Sesuai nasihat Khalil, gue menghubungi Kavin untuk mengajaknya pergi berdua. Tetapi chat gue nggak dibalas sama dia yang membuat gue bete. Akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke toko buku sendirian. Inara sibuk di sekolah jalanan, karena ia menjadi seorang volunteer di sana, sedangkan Zenata yang mengikuti UKM Mapala kini tengah disibukkan dengan latihan panjat-memanjat yang gue nggak tau apa istilahnya itu. Begini lah derita anak yang nggak punya kegiatan sedangkan temen-temen lainnya tergolong aktif, entah di dalam atau pun di luar kampus. Jadinya gue lebih sering menghabiskan waktu sendirian.
Gue menyusuri rak-rak novel terjemahan yang ada di toko buku itu. Gue bukan nggak suka novel lokal, gue suka. Hanya saja cerita yang diangkat kebanyakan klasik, topik utama tentang kisah percintaan.
Gue lebih suka cerita yang mengandung misteri, science-fiction dan juga petualangan dengan percintaan sebagai unsur tambahan, bukan topik utama. Gue juga suka cerita klasik dengan tema Zaman Victoria yang banyak digambarkan secara gamblang di novel-novel terjemahan. Gue juga suka tokoh-tokoh fiktif ternama seperti Sherlock Holmes, dr. Watson dan Jack the Ripper yang digambarkan secara keren di sana.
Ini satu-satunya perbedaan gue sama Kavin yang terlihat begitu jelas. Karena dia lebih suka membaca buku tentang riwayat perjalanan hidup seseorang atau novel dengan bahasan tema filosofi kehidupan nan berat, yang membuat gue mengantuk.
Gue mengambil satu buku dengan cover yang cukup menarik perhatian. Peribahasa 'don't judge book by cover' nggak sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya buku dengan cover menariklah yang memikat perhatian setiap orang, termasuk gue.
Begitu gue memegang buku itu, di saat yang sama ada tangan lain yang memegangnya sehingga tangan kami bersentuhan, hal itu membuat gue reflek melepaskan buku, begitu pun dengan orang itu hingga buku itu terjatuh dan menimbulkan bunyi berdebum cukup kencang. Hal itu membuat kami menjadi pusat perhatian pengunjung toko buku.
"Maaf," ucap cowok yang gue rasa umurnya di atas gue ini. Wajahnya terlihat cukup dewasa meski tidak menghilangkan kesan imut.
Cowok itu mengambil buku yang terjatuh.
"Saya yang minta maaf Mas…” ucap gue dengan tidak enak.
"Rillo," katanya tiba-tiba sambil memberikan buku yang dia ambil ke gue. Akhir kalimat gue yang terdengar menggantung mungkin membuatnya menyangka gue menanyakan nama.
"Ya, saya minta maaf Mas Rillo," jawab gue kikuk sambil mengambil buku yang dia beri. Setelahnya dia mengambil buku lain dari rak yang sama.
Dia tersenyum dengan lesung pipit manisnya dan bergumam kalimat nggak apa-apa sebelum pamit untuk pergi duluan menuju kasir. Baru pertama gue melihat orang punya lesung pipit semanis itu, apalagi cowok. Kayaknya Afgan juga kalah deh. Melihat lesung pipitnya sukses membuat gue ikut melengkungkan senyum.
Setelah selesai berurusan dengan buku-buku novel terjemahan, gue pergi ke toko musik langganan. Ya, gue suka beli CD untuk diputar di dalam mobil. Memang bisa menggunakan flahdisk, tapi entah mengapa gue merasa jauh lebih afdal bila mendengarkannya lewat CD. Koleksi di mobil gue cukup banyak meskipun gue nggak pernah pergi terlalu jauh yang membutuhkan CD dalam jumlah banyak untuk menghilangkan rasa bosan saat menyetir. Dan koleksi lagu gue yang paling banyak adalah Coldplay, gue suka banget sama lagu-lagu mereka.
Gue pun mengambil salah satu CD yang tersedia di rak, sampai lagi-lagi sebuah tangan mengambil CD yang sama. Kali ini gue nggak melepaskan CD-nya karena takut jatuh kayak buku tadi, dan tangan orang itu pun nggak melepaskan CD itu.
Gue menoleh dan menemukan orang yang sama persis kayak di toko buku tadi.
Dia tertawa begitu melihat gue. "Suka coldplay juga?" tanyanya.
Gue menganggukkan kepala dengan senyuman. Kebetulan macam apa ini?
"Mas Rillo juga suka?"
"Ya, suka. Kayaknya kita punya selera yang sama."
Gue mengangguk mengiyakan. Tangan kami masih memegang CD itu. "Kapok takut jatuh kayak buku tadi ya, Mas?" Gue bergurau.
Dia langsung melepas pegangannya dari CD yang gue pegang dan menggaruk tengkuknya salah tingkah.
Ya ampun tingkahnya manis banget...
Gue pun mengambil CD yang sama yang masih tersimpan di rak dan memberikannya. “Ini Mas, CD-nya. Saya duluan ya,” pamit gue seraya berjalan menuju kasir.
Kebetulan yang terasa cukup menyenangkan.
“Jadi seratus tiga puluh lima ribu, Mbak.”
“Mbak?” tegur sang kasir yang membuat gue kembali meraih kesadaran setelah termangu.
“Ah, ya Mas, maaf, jadi berapa?”
“Seratus tiga puluh lima ribu.”
“Jadi dua Mas, pakai debit,” ucap seseorang di belakang gue sambil menyodorkan sebuah kartu ke arah kasir, ternyata Rillo.
“Eh, Mas, nggak usah.” Gue mencegahnya, namun senyuman manis yang dikeluarkannya membuat gue terpukau. Hingga transaksi selesai pun gue hanya membatu di tempat.
“Terima kasih atas kedatangannya Mas, Mbak.”
Gue tersenyum seraya mengucapkan terima kasih kepada Rillo yang sudah membayarkan CD milik gue. “Makasih ya, Mas”
"Mau minum kopi bareng?" tawar Rillo dengan senyuman yang membuat perempuan mana pun meleleh.
Gue mengelus cincin pertunangan yang ada di jari gue untuk meyakini diri sendiri. "Ya, boleh..."
Punya teman yang punya kegemaran yang sama bukan tergolong selingkuh kan?