Ketika kesetiaan dipertanyakan karena sikap yang meragukan, siapa yang harus disalahkan?
***
Kavin nggak memberi tahu password ponselnya setelah gue tanya waktu itu, hal itu membuat gue merasa begitu khawatir, apalagi dengan intensitas hubungan kami yang berkurang belakangan ini.
“Ditekuk aja itu muka? Ada apa?” tegur Khalil. Sepertinya gue tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekhawatiran sedikit pun.
Khalil, Aldo, Alan, Bagas dan Inara kini berada di kantin untuk memenuhi panggilan gue. Mereka adalah teman-teman terbaik gue selama di kampus, mereka juga merupakan saksi bagaimana cincin berwarna perak ini dipasangkan oleh Kavin di jari manis gue saat liburan semester kemarin.
“Menurut kalian intensitas chat dalam sebuah hubungan penting nggak?”
“Penting!”
“Enggak!”
Suara dua jawaban itu terdengar dalam waktu yang bersamaan meski suara ‘penting’ lebih mendominasi.
“Kenapa Git? Ada masalah sama Kak Kavin?” tanya Inara khawatir.
Mengabaikan pertanyaan Inara, gue menatap Alan, satu-satunya orang yang menjawab ‘enggak’ tadi. “Kenapa nggak penting, Lan?”
“Kalau gue menjalani hubungan, terutama hubungannya serius, chat intens itu nggak penting. Yang penting ya komunikasi langsung. Lo kalau nikah nantinya pasti akan ketemu setiap hari kan untuk komunikasi langsung? Bukan chat?”
Masalahnya komunikasi langsung pun kami jarang, Lan…
“Jawaban Alan ada benernya, tapi gue nggak setuju,” ungkap Aldo. “Namanya dalam hubungan mengabari satu sama lain itu perlu untuk mengurangi pemikiran-pemikiran negatif akan kemungkinan nggak enak, kayak selingkuh misalnya.”
Pendapat Aldo kembali membuat gue murung, karena pikiran negatif itulah yang sedang melanda gue saat ini.
“Emang kenapa? Kavin selingkuh?” tanya Khalil tanpa basa-basi yang membuat Inara menendang tulang keringnya.
“Jangan sembarangan dong kalau ngomong! Udah tua juga!” ucap Inara dengan sebal.
“Kok lo bawa-bawa umur sih?” Khalil tidak terima. Pasalnya Khalil adalah mahasiswa semester delapan yang belum lulus dan masih mengulang beberapa mata kuliah bersama kami. Umurnya terpaut dua tahun lebih tua dari yang lainnya.
“Nggak lihat muka Egita udah nggak enak? Bukannya ngasih solusi malah nambah masalah,” sungut Inara kesal.
“Emang kenapa sih Git, si Kavin?” tanya Bagas menghiraukan Inara dan Khalil yang masih sibuk berdebat.
“Hape Kavin pakai password sekarang, dan dia nggak ngasih tau gue password-nya,” jawab gue jujur.
“Ini nih cewek, bawaannya negatif aja kalau berurusan sama cowoknya,” ucap Aldo sambil menghela napas.
Alan dan Bagas ikut menghela napas. “Gue kira kenapa,” ucap Bagas remeh.
“Tapi intensitas gue sama Kavin pun berkurang, baik komunikasi langsung maupun chat. Sebelum-sebelumnya juga hape Kavin nggak pernah pakai password.”
“Ya itu sih kemungkinannya cuma dua…” timpal Khalil yang sudah menyelesaikan debatnya dengan Inara. Gue menatap Khalil penuh antisipasti, menantikan kelanjutan kalimatnya. “Kalau nggak selingkuh, pasti nyimpen video porno.”
“Nah, itu bener!” ucap Bagas menyetujui.
Gue terperangah dan memasang ekspresi sangsi. “Dia malu kali kalau ketauan sama lo nyimpen file yang enggak-enggak. Gimana juga cowok butuh menyalurkan gairahnya,” ungkap Aldo.
“Lo juga dong?!” tanya Inara spontan.
“Karena gue cowok, ya iya. Tapi gue bukan kolektor sih, cuma streaming aja kalau lagi khilaf.” Jawaban Aldo membuat gue dan Inara mendengus, sementara para cowok menanggapinya dengan tawa.
“Kalau masalah kurang komunikasi, lo chat aja duluan, nanti juga dibales sama dia,” ujar Khalil menasihati.
Gue mengangguk. Menceritakan masalah kepada mereka memang cukup memberi solusi, setidaknya gue sedikit lebih tenang karena ada kemungkinan lain selain perselingkuhan.