7 - Failed Mission

2383 Kata
7 - Failed Mission Dalam sebuah misi Kegagalan bukan kejutan Namun kegagalan bisa berarti kematian   “Pastikan kalian sudah membuat laporan kalian untuk besok,” kata Brianna dingin ketika Brian dan ketiga rekannya yang lain masuk ke ruangan mereka. Keempat pria itu hanya mengangguk dan berjalan ke meja masing-masing. Brianna tak mengatakan apa pun ketika membereskan barang-barangnya dan meninggalkan ruangan. “Dia pasti sangat marah karena misinya gagal,” ucap Gading. “Dia berhak untuk itu,” sahut Joe. “Dia sudah menyiapkan untuk misi ini selama sebulan terakhir, sendirian. Dia sudah bekerja keras, dan berakhir seperti ini.” “Dan, dia juga sudah dikenali oleh mereka. Dia tidak akan bisa turun lagi ke lapangan,” Rega menambahkan. Brian mendesah berat seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke sofa untuk mengempaskan tubuhnya di sana. Yah, setidaknya setelah ini ia bisa sedikit lega karena Brianna tidak akan terjun ke lapangan. “Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini?” gumam Gading muram. “Hanya kita berlima yang tahu dan misi ini tak keluar dari pintu ruangan ini. Tapi bagaimana ...” “Benar. Jika mereka bisa mengenali penyamaran Brianna dalam waktu secepat ini, kenapa baru sekarang mereka menghentikan Brianna, setelah sebulan Brianna bergabung dengan mereka? Kurasa, ada seseorang yang entah bagaimana mendapatkan informasi tentang rencana kita,” tambah Rega. “Penjagaannya juga nyaris tiga kali lebih ketat dari biasanya,” kata Gading lagi. “Aku sudah merasa ada yang tidak beres ketika melihat banyaknya penjaga tadi. Mereka terus datang seolah tak ada habisnya. Dari belasan menjadi puluhan.” “Mereka sudah disiapkan untuk ini,” Joe angkat suara. “Entah bagaimana, ya, misi ini bocor.” Mereka berempat terdiam, sibuk dengan pikiran dan dugaan masing-masing. “Jika salah satu dari kita ...” “Tidak,” Joe menyela kata-kata yang akan diucapkan Rega. “Ini bukan saatnya kita meragukan rekan kita sendiri.” “Kalau begitu, bagaimana bisa informasi seperti ini keluar dari ruangan ini?” buru Rega. Joe mengerutkan kening dalam. “Kita akan mencari tahu. Tapi untuk saat ini, jangan meragukan rekan sendiri. Kita berlima nyaris mati di sana tadi. Jika memang penjahat itu ada di antara kita, aku ragu dia mau berkelahi seperti tadi dan terluka seperti kalian saat ini.” “Benar. Mencurigai rekan sendiri hanya akan menguntungkan lawan kita,” Brian berkata. “Kurasa, daripada kita sibuk memikirkan itu, lebih baik kita segera membuat laporan agar selamat dari amukan Brianna. Gadis itu benar-benar jelmaan monster yang suka mengamuk. Mengerikan.” Gading bahkan tertawa mendengarnya. “Aku penasaran, berapa lama kau akan bertahan dengan Brianna?” Brian mendesah berat. “Yeah. Dia benar-benar lawan yang tangguh. Rasanya aku bisa gila karena gadis keras kepala itu. Argh ... kepalaku rasanya mau meledak jika memikirkan gadis gila itu.” Kali ini Joe dan Rega juga tersenyum geli. *** Brianna tak membalas sapaan ayahnya ketika tiba di rumahnya. Tanpa mengatakan apa pun, ia naik ke kamar, membanting pintunya, dan selama beberapa saat berdiri bersandar di baliknya. Kekecewaan dan amarah terpancar jelas di matanya yang kemudian terpejam. Brianna menarik napas dalam selama beberapa kali, sebelum membuka mata dan dengan langkah lesu berjalan ke tempat tidurnya. Satu bulan ia merencanakan ini. Dan entah bagaimana, rencananya ini bisa bocor. Tidak ada yang mencurigainya selama sebulan ini. Lalu bagaimana bisa misinya kali ini gagal? Bahkan parahnya, mereka bisa mendapatkan foto Brianna. Mungkin semuanya akan berjalan lancar jika dia melakukan misi ini sendirian. Sejak awal, ia tidak suka mendapat rekan, siapa pun mereka. Ia tidak suka orang-orang itu. Ia tidak bisa percaya pada mereka. Tidak sedikit pun. *** “Kau juga merasa sang Mata Kegelapan ada di antara kita, kan?” tanya Brian pada Joe ketika hanya tinggal mereka yang masih di ruangan itu. Joe tak menyahut, tapi sorot matanya sudah menjawab Brian. “Apa sebaiknya kita melakukan penyelidikan sendiri untuk ...” Kalimat Brian terhenti saat Joe meletakkan jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat untuk diam. Brian mengerutkan kening bingung tatkala Joe bangkit dari duduknya dan berjalan mengelilingi ruangan. Tapi karena Joe sudah memintanya untuk diam, Brian tak mengatakan apa pun. Ia mengamati Joe memeriksa bagian bawah setiap meja yang ada di ruangan itu, juga kursi. Ia memeriksa pintu, hingga dinding kaca. Joe berhenti di sofa yang diduduki Brian. Setelah memeriksa meja kacanya, Joe menunduk dan mengecek ke bawah sofa. Brian berdiri dan menatap Joe dengan waspada. Tidak. Tidak mungkin apa yang diduganya ini benar. “Joe, jangan katakan ...” “Ya,” Joe memotong cepat. Dia mengangkat sedikit sofa itu dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya mencari benda yang mereka bicarakan itu. Sebuah chip kecil dengan lampu merah kecil yang terus berkedip kini berada di tangan Joe. Brian menatap benda itu tak percaya. Kenapa mereka bahkan tak mencari ini? “Aku sudah mencarinya,” Joe berkata, menjawab pertanyaan tak terucap Brian. Joe berjalan ke tengah ruangan, melempar chip itu tinggi-tinggi, lalu melepaskan tembakan yang menghancurkan chip itu, lalu pelurunya membentur dinding kaca. “Kaca anti peluru,” gumam Brian kagum. “Gedung ini benar-benar serius.” Joe mendengus pelan. “Mata-mata yang ada di gedung ini pun sama seriusnya. Dan kita harus menangkapnya.” “Benar,” sahut Brian. “Tapi ... jika kau sudah mencarinya ...” “Entahlah, Brian,” desah Joe lelah. *** Erwin menatap kelima agen yang berdiri di depannya setelah membaca laporan mereka. “Jadi, mereka semua sudah diserahkan pada polisi?” Joe mengangguk. “Mereka bekerja untuk penjahat yang kejam. Mereka tidak akan pernah memberikan informasi pada kita tentang bos mereka. Apa pun yang kita katakan, jaminan apa pun yang kita berikan, mereka akan tetap bungkam. Mereka ... tidak percaya pada sistem keamanan kita.” Erwin mengangguk. “Lalu ... benarkah bahwa misi kali ini juga bocor?” Joe kembali mengangguk. “Melihat keberadaan benda yang awalnya tak kuketahui itu, kurasa siapa pun yang memasangnya sudah memastikan jejaknya aman dari benda itu. Jadi aku menghancurkan penyadapnya.” Erwin menghela napas berat. “Jika memang begitu, mulai besok, ruangan akan dikunci khusus dengan sensor pupil dan sidik jari, sehingga hanya kalian berlima yang bisa masuk,” katanya. “Dan setelah kejadian semalam, itu berarti Brianna tidak bisa lagi terjun ke lapangan.” “Tapi ...” “Mereka sudah mengenalimu.” Erwin menatap putrinya tajam, menghentikan protesnya. “Kau hanya akan membuat rekan-rekanmu kesulitan karenamu jika kau terjun ke lapangan.” Brianna mengepalkan tangannya menahan amarah. Lagi, Erwin melihat sorot marah dan kecewa di mata putrinya itu. “Brianna, untuk misi perjudian gelap selanjutnya, kau tidak akan turun ke lapangan,” perintah Erwin. “Ya, dimengerti, Pak,” sahut Brianna tegas. Erwin mendesah berat. Entah ia harus senang atau sedih. “Hari ini kalian akan bertemu dengan seseorang,” kata Erwin seraya berdiri. Ia berjalan ke dinding kaca di belakang mejanya, memunggungi kelima agen itu. “Kembalilah ke ruangan kalian dan tunggu perintah selanjutnya.” “Baik, Pak,” kelima agen itu menjawab kompak. Dari kaca, Erwin melihat samar bayangan mereka satu-persatu berbalik meninggalkan ruangannya. Begitu mereka semua pergi, barulah ia berbalik dan menatap ke foto berbingkai di mejanya. Foto seorang wanita dengan rambut merah membingkai wajah cantiknya, senyum hangatnya seolah menghidupkan gambar itu. “Maaf, Jocelyn. Aku tidak bisa melindungi putri kita, hingga dia terluka seperti itu,” Erwin berbicara ke arah foto tersebut. “Kau tahu putri kita itu sangat keras kepala, kan? Persis sepertimu, bahkan lebih keras kepala lagi.” Erwin tersenyum mengenang wanita dalam foto itu. Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian Erwin dari foto itu. “Masuk,” katanya. Johan muncul dari pintu ruangan itu. “Kudengar semalam kau memanggil dia?” Erwin mengangguk. “Joe sudah menelepon dan mengabarkan kegagalan misi kita semalam. Tapi ketika Brianna pulang semalam, aku bisa langsung tahu apa penyebab kegagalan mereka. Dan melihat sikap mereka satu sama lain kemarin, kurasa mereka butuh bantuannya.” Johan mengangguk. “Dia sudah datang,” lapornya. Erwin tersenyum. “Selalu tepat waktu,” ucapnya puas. “Bawa dia masuk. Ada yang harus kubicarakan dengannya.” Johan mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu, dan tak lama kemudian, seorang pria tinggi bertubuh tegap, dengan kulit gelap dan rambut cepak, masuk ke ruangan itu. Erwin tersenyum ketika menyambut pria itu. “Kau tak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatmu,” kata Erwin. “Dan bolehkah kukatakan, kau tampak lebih tua dari usiamu sebenarnya, Bos?” balas pria itu. Erwin tertawa. “Akan kujelaskan beberapa hal tentang anak-anak itu sebelum kau bertemu mereka, Tiger.” Pria itu, Tiger, mengangguk. “Kudengar ada dua anak spesial, putrimu, seorang IT jenius dan agen terbaikmu dari Unit Pasukan Khusus.” Erwin tersenyum dan mengangguk. “Tapi mereka belum mengerahkan seluruh kemampuan mereka sejauh ini. Karena itulah aku memanggilmu.” Erwin menatap Tiger lekat. “Aku butuh bantuanmu untuk memunculkan kemampuan mereka yang sebenarnya.” Tiger tersenyum miring. “Kau lupa menyebutkan masalah utamanya, Direktur.” Erwin menghela napas berat. “Kurasa kau juga sudah mendengar ini, kan? Sang Mata Kegelapan.” Tiger mengangguk. “Aku khawatir, dia ada di dalam tim itu,” ungkap Erwin. “Berapa orang tersangkanya?” tanya Tiger. “Tiga orang. Hanya dua agen SIA itu yang bisa kita percaya.” Tiger mengangkat alis. “Kau bahkan tak percaya pada putrimu?” Erwin mendesah berat. “Aku tidak punya pilihan lain.” Erwin berbalik memunggungi Tiger saat pria itu menatapnya iba. Ayah macam apa yang tidak mempercayai putrinya? Namun saat ini, Erwin memang tidak bisa dan tidak seharusnya percaya pada Brianna. Gading, Rega dan Brianna, punya kesempatan untuk menjadi sang Mata Kegelapan. *** Brian dan rekan-rekannya dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu yang bahkan tak mengetuk pintu saat ia masuk. Pria berkulit gelap itu menatap Brian dan rekan-rekan setimnya, satu-persatu. “Tiger?” Brian mendengar Brianna bergumam tak percaya. “Kau sudah besar, Brian,” balas pria yang dipanggil Tiger itu seraya tersenyum pada Brianna. Brianna mengangguk. “Tapi apa yang kau lakukan di sini?” Tiger menatap ruangan itu sekali lagi. Tatapannya berhenti pada Brian. “Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri untuk memanggil Brianna dengan nama yang benar.” Brian tak dapat menahan senyumnya, sementara Brianna sudah memutar mata muak. “Aku Tiger,” pria itu memperkenalkan diri. “Mulai besok, kalian akan menjalani pelatihan darurat bersamaku. Besok, siapkan apa yang perlu kalian bawa selama seminggu. Dan kuingatkan kalian, selama seminggu ke depan, kalian akan melewati neraka kalian. Jika kalian merasa tidak sanggup, kalian bisa meninggalkan tim.” Semua orang di ruangan itu tampak waspada. “Hari ini manfaatkan waktu kalian untuk beristirahat, pulihkan tenaga kalian dan obati luka-luka kalian. Aku akan bertemu kalian besok jam tiga pagi di halaman gedung ini,” kata Tiger. Tiger berbalik, hendak meninggalkan ruangan itu, tapi ia berhenti di pintu saat berkata, “Brianna, kuharap kau tidak mengecewakan ayahmu.” Brian mengerutkan kening ketika menoleh untuk menatap Brianna. Gadis itu tersenyum miring menanggapi kata-kata Tiger tadi. Begitu Tiger meninggalkan ruangan itu, Brian merasakan seseorang menepuk bahunya. Joe. Brian mengikuti Joe yang kemudian berjalan ke pintu. Mereka meninggalkan ruangan itu tanpa mengatakan apa pun pada yang lain. Brian tahu ke mana Joe akan pergi. Karena saat ini, sepertinya mereka sedang memikirkan hal yang sama. *** Erwin tersenyum mendengar permintaan yang diucapkan Brian itu. “Kalian juga tidak percaya pada Brianna?” Erwin memastikan. “Apakah Anda tahu bahwa Brianna melakukan penyelidikan sendiri selama sebulan terakhir ini?” tanya Brian. “Semua informasi itu, dia mencarinya sendiri langsung ke lapangan.” Erwin tampak terkejut. Mencari informasi di lapangan untuk misi mereka kemarin, berbeda dengan informasi tentang sang Mata Kegelapan. Untuk misi mereka kemarin, Brianna masuk ke sarang musuh. Erwin bisa saja kehilangan putrinya di salah satu kesempatan saat Brianna menyusup ke lokasi perjudian gelap itu. “Dan semuanya tepat,” lanjut Brian. Erwin memejamkan matanya sejenak, lalu ia mengangguk saat kembali menatap Brian. “Brianna mungkin bekerja sama dengan mereka, sebagai Mata Kegelapan.” Brian terdiam. “Sejujurnya, aku juga merasa ada yang aneh dengan Brianna,” ungkap Erwin. “Ada banyak hal yang dilakukannya, yang bahkan tidak kuketahui. Aku tak tahu sudah sejauh mana yang dilakukannya itu. Tapi aku tidak keberatan jika kalian mengawasi Brianna selama seminggu latihan kalian ini. Jika ada sesuatu yang mencurigakan ...” Erwin menarik napas dalam. “Bahkan meskipun dia putriku, tapi jika dia bersalah, dia juga harus dihukum.” Brian dan Joe merasa tak nyaman juga mendengarnya. “Sebagai Direktur NDA, aku meminta kalian mengawasinya dengan ketat, mencari tahu apa saja yang dia lakukan di luar sana, dan menangkapnya jika memang dia bersalah,” putus Erwin. Ia lalu menatap Brian. “Tapi sebagai seorang ayah, aku memohon padamu untuk menjaganya. Dia ... bagaimanapun juga adalah putriku. Karena itu ... tolong jaga dia.” Brian tersenyum tipis seraya mengangguk. “Kita bukannya sudah menetapkan dia sebagai Mata Kegelapan, Direktur. Dan jika dia memang tidak bersalah, dia justru berada dalam bahaya, karena sang Mata Kegelapan pasti mengincarnya.” Erwin mengangguk. “Kupercayakan misi ini pada kalian.” *** “Aku merasa ada yang dia sembunyikan,” kata Joe di tengah acara mereka menyiapkan barang-barang mereka untuk pelatihan darurat. “Aku juga,” sahut Brian. “Aku sudah mengatakan padamu, aku tidak percaya padanya.” “Tapi Brian, bagaimana jika ternyata dia tidak bersalah? Bagaimana jika ternyata dia bukan sang Mata Kegelapan?” tanya Joe. Brian mendengus. “Baik dia Mata Kegelapan atau bukan, dia tetap menyebalkan.” Joe tersenyum geli. Tiba-tiba sebuah ide menarik muncul di kepala Brian. “Bagaimana jika kita bertaruh?” tantangnya. Joe menghentikan kegiatannya dan menatap rekannya itu, tampak ragu. “Taruhan?” “Aku akan membuat Brianna percaya padaku, dan memastikan bahwa dia bukan sang Mata Kegelapan,” kata Brian. Joe mengangkat alis. “Dan jika kau bisa melakukannya?” Brian tersenyum lebar. “Kau harus menolak semua misi bersama kita di negara ini, selamanya. Ini yang terakhir kita menginjakkan kaki di negara ini.” Joe mengerutkan kening, berpikir keras. “Baiklah. Tapi apa kau yakin kau bisa melakukannya?” Brian tersenyum lebar. “Dan kau yakin kau tidak akan melanggar kata-katamu?” Joe mendengus. “Kau tahu aku selalu menjaga kata-kataku.” Brian menyeringai. Seharusnya dia memikirkan taruhan ini sejak awal. Mengingat keberadaan mereka di negara ini saat ini sebenarnya juga karena Joe. Seandainya Joe menolak, mereka pasti tidak perlu datang kemari. “Are you in?” Brian memastikan. Joe mengedikkan bahu santai. “I’m in.” ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN