Cheating?

1108 Kata
Akhir-akhir ini gue lebih sering menghabiskan waktu bersama Inara ataupun Zenata karena Kavin yang begitu sibuk. Terkadang bahkan gue pergi sendiri ke toko buku atau toko musik favorit untuk mengisi waktu senggang selama Kavin berkutat dengan urusan skripsinya. Ia bahkan jarang menghubungi gue akhir-akhir ini. “Git, sendirian aja?” tegur Zenata yang datang bersama Fikar. Meja kantin yang tadinya hanya diisi oleh gue, berubah menjadi riuh saat kehadiran duo kucing dan anjing itu.  “Ya sendiri lah, emang sama siapa lagi? Setan?” Gue mencebikkan bibir kesal. Mereka sudah mengetahui perihal kesibukan Kavin, tapi masih menanyakannya. Gue yakin mereka bermaksud meledek gue. “Setan itu biasanya jadi orang ketiga malah,” ucap Fikar sambil merangkul Zenata. Gue jelas mengetahui bahwa yang dimaksud setan oleh Fikar adalah gue, oleh karenanya gue melempar sedotan minuman ke arahnya. Gelak tawa pun menguar dari mereka berdua. “Jahat lo! Temen macem apa yang ngatain temennya setan?” keluh gue. Zenata melepaskan rangkulan Fikar dan menghampiri gue, ia memeluk dan menepuk-nepuk punggung gue. “Gigit Sayang, kok lo jadi ngambekan sih?” Sebutan ‘Gigit’ yang berawal dari kekesalan Nat terhadap Egi kini menempel erat di diri gue. Hampir semua orang memanggil gue dengan panggilan yang sama agar tidak tertukar dengan ‘Egi’ yang lainnya. “Kurang belaian kasih sayang dari Kavin kali,” celetuk Fikar yang membuat wajah gue semakin tertekuk. Menyadari perubahan di raut wajah gue, Zenata menyuruh Fikar untuk bungkam. “Kavin ngilang lagi?” tanyanya memastikan. “Ya biasa Nat, dia kan emang sibuk skripsi. Lo juga tau gue bukan tipe cewek yang kayak wartawan nanyain dia lagi di mana, sama siapa, lagi ngapain, kayak lagunya kangen band.” “Ya lo sih, jadi cewek aneh. Orang mah seneng dikasih perhatian dan ngasih perhatian balik. Ini mah lempeng aja kayak jalan tol,” ledek Fikar. “Kalian lagi mengenang masa lalu ya? Gue pergi aja deh,” ucap Zenata sambil beranjak, dengan sigap gue menahan lengannya. “Ah, elah, si Fikar ngapain lo dengerin sih. Dia ngeledek gue itu, bukan mengenang masa lalu.” Entah mengapa gue merasa ada nada kecemburuan yang terselip dari kalimat yang Zenata lontarkan. Mungkinkah ia akhirnya menyadari keberadaan Fikar? “Tapi serius deh Git, Kavin kayaknya nggak pernah ngilang selama ini kan?” Kalimat Fikar membuat gue merenung. Fikar benar, Kavin tidak pernah menghilang tanpa mengabari gue selama ini. Hampir tiga minggu terhitung dari terakhir kali kami bertemu di apartemen gue kala itu. Sejenak, kalimat yang pernah Fikar lontarkan terngiang kembali. Jalan tol memang bebas hambatan, tapi tanpa hambatan itu kadang membuat pengemudi jadi lengah dan menekan pedal gas terlalu dalam, malah jadi rawan kecelakaan. “Lo jangan ngasih sugesti jelek dong ke Egita, Kavin bukan b******n kayak Danu!” Zenata tidak terima. Sepertinya pengkhianatan Danu masih begitu membekas di hatinya. “Kavin emang nggak b******n, tapi who knows?” Suara dering ponsel membuat perdebatan mereka terhenti. Nama Kavin dengan emoji love terpampang di layar. Hal itu membuat gue segera mengangkatnya. “Apa gue bilang…” Gue masih mendengar suara Zenata dengan samar.  “Halo Yang?” “Halo?” sapa gue.  “Kamu di mana?” “Di kantin kampus sama Nat, Fikar juga.” “Pulang jam berapa? Aku kangen.” “Ini udah selesai sih kelasnya, cuma emang lagi nunggu Nat sama Ina aja. Niatnya mau main.” “Yah, yaudah deh—” “Tunggu! Aku juga kangen, ayo ketemu.” “Tunggu aku di sana ya.” Panggilan itu pun terputus. Beban yang ada di d**a kini terasa diangkat. Dengan komunikasi kami barusan, tentunya pikiran macam-macam Fikar tentang Kavin menghilang, pun dengan gue. “Gimana gimana?” tanya Zenata antusias. “Kavin mau nyusul ke sini.” Zenata menghela napas lega, seakan mewakili gue. “Noh kan, apa kata gue!” sungutnya ke Fikar. “Lo mah berburuk sangka aja, padahal Kavin baik banget nggak protes saat lo yang notabene-nya mantan pacar Egita masih deket sama dia.” “Nat, Kavin itu dewasa, dia juga tau mana yang membahayakan posisinya atau enggak, dan untuk gue sama Egita, kami putus baik-baik kok, nggak perlu lagi lo ungkit status di masa lalu.” “Lo cemburu ya Nat?” tebak gue yang membuat mata Zenata terbelalak. “Nggak kok! Sembarangan aja lo kalau ngomong!” ucapnya tidak terima. Zenata langsung mengambil langkah seribu, hal itu membuat Fikar kebingungan. “Loh Nat? Nat?! Tunggu!” cegah Fikar, namun Zenata mengabaikannya. “Dia kenapa sih?” tanya Fikar heran. Gue mengulum senyum. Zenata tidak bisa menyembunyikan kesalahtingkahannya barusan. Memang benar kata orang kalau perempuan bisa menyembunyikan perasaan cintanya bertahun-tahun, namun tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu barang satu detik. “Kejar Kar, ini kesempatan bagus buat lo,” titah gue yang langsung dituruti oleh Fikar. Ia berlari menyusul Zenata dengan wajah yang masih kebingungan. Kisah percintaan mereka memang rumit, padahal sudah jelas sekali keduanya saling membutuhkan dan menginginkan, tapi entah apa yang membuat mereka bertahan untuk saling berdiri sebelahan tanpa status dalam jangka waktu yang cukup lama. “Yang?” sapa Kavin yang kini duduk di depan gue. Senyum indah sontak terlukis di bibir gue. Kerinduan yang sudah dipendam begitu lama kini menyeruak. Gue menggenggam tangan Kavin yang juga dibalas olehnya. “Kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini?” Kavin tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tangannya kemudian terulur untuk mengelus kepala gue dengan lembut. “Maaf ya, bisa kita lupain sejenak urusan skripsiku? aku sengaja luangin waktu hari ini biar kita bisa jalan bareng kamu.” Gue mengangguk menyetujuinya. “Nonton yuk Ay, kita udah lama nggak nonton.” Anggukkan persetujuan dari Kavin membuat gue berdiri. Kavin segera meraih tangan gue dan menautkannya dengan jemarinya. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, menikmati kehadiran masing-masing tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keberadaannya di sisi gue sudah cukup membuat gue senang. Suara dering ponsel milik Kavin berbunyi, layarnya menampilkan serangkaian huruf m, o, dan m. Berarti panggilan tersebut berasal dari ibunya. Posisi Kavin yang sedang menyetir membuatnya tidak bisa mengangkat panggilan itu. “Angkat aja,” titah Kavin ke gue. Baru saja gue ingin mengangkat panggilan itu, suara dering tiba-tiba mati, dan layar menunjukan tulisan 1 missed call. “Nggak keangkat,” ucap gue sedih. “Gak pa-pa, paling Ibu cuma mau nanya aku udah pulang belom.” Gue mengangguk. Ibu Kavin juga sering menanyakan bagaimana keadaan gue, apakah gue sudah pulang, dan hal-hal kecil lainnya. Kavin bilang itu salah satu bentuk perhatian calon ibu mertua kepada menantunya. Gue menekan tombol home di ponsel Kavin untuk mengecek pesan dari Ibunya yang baru saja muncul di pop up. Tetapi gue tidak bisa membukanya karena … "Hape kamu pakai password sekarang?" Dan anggukkan kaku Kavin menjadi awal kecurigaan gue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN