar berucap tanpa rasa bersalah ataupun menyesal. Dan Kavin, laki-laki yang menegur kami barusan menatap kami dengan pandangan heran. "Mau gue anter pulang nggak?" Fikar bertanya sembari mengangkat tasnya. "Nggak. Gue balik sendiri. Sana! Biasanya lo ngerecokin Nat kan?" Gue menolak ajakkan Fikar karena gue yakin dia akan merusuhi sahabat gue yang sekaligus sahabatnya, Zenata. Sudah menjadi rahasia umum kalau Fikar adalah supir pribadi Zenata yang akan mengantar dan menungguinya kapan pun. "Oke! goodbye mantan!" Fikar berlalu sambil mengedipkan matanya dan meninggalkan gue di perpustakaan. Sedangkan gue hanya menggeleng melihat tingkah anehnya. "Bisa ya kalian putus kayak gitu?" Pertanyaan itu berasal dari cowok yang menegur gue dan Fikar tadi. Sepertinya ia memperhatikan proses perpisahan kami. "Kalau udah sama-sama ngerasa nggak cocok kenapa harus dipertahankan, Kak? Toh kami putusnya juga damai. Kalau udah nggak bisa berjalan beriringan, mending pisah daripada harus saling korban perasaan." Cowok itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya dan menyebutkan nama. "Kavindra..." Gue pun menyambut uluran tangannya dan memperkenalkan nama gue. "Egita..." Hari itu pertemuan pertama gue dengan Kavindra, dan siapa sangka pertemuan kami tidak hanya sebatas itu saja. Pertemuan singkat kala itu, berubah menjadi sebuah hubungan yang serius.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

Symphony

read
184.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
53.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

Skylove

read
115.0K
bc

Long Road

read
148.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook