Engaged

2265 Kata
Setelah memberi nasihat kepada Zenata, gue maupun Inara memutuskan untuk pulang, dan Zenata menyuruh Fikar untuk mengantar kami berdua pulang. Perintah Zenata seakan mutlak bagi Fikar, dan ia menuruti perkataan Zenata tanpa pikir panjang meski gue dan Inara sudah menolaknya. Fikar mengantar Inara terlebih dahulu, baru mengantar gue. Inara tinggal bersama kedua orangtuanya, sedangkan gue merantau sendirian di Jakarta. Orangtua gue tinggal di Yogyakarta, di sini gue menyewa sebuah unit apartemen yang letaknya tidak jauh dari kampus. Kadang Inara atau Zenata akan bergantian untuk menginap di apartemen untuk menemani gue di kala gue membutuhkan teman berbagi. “Gimana Bang Kavindra?” tanya Fikar yang membuat gue mengulum senyum. “Kak Kavin baik-baik aja, yang harus ditanyain gimana tuh sebenernya lo, Kar. Lo nggak apa-apa?” “Gue? Gue kenapa?” tanya Fikar pura-pura bingung. “Aldo udah cerita ke Inara kalau lo tadi ngehajar Danu di kampus. Sampai kapan lo mau diem dan memendam perasaan lo ke Nat? Sampai di depan rumah Nat ada tenda pernikahan Nat sama orang lain?” tanya gue sarkas. “Egi, Eh, salah, maksud gue Git, apaan sih maksud lo?” “Mau lo jadian sama siapa pun, kayaknya Zenata Alsava satu-satunya pemilik hati lo, Kar.” Fikar terdiam, matanya lurus ke depan untuk menatap kepadatan lalu lintas, menghindari kontak mata yang gue buat. Rautnya berubah menjadi serius saat gue membahas topik Zenata. Benar-benar bukan seperti Fikar yang gue kenal. “Kar, nggak usah mengelak. Gue yakin lo udah lama kan nyimpen rasa untuk Nat? Kalau memang lo selama ini menunggu kesempatan untuk masuk ke hatinya, inilah saatnya, Kar.” “Git… lo nggak sakit hati kan?” Tiba-tiba Fikar menyeringai. Gue tau kalau saat ini Fikar sedang meledek gue karena hubungan kami dulu. Tangan gue reflek bergerak untuk memukul kepala Fikar yang berucap asal. Semenjak kami mengakhiri hubungan satu tahun yang lalu, gue benar-benar menganggapnya sebagai seorang teman, tidak lebih. Lagipula gue sudah memiliki Kavindra yang jauh lebih baik dari Fikar sekarang. “Gue udah tau kali dari dulu juga lo lebih peduli sama Nat dibanding gue, padahal kita lagi pacaran waktu itu.” “Gagal move on kan lo dari gue?” tebak Fikar dengan narsis. Gue benar-benar menyesal pernah menjalin hubungan dengan orang macam ini. “Kavindra udah ngajak gue tunangan! Jangan sembarangan lo!” ungkap gue pada akhirnya. “Demi apa? Serius?” Fikar terlihat begitu terkejut. Gue mengangguk mengiyakan, sebetulnya ini semua masih rencana karena Kavin masih menunggu orangtuanya untuk bertemu dengan orangtua gue untuk membicarakan hal ini lebih jauh, tetapi mereka sudah menyetujuinya. Hubungan gue dengan Kavin benar-benar berjalan mulus, berawal dari sering bertemu di perpustakaan, menghabiskan waktu bersama, membantu mengerjakan tugas, dan mengantar pulang, akhirnya kami mersemikan hubungan. Terhitung delapan bulan gue sudah menjalin hubungan dengan Kavin. Si cowok kalem, pendiam, cukup serius yang membuat gue nyaman. Nggak kayak Fikar yang berisik dan membuat kepala gue pusing tiap dekat dia. “Lo yakin mau tunangan? Kita baru mau semester empat, Git.” Fikar tiba-tiba berubah menjadi serius. “Emang salah?” tanya gue bingung. “Nggak salah sih, bokap lo kan punya usaha properti dari kayu jati, jadi lo pas lulus juga udah jelas, nggak perlu nyari kerja. Kavin juga bokapnya punya usaha, dia tinggal nerusin. Cuma …” perkataan Fikar menggantung. “Cuma apa?” “Emang lo yakin kalau Kavin orangnya? Nikah itu untuk seumur hidup.” Dari awal kami menjalin hubungan, gue dan Kavin nggak pernah menemukan masalah yang berarti. Saat Kavin mengajak gue meresmikan hubungan kami lebih lanjut, gue nggak menolak. Karena menurut gue kami mempunyai kepribadian yang mirip. Bukankah jodoh itu cerminan diri? “Kenapa enggak? Kak Kavin kan nggak kayak lo Kar,” timpal gue yang membuat Fikar mendengus. Kavin bukanlah Fikar yang suka menebar pesona kepada perempuan lain meski di hatinya hanya bersemayam sebuah nama. Kavin adalah laki-laki yang bertanggung jawab dengan perkataan dan perbuatannya. “Kayak gue gimana?” Fikar bingung. “Tukang tebar pesona, bikin cewek baper terus ditinggalin deh,” ledek gue. “Seenggaknya gue cowok sejati, yang selalu nyimpen satu nama di hati.” “Disimpen aja namanya? Nggak ada usaha atau pergerakan? Bodoh itu namanya,” cibir gue. Fikar mendengus dan berkomentar tentang betapa tajamnya mulut gue dalam mencela dirinya. “Tunggu aja Git, sesempurna apa pun Kavin di mata lo, dia pasti ada kurangnya juga.” “Hubungan gue lancar-lancar aja kok, kayak jalan tol!” “Jalan tol bukan berarti nggak ada kecelakaan di dalamnya, Git. Apalagi di Jakarta ini, jalan tolnya macet karena terlalu banyak kendaraan.” “Lo tuh nggak ngerti kata kiasan ya, Kar?” “Gue ngerti Git, gue nggak sebodoh yang lo pikirkan kok. Jalan tol memang bebas hambatan, tapi tanpa hambatan itu kadang membuat pengemudi jadi lengah dan menekan pedal gas terlalu dalam, malah jadi rawan kecelakaan.” “Kan ada rambu-rambu lalu lintas!” “Kalau rambunya masih kebaca ya bagus, kalau enggak, gue cuma bisa berdoa kecelakaannya nggak fatal.” “s****n ya lo Fikar! Malah doain gue yang aneh-aneh!” *** Beberapa bulan kemudian. Rencana dan proses pertunangan gue berjalan dengan lancar, orangtua gue menyambut niat baik keluarga Kavin untuk meminang. Mereka hanya mengajukan syarat kalau pernikahan kami dilakukan setelah gue wisuda, atau sekitar satu tahun lagi. Persiapan bulan-bulan sebelumnya berbuah manis, teman-teman gue bahkan menghadiri acara yang diadakan di kampung halaman gue itu. Mereka sekalian mengisi waktu liburan di sana. “Yang? Kamu hari ini mau makan di luar atau mau masak aja?” tanya Kavin saat menyambangi apartemen gue sore ini. “Kamu emang mau makan apa? Kalau bisa, aku buatin. Kita ke supermarket aja beli bahannya.” “Sop ayam kayaknya enak ya? aku udah lama nggak makan itu.” Gue pun mengecek bahan-bahan yang bisa digunakan di kulkas, dan hanya sedikit yang tersisa karena gue sering melakukan percobaan-percobaan kecil untuk megasah kemampuan gue dalam membuat makanan. “Kita ke supermarket yuk? beli bahannya dulu, kamu sabar nunggu kan?” tanya gue memastikan. Kavin mengangguk. “Nunggu kamu wisuda aja aku bisa, apalagi cuma nunggu kamu masak sop ayam.” “Nggak usah gombal deh!” balas gue dengan wajah yang memerah. Kavin jarang menggombal, namun sekalinya ia melakukan hal itu, efeknya sangat tidak bagus bagi jantung dan wajah gue. Kavin memang rutin menyambangi gue di apartemen guna memastikan keadaan. Gue sering melewatkan jam makan bila sendirian saja, hal itu membuat Mama dan Papa khawatir dan meminta Kavin untuk sering menengok gue. Pernah gue terkapar tidak berdaya karena sibuk mengerjakan tugas tanpa mengacuhkan waktu makan. Untung saja Kavin datang tepat waktu dan membawa gue ke dokter. Kavin sempat menawarkan gue untuk tinggal bersama keluarganya, tapi gue menolak. Setidaknya gue ingin menikmati masa-masa indah sebelum menyandang status sebagai seorang istri. Setelah melakukan perjalanan selama lima belas menit, akhirnya kami sampai di salah satu supermarket yang menyediakan bahan segar untuk diolah. Gue masih sibuk memilih sayuran saat Kavin pamit untuk membeli beberapa camilan dan minuman untuk menemani gue dalam proses memasak nanti. “Yang, kamu nggak mau apa-apa gitu?” tanya Kavin memastikan. Gue berpikir sejenak. “Beliin aku Milo Nuggets sama Kitkat Bites, jangan lupa beli s**u buat sereal juga ya Ay?” Kavin mengangguk dan mulai beranjak pergi mencari camilan dan pesanan gue. Gue masih sibuk mencari daging ayam untuk diolah saat mendengar sebuah suara mendumel yang cukup familiar. “Inara?” panggil gue mencoba memastikan. Inara berbalik dengan wajah tertekuk. Ekspresinya seketika berubah begitu melihat gue. “Egita! Oh my god! Kebetulan banget kita ketemu di sini!” pekiknya senang. “Iya nih, Kak Kavin minta dibikinin sop ayam, kebetulan kulkas gue kosong.” “Aduh yang calon istri orang mah beda ya?” ucap Inara yang membuat gue tersipu. “Kita masih harus wisuda,” ucap gue mengingatkan. “Ah iya, lo sama siapa ke sini?” “Sama Mas gue, cowok kalau lagi patah hati itu bawaannya nggak jelas. Dia yang ngajak gue ke sini, dia juga yang nggak jelas tujuannya mau ngapain. Makanya gue marah-marah,” gerutu Inara kesal. “Mas lo yang pakai topi sama hoodie merah?” Inara mengangguk mengiyakan. Gue sempat melihat punggungnya saat kakak Inara berjalan menjauh tadi. “Maklumin lah, adeknya kan cuma lo, kalau punya adek lain juga dia ajak pasti. Cowok kalau lagi patah hati kan butuh ditemenin.” Gue menasihati. “Beda ya yang calon istri idaman sama gue yang bocah dan masih perlu bimbingan.” Inara mencebikkan bibirnya sedih. “Gue cuma bisa menempatkan diri In, bukan idaman. Kalau sama Fikar dan Nat juga blangsaknya keluar.” “I wish I had a sister like you, Git! Bukan kayak Mas gue yang nyebelin itu!” “Nyebelin gitu juga lo sering dikasih uang jajan kan? Gue jadi pengin ketemu Mas lo deh, kita belom pernah ketemu. Liat fotonya aja gue belom pernah. Ganteng nggak?” “Mas gue susah banget diajak foto, di hapenya aja cuma ada foto kucing kesayangannya, nggak ada foto dia. Adanya yang zaman dulu, dan itu fotonya enggak banget deh! Yang jelas sekarang dia ganteng kok.” “Siapa yang ganteng?” Kavin tiba-tiba datang dan merangkul bahu gue pelan. “Mas gue Kak,” jawab Inara sambil tersenyum tidak enak. “Titipan kamu udah aku beli semuanya, gimana? Mau pulang sekarang atau masih mau ngobrol sama Ina?” “Lain kali aja Kak, kita ketemu setiap hari ini, have a nice date ya!” ucap Inara sambil melenggang pergi. *** Kavin sibuk dengan notebook-nya sementara gue masih berkutat di dapur untuk memasak sop ayam pesanannya. Melihatnya ada di sini untuk menemani membuat hari gue terasa lengkap. Kesibukannya dalam menyusun skripsi akhir-akhir ini cukup memakan banyak waktu dan mengurangi intensitas pertemuan kami. “Gimana bimbingannya Ay? Masih revisi?” Gue membuka topik pembicaraan. “Begitulah, kemarin kebetulan punyaku yang diotak-atik sama Prof. Teddy, yang lain cuma merhatiin dan disuruh nggak mengulangi kesalahan yang sama.” “Loh? Kok gitu Ay? Cuma punya kamu doang?” “Prof. Teddy jam ngajarnya banyak, jadi ya bimbingannya begitu, satu skripsi anak bimbingannya yang diotak-atik. Sisanya disuruh nggak ngulangin kesalahan yang sama, karena rata-rata kesalahan kami ya di bagian yang sama.” “Nggak enak di kamu dong ya?” “Sebenernya aku enak-enak aja, soalnya kalau yang diotak-atik justru lebih benar dibandingkan yang lainnya karena beliau yang ngoreksi langsung.” “Terus temen-temen kamu gimana?” “Nah, itu. Aku jadi harus ngingetin mereka dan bantu mereka. Kita jadi sering diskusi sekarang.” “Jadi kayak saling ngoreksi satu sama lain gitu ya jatuhnya?” “Yap, makanya kamu doain aku ya, biar lancar semuanya.” “Kok aku jadi takut ya? Tahun depan giliran aku…” “Sebenernya asalkan dijalani semuanya pasti akan selesai kok, kamu nggak usah terlalu khawatir dan mikirin itu. Inget motivasi buat lulus apa?” Gue mengulum senyum dan menatap Kavin yang kini menantikan jawaban. “Maunya apa?” “Buat berdiri di pelaminan sama aku,” jawab Kavin yang membuat gue tergelak. Gue sengaja tidak menjawab karena gue tau dengan pasti apa jawaban yang diinginkannya. “Kamu ngegoda aku ya?” tanya Kavin dengan tatapan curiga. “Aku cuma ngetes apa jawaban yang kamu harapkan,” ungkap gue jujur. Kavin mendekati gue dan melihat ke arah panci yang berisi sop ayam yang sudah menggolak. Gue mengambil sendok dan menyendok sedikit kuahnya, lalu meniupnya hingga mendingin dan menyuapi Kavin. “Gimana? Ada yang kurang?” Kavin menggeleng. “Masakan kamu selalu enak.” “Zenata pernah keracunan karena masakanku loh,” ucap gue mengingatkan. Tangan Kavin bergerak untuk mematikan kompor dan ia menyelipkan rambut gue yang sedikit terurai ke belakang telinga. “Waktu itu kan kamu nggak tau kalau Nat alergi jamur, jadi itu bukan salah kamu.” Kavin mencium kening gue dengan sayang, membuat sebuah senyuman terkembang di bibir gue. Perut Kavin yang berbunyi membuat gue menjauhkan tubuh darinya dan mengambil sendok sop lalu menuangkannya ke dalam mangkuk. “Kamu pasti udah laper banget ya? Maaf nunggunya lama.” Gue memberikan mangkuk ke tangan Kavin. “Kamu duduk dulu ya? Aku ambilin nasinya,” ucap gue yang langsung dituruti oleh Kavin. Gue pun meyiapkan nasi dan semangkuk sop ayam untuk diri gue. Sementara Kavin pergi mendudukan dirinya di sofa depan televisi. “Nih Ay, nasinya.” Kavin menerima nasi itu dengan senyuman ceria. Dia pun mulai memakan sopnya dengan lahap. “Jangan buru-buru, nanti kamu keselek,” ucap gue memperingati. Kavin mengangguk dan mulai makan dengan lebih santai. Gue menyuap sop ayam yang rasanya cukup baik untuk diterima oleh lidah, dan hangatnya mulai menjalar dari kerongkongan sampai ke perut, rasanya sungguh nyaman. Suara rintik hujan di luar membuat kami menoleh ke arah jendela. “Hujan, pas banget ya?” komentar Kavin. Gue mengangguk, kembali menikmati sop ayam. Semenjak kami meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius, Kavin memiliki akses penuh untuk keluar masuk apartemen ini. Meski memiliki akses penuh, Kavin tidak pernah melakukan hal melebihi batas. Ia tidak pernah menginap atau pun masuk ke dalam kamar. Kami sama-sama mempunyai komitmen untuk tidak mengecewakan kepercayaan yang sudah orangtua kami berikan. Dia menghormati gue sebagaimana mestinya. “Oh iya, temen bimbingan kamu siapa aja Ay?” tanya gue penasaran. “Ada Maya, Mayang, Haidar, Andre, Inayah, berenam totalnya.” “Good luck ya, semoga cepet selesai skripsinya.” Kavin mengangguk dan kembali melahap sop ayamnya. Sejujurnya kalimat yang gue utarakan barusan adalah sebuah harapan agar kami menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi seperti dulu. Gue tidak ingin menuntut Kavin agar meluangkan waktunya untuk gue, karena gue sadar ini salah satu bentuk perjuangan Kavin agar ia segera lulus dan kami bisa bersama dalam jenjang yang lebih pasti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN