Bab 3 Ditolak Mentah-mentah

1106 Kata
Seorang pria dengan pakaian serba hitam  berdiri menjulang di depan pintu yang terbuka karena ditendang kasar olehnya. Dengan lampu yang samar, Nando dan Irene masih bisa melihat paras pria itu yang kini menatap ke arah mereka dengan aura dingin dan amat terasa. Pria itu melangkahkan kaki untuk mendekat ke arah mereka yang masih dalam posisi seperti semula di mana tubuh besar Nando berada di atas tubuh Irene yang tak bisa bergerak sedikit pun. Melihat pria asing itu yang datang tiba-tiba dan merusak suasana, Nando pun terlihat amat geram. Apalagi dia bisa melihat kedua anak buahnya yang terkapar di luar karena pintu terbuka lebar. Samar-samar dia pun bisa mendengar mereka merintih kesakitan yang baru saja dihajar habis-habisan tadi. Nando pun akhirnya melepaskan cekalan tangan pada pergelangan tangan Irene dan berdiri. Decihan keluar dari mulut Nando yang seolah menunjukkan bahwa dia meremehkan pria itu dan kini berdiri tanpa kata di hadapannya. Mata pria itu melirik ke arah Irene yang masih berada di lantai dan berusaha untuk bangun dari rebahannya serta terlihat kesusahan karena kedua tangannya yang masih terikat. Selain itu, dia pun bisa melihat kaos yang digunakan oleh Irene telah robek akibat ditarik oleh Nando tadi, hingga memperlihatkan bahunya yang terlihat putih mulus. Setelah melihat Irene sudah bangun dan duduk di sudut ruangan, mata pria itu pun kembali beralih pada Nando yang berdiri menantangnya. "Berani sekali kaumengganggu kesenanganku. Cari mati, huh?" kata Nando mengancam. Gertakan yang dilakukan oleh Nando bersama gurat kesal di wajahnya tentu tidak menggetarkan hati pria itu sedikit pun. Apalagi dia bisa pastikan jika lawannya saat ini usianya jauh lebih muda. Pria itu pun tersenyum kecut dan menandakan bahwa dia tidak terusik sedikit pun dengan celotehan Nando barusan. Apalagi takut mati di tangannya. "Kaubicara apa anak muda? Siapa juga yang cari mati denganmu? Kau hanya bocah ingusan yang bernyali pengecut karena memaksa seorang gadis untuk melayanimu," ucap pria itu sinis pada Nando yang sontak membuat kedua matanya melotot tak terima dengan kalimat yang dianggap sebuah hinaan serta merendahkannya. "Kurang ajar. Berani sekali kaumenghinaku!" teriak Nando pada pria itu yang sedikit pun tidak membuatnya gemetar. Tak mau banyak merangkai kata, Nando pun seketika melayangkan pukulan pada pria itu yang langsung ditangkisnya cepat. Dengan mudah, pria itu pun menjatuhkan Nando yang langsung terjerembab di lantai. Terdengar sebuah geraman yang keluar dari mulut Nando karena amat kesal sudah diperlakukan demikian oleh pria asing tersebut. Dia kembali menyerang dan terjadi perkelahian cukup sengit dan disaksikan oleh Irene yang masih duduk sambil berusaha melepas ikatan di tangan. "Astagaaaaaa … Om ganteng itu benar-benar keren. Ternyata dia pandai berkelahi," puji Irene yang justru terpesona melihat pria asing itu karena dengan mudah meringkus Nando yang selalu ditangkis pukulannya, hingga beberapa saat berlalu, dia pun tergolek di lantai sambil menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya akibat pukulan dilayangkan oleh pria itu sebagai perlawanan. "Jika kaubutuh wanita, kau bisa menemukan mereka di tempat hiburan yang pastinya kautahu. Aku yakin kau berasal dari keluarga baik-baik dan jangan kaurusak reputasi keluargamu dengan tingkahmu yang memalukan!" kata pria itu bijak yang tentu didengar jelas oleh Nando, meskipun dia sedang meringkuk di lantai menahan sakit di wajah. Irene yang mendengar nasihat pria asing itu semakin terpesona dan nampak tersenyum cerah bersama matanya tak berkedip seolah tak ingin terlewatkan akan gerak-gerik pria itu yang sudah menjadi dewa penolong baginya. Nasihat itu tak berbalas. Bukan karena Nando tak mendengar, tapi dia tak menghiraukan ucapan pria itu yang dianggap hanya angin lalu. Wajahnya sangat kesal, tapi dia tidak berdaya untuk membalas lagi karena tubuhnya terasa sakit saat ini dan sudah kalah telak dengan pria itu yang keluar sebagai pemenang. Mata pria itu beralih pada Irene berada dan mendekatinya. Dia menatap saksama untuk memastikan bahwa Irene baik-baik saja, hingga mata tajam itu melihat pergelangan tangan yang masih terikat dengan sebuah kain berwarna hitam. Tanpa kata, pria itu pun berjongkok di hadapan Irene agar posisinya sama tinggi. Tangannya terangkat dan mendarat di pergelangan Irene untuk membuka ikatan tersebut. Ketika kain terlepas, dia bisa melihat gurat merah di pergelangan tangannya yang menandakan bahwa ikatan tersebut amat kuat serta Irene yang berusaha melepas ikatan, hingga kain itu menggesek kulitnya dan menimbulkan luka lecet. Jarak Irene dengan pria itu begitu dekat dan saat itu pula mata Irene menatap tak berkedip. Dia menelisik saksama tiap garis wajah pria itu dan benar-benar terlihat tampan hingga membuatnya terpesona untuk pertama kali. Dia sadar betul sedang dipandangi oleh Irene, tapi dia hanya mengabaikan dan tetap melakukan apa yang semestinya dia kerjakan. Setelah ikatan terlepas, pria itu pun bangun dari posisinya bersama gerakan mata Irene tetap terpusat padanya dan mendongak. Melihat Irene yang masih menatapnya aneh, pria itu pun menarik nafas panjang, lalu membuangnya kasar. "Mau sampai kapan kaududuk di situ. Ayo kita pergi atau kauingin tetap tinggal bersamanya?" ajak pria itu yang seketika menyadarkan Irene dari lamunan panjangnya. "Hah? Yang benar saja kalau bicara, Om. Tentu saja aku mau pergi dari sini. Aku tak mau jadi ikan asin untuk kucing garong sepertinya!" jawab Irene akhirnya yang terdengar kencang dan berusaha mengendalikan emosi serta menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba menyapa dirinya. Untuk pertama kalinya Irene merasa salah tingkah di depan seorang pria. Dia pun merasa sangat gugup saat ini dan entah apa yang terjadi karena tiba-tiba ada desiran aneh yang dia rasakan. Pria itu pun langsung melangkahkan kaki melewati Nando yang masih meringkuk. Dengan cepat Irene mengikutinya dan berhenti sejenak tak jauh dari posisi Nando. "Rasakan itu, belut sawah. Ini akibatnya karena kau sudah berani menyakitiku. Enak bukan dihajar oleh dewa penyelamatku!" cicit Irene yang pasti didengar oleh Nando, tapi tak menjawab. Begitu juga dengan pria itu yang masih bisa mendengar celotehan Irene hingga ujung bibirnya tertarik membentuk bulan sabit karena geli. Dia membawa Irene masuk ke mobilnya dan menuju kota. Irene tak diantar ke rumah, melainkan ke tempat di mana dia diculik oleh orang-orang suruhan Nando karena mobilnya berada di sana. Sesampainya di tempat tujuan, suasana parkiran sudah sepi karena larut malam. Mereka pun turun dari mobil itu dan pria tersebut mengantarkan Irene sampai ke mobilnya yang masih terparkir di posisi semula. Bahkan, pria itu ikut turun dari mobilnya. "Terima kasih, Om, atas pertolongannya. Aku tak tahu bagaimana caraku membalas budi baikmu. Untung saja Om datang tepat waktu. Kalau tidak, tamatlah hidupku dan bisa kejang Mama di rumah mendapati anaknya  jadi korban grepe-grepe pria jahat seperti Nando!" ucap Irene pada pria itu berterima kasih karena sudah ditolong dari marabahaya. Pria itu hanya mengangguk saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Merasa tak ada lagi yang harus dilakukan, dia memutar tubuhnya dan meninggalkan Irene yang terpaku menatap kepergiannya. Namun, entah setan mana yang merasuki pikiran Irene kala itu karena dengan entengnya dia memanggil pria itu dan berujar tanpa malu. "Om, nikah, yuk!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN