Another one?

839 Kata
 Gue nggak menyangka bisa nyambung banget saat ngobrol sama Rillo. Berawal dari membahas topik kegemaran masing-masing, sampai merembet kemana-mana. Gue baru tau kalau dia kerja di salah satu kantor akuntan publik sebagai auditor senior. Gue juga banyak nanya dia tentang tips untuk skripsi yang akan gue hadapi nanti. Sekalian buat bantu-bantu Kavin yang lagi menjalani skripsinya. "Mas, ini udah sore. Saya pulang duluan ya?" "Mau diantar?" tawar Rillo. "Nggak usah Mas, saya bawa mobil," jawab gue. Gue pun berdiri untuk pamit, tapi baru dua langkah gue jalan, Rillo menahan gue untuk pergi lebih jauh dengan tangannya. "Egita, boleh minta id line? Siapa tau bisa ketemu di lain waktu," tanya Rillo. Gue melepaskan tangan Rillo dengan kikuk sambil menjawab, "Egitazahran Mas, tanpa spasi." Setelahnya gue pun memutuskan untuk pulang. Meskipun tadi gue cuma ngobrol biasa, entah mengapa gue merasa bersalah sama Kavin, padahal sebelum-sebelumnya kalau gue jalan sama Bagas atau Khalil yang memang sering jadi tempat sampah curhatan gue, gue nggak pernah merasa bersalah kayak gini. Apa mungkin karena gue tertarik dengan cowok berlesung pipit bernama Rillo tadi? Gue menggelengkan kepala, kayaknya gue terlalu banyak konsumsi kafein hari ini sampai-sampai gue merasa tertarik sama cowok lain di saat gue sudah punya tunangan. Gue pun berjalan ke arah parkiran yang ada di bassement dan membuka kunci mobil, di saat yang bersamaan gue melihat mobil Kavin lewat di depan gue. Mobil Honda HRV putih dengan plat B 144 VIN hanya ada satu, dan gue inget banget itu punya tunangan gue, Kavindra Irawan. Dia nggak bales chat gue apa karnea dia lagi di luar ya? Kenapa tadi nggak bilang, kan bisa bareng. Pada akhirnya gue masuk ke dalam dan menjalankan mobil untuk keluar mall itu. Sesekali gue melihat ponsel, tapi masih nggak ada notif dari apa pun dari Kavin. Karena penasaran, gue pun mengambil handsfree bluetooth dan mencoba meneleponnya. Setelah dua kali nada panggilan, Kavin pun mengangkat panggilan gue. "Hallo?"                    "Hallo Ay, kamu sibuk ya? chat aku kok nggak dibales?" tanya gue to the point. "Aku abis nyari buku yang dibutuhin buat bahan skripsiku Yang, ini masih dijalan," Gue mendesah lega dalam hati, gue kira Kavin ngapain tadi. "Aku juga lagi di jalan abis beli CD sama novel tadi, mau makan malem bareng?" Kavin bergumam di seberang sana. Lalu dia menjawab, "Kayaknya nggak sekarang Yang, aku ada urusan dulu. Nanti kalau aku mampir ke apartemen kamu aja gimana? Kita makan bareng di sana? Kamu lagi mau makan apa?" "Apa aja Ay, kalau bisa yang berkuah ya." "Aku beliin sop iga ya nanti, mau apa lagi?" "Jus jeruk," "Okey, see you tonight." Setelahnya panggilan itu pun terputus. *** Malam hari sesuai dengan ucapannya Kavin membawakan sop iga dan jus jeruk. "Kok cuma satu Ay? Kamu emang udah makan?" tanya gue saat melihat hanya ada satu bungkus sop iga, dan dua jus jeruk di dalamnya. "Iya, maaf ya aku makan duluan, soalnya nggak enak sama temen-temen tadi." "Emang kamu habis ngapain?" "Habis kumpul sama temen satu bimbingan, saling koreksi satu sama lain sebelum direvisi lagi besok," jawab Kavin. Ada desir kekecewaan di dalam hati, kan niatnya makan malem bareng, bukan dia nemenin gue makan. Tapi bagaimana pun juga Kavin sekarang lagi berjuang untuk skripsinya, dan secara nggak langsung itu untuk gue juga. Jadi gue memilih untuk nggak mengutarakan kekecewaan gue. Gue mengambil mangkok dan menuangkan sop yang Kavin bawa, sementara Kavin membawa dua gelas untuk jus jeruknya. "Kamu beneran udah kenyang? nggak mau lagi?" tanya gue yang dijawab gelengan olehnya. Kavin hanya menyesap jus jeruknya dengan khidmat. Pada akhirnya gue hanya makan sendirian dan Kavin kembali fokus dengan laptop untuk merevisi skripsinya. Hanya suara jarinya yang beradu dengan keyboard yang mewarnai malam ini hingga sop iga di mangkok gue tandas tidak bersisa. "Udah selesai makannya?" tanya Kavin begitu gue baru datang dari dapur untuk menaruh mangkok kotor. "Udah," jawab gue sambil mengangguk. Gue mengambil tempat di sebelah Kavin dan bersandar di bahunya. Kavin menghentikan kegiatannya dan merangkul tubuh gue hingga bersandar di pelukannya. "Tadi gimana nyari novel sama CD-nya?" Entah mengapa tiba-tiba gue menjadi gugup dengan pertanyaan Kavin. "Em... aku beli dua novel, sama satu album coldplay," jawab gue mencoba terdengar sebiasa mungkin, meski kini jantung gue berdegup lebih cepat. "Jadi itu alesan kamu chat aku tadi, minta ditemenin?" "Tadinya sih gitu, tapi kamu nggak jawab, kalau kamu nggak jawab aku tau kamu pasti lagi sibuk." Kavin tiba-tiba menyentuh kedua bahu gue dan menghadapkan tubuh gue ke arahnya. Tangannya bergerak untuk mengusap rambut gue dengan lembut. "Yang sabar, oke?" Gue hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan. "Kamu yang semangat ya skripsinya, biar cepet lulus." "Pasti," jawab Kavin. Ia lalu mencium kening gue, dan setelahnya ia kembali sibuk dengan laptopnya dan gue hanya menonton televisi yang ada di depan kami dengan volume rendah hanya untuk mengusir keheningan yang tercipta. Di saat gue sedang asik menikmati suara ketukan jari tangan Kavin dengan keyboard laptopnya, suara ponsel yang bervolume cukup kencang mengagetkan gue. Line! Gue pun melihat notif yang ada di ponsel. RilloSyauqi added you by line id Tidak lama kemudian, ponsel gue kembali berbunyi. Line!  RilloSyauqi Hai Egita
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN