8 - Awal Pelatihan
Jangan biarkan kemampuanmu
Membuatmu lengah akan bahaya di sekitarmu
Brian mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Direktur NDA juga ada di halaman gedung NDA dini hari itu. Di depannya, Brianna merengut kesal.
“Sudah kubilang, Ayah tidak perlu mengantar sampai kemari. Aku sudah biasa pergi sendiri jam berapa pun dan aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula, aku bukan lagi anak kecil,” protes Brianna.
Tak jauh dari Brianna, Gading dan Rega tampak salah tingkah karena harus melihat kejadian itu. Tiger yang duduk di undakan tangga teras gedung sendiri tampak terhibur melihat protes Brianna pada ayahnya.
“Dia pasti malu sekali saat ini,” bisik Brian, membuat Joe tersenyum geli.
“Tapi kau tetap putri Ayah, Brianna,” Erwin berkata.
Brianna menghela napas berat. “Ayah seharusnya tidak perlu khawatir lagi tentangku. Ayah sudah melihat sendiri bagaimana aku bisa bertahan selama ini.”
“Mana ada seorang ayah yang tidak khawatir pada putrinya? Terutama jika putrinya sangat keras kepala sepertimu.” Erwin menepuk kepala Brianna.
Brianna semakin merengut. “Ini bukannya misi hidup dan mati. Ini hanya pelatihan. Aku akan baik-baik saja.”
Erwin mendesah berat, mengangguk. “Ya, kau harus baik-baik saja.”
Brianna tampak terkejut ketika ayahnya tiba-tiba memeluknya. Tapi Brian juga bisa melihat ekspresi sedih di wajah Erwin. Benar, bagaimanapun, dia adalah seorang ayah. Dia pasti khawatir jika Brianna memang adalah sang Mata Kegelapan.
“Kau ... sudah membuat Ayah bangga, Brianna,” Erwin berkata seraya menepuk-nepuk punggung putrinya. “Kau tumbuh menjadi gadis yang hebat.”
Brianna tersenyum seraya membalas pelukan ayahnya. “Aku dibesarkan oleh ayah yang hebat.”
Erwin tersenyum sendu. “Setelah misimu selesai, ayo kita berlibur.”
Brianna tersenyum geli saat mengangguk. Erwin melepaskan pelukannya dan menatap Brianna lekat.
“Rasanya seperti ketika Ayah mengantarmu untuk wisata sekolah dulu,” kata Erwin.
Brianna tergelak. “Untunglah Ayah tidak lagi memaksaku membawa barang-barang yang tidak penting.”
Erwin tertawa. Ia mengangguk-angguk. “Baiklah, kau harus menjaga kesehatanmu selama pelatihan. Makan yang banyak karena Tiger tidak akan membuat ini mudah.”
Brianna mendengus geli seraya mengangguk.
Erwin menatap putrinya itu selama beberapa saat, mendesah berat, lalu ia mengusap lembut kepala Brianna.
“Baiklah, sesuai janji Ayah, Ayah akan langsung pulang begitu mengantarkanmu ke sini,” kata Erwin.
Brianna mendengus pelan. “Ayah sudah melanggarnya. Ini sudah lima menit sejak kita tiba di sini,” desisnya.
Erwin tergelak. “Kalau begitu, sekalian saja Ayah menunggu kau berangkat. Bagaimana?”
Brianna mendesis ke arah ayahnya, berpura-pura kesal.
Erwin kemudian menghampiri Tiger, mengatakan sesuatu pada Tiger yang dijawab Tiger dengan anggukan dan senyum. Tiger lalu berdiri dan memberi perintah agar mereka berkumpul. Brian, Joe, Rega, Gading dan Brianna berjalan ke tempat Tiger, berbaris dengan sikap siap.
“Lakukan yang terbaik dalam latihan kalian,” Erwin berkata.
“Baik, Pak!” jawab kelima agen itu kompak.
Tiger lalu memberi perintah agar mereka masuk ke van hitam di ujung pelataran parkir. Menuruti perintah itu, Brian dan rekan-rekannya meninggalkan halaman dan pergi ke pelataran parkir. Brian mengamati ekspresi sedih Erwin saat menatap Brianna. Brian tak berani membayangkan, bagaimana perasaan pria itu jika ternyata putrinya memang adalah sang Mata Kegelapan.
***
“Ayahmu ...”
“Jika kau mengatakan satu kata lagi, aku akan menghajarmu,” kata Brianna pedas, memotong kalimat yang akan diucapkan Brian.
Brian melirik Brianna, menggeser duduknya sejauh mungkin dari Brianna. “Mungkin dia tidak keberatan jika mengantarmu sampai tempat pelatihan dan juga ...” kalimat Brian itu berakhir dengan teriakan kesakitan tatkala tendangan Brianna mendarat di wajahnya. “Kenapa kau menghajarku?!” amuk Brian seraya melotot kesal pada Brianna.
Rega yang sedang menyetir melirik dari kaca spion, begitupun dengan Tiger yang duduk di sebelahnya. Gading dan Joe yang duduk di kursi depan Brian dan Brianna juga menoleh untuk melihat apa yang terjadi, dan pada akhirnya tersenyum geli melihat bibir Brian berdarah akibat serangan Brianna tadi.
“Karena kau tidak mendengarkan peringatanku,” sahut Brianna santai seraya memperbaiki posisi duduknya.
Brian mendesis kesal ke arah gadis itu seraya mengusap darah di sudut mulutnya. “Aku lebih banyak terluka karena dirimu daripada saat melawan musuh,” katanya kesal. Brian langsung menutup mulutnya ketika Brianna menoleh. Brian memperbaiki duduknya dan berdehem pelan.
“Kenapa kau senang sekali mencari masalah?” gumam Joe seraya menggeleng-geleng. Brian melotot pada rekannya itu.
“Kau ...” suara Brianna itu membuat Brian kembali waspada. “Lenganmu ... apakah baik-baik saja?”
Brian menoleh ke arah Brianna, dengan kening berkerut heran. “Kau menendang wajahku, bukan lenganku.”
Brianna tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian gadis itu memalingkan wajah dan tak mengatakan apa pun lagi. Brian sempat berpikir gadis itu mungkin mengalami gangguan mental. Di satu waktu, dia bisa mengamuk dengan mengerikan, dan di waktu lainnya, dia akan sangat pendiam dan membuat Brian ngeri.
Mungkin Brianna menderita bipolar disorder.
***
Brianna mendesah pelan.
“Aku lebih banyak terluka karena dirimu.”
Kata-kata Brian itu terngiang di telinga Brianna, terus-menerus. Brianna berusaha setenang mungkin selama perjalanan mereka, meski sesekali dia melirik ke lengan Brian. Apakah lengannya baik-baik saja? Apakah dia sudah mengobati lukanya?
Brianna kembali teringat saat Brian menariknya dari jalur pisau lawannya, dan Brian terluka karenanya. Dengan resah, Brianna melirik Brian. Brianna akhirnya baru berani menoleh untuk menatap pria itu setelah pria itu tertidur. Sudut mulutnya sudah tampak memar karena tendangan Brianna tadi. Lalu pandangan Brianna turun ke lengan Brian.
Brianna tidak terbiasa dilindungi. Ia sudah terbiasa melakukan segalanya sendiri, menerima segala konsekuensi tindakannya sendiri. Tapi pria ini ...
Brianna memalingkan wajah dengan kasar. Ia merasa marah mendapati Brian menolongnya. Kenyataan bahwa Brian terluka karena dirinya, begitu lekat dalam ingatannya, mengusiknya. Tak peduli berapa kali pun Brianna berusaha melupakannya, ia tidak bisa. Berapa kali pun Brianna berusaha mengabaikannya, ia tidak bisa.
Sekarang, setiap kali melihat Brian, Brianna merasa begitu lemah. Ia benci pria itu karena membuatnya merasa seperti ini.
***
Matahari mulai merangkak naik ketika mereka tiba di depan pintu masuk area pelatihan yang dijaga ketat. Tempat itu berada di kaki pegunungan sehingga hawa pagi itu cukup dingin. Setelah melewati jalanan yang dikelilingi hutan di kanan kirinya sepanjang satu kilometer, mereka tiba di depan sebuah gedung putih yang besar. Di samping gedung itu ada lapangan yang sangat luas, lalu hutan dan Brian bisa melihat di antara pepohonan hutan itu, atap sebuah gedung.
“Kamar kalian ada di lantai lima. Pergilah ke lobby dan ambil kunci kamar kalian di sana,” perintah Tiger begitu mereka turun dari van. “Setelah meletakkan barang-barang kalian di kamar, ganti pakaian kalian dengan yang sudah disiapkan dan ambil senjata kalian yang juga sudah disiapkan di sana, lalu segera turun kemari.”
Kelima agen itu mengangguk dan mengikuti instruksi Tiger.
“Rasanya seperti kembali di hari pelatihan masuk NDA,” komentar Gading ketika mereka menyusuri koridor lantai lima.
Rega mendengus pelan. “Saat itu masih ada anak-anak sok keren yang minta dihajar.”
Gading tertawa. “Tapi kudengar, di tahun pelatihanmu itu kau lulus dengan nilai tertinggi tanpa menghajar siapa pun.”
Rega mengangguk. “Aku menghajar mereka setelah pelatihan selesai.”
Brian tersenyum, teringat saat ia menjalani pelatihan. Saat itu Joe adalah seniornya. Joe sudah lebih dulu masuk ke pelatihan dan Brian masih anak baru. Brian sering bertengkar dengan anak-anak senior lainnya yang merasa berhak mengintimidasi, bahkan menyiksanya. Meskipun begitu, Brian selalu menang melawan mereka.
Bukan karena Brian hebat, tapi karena Brian bisa bertahan lebih lama. Brian bahkan kalah saat dikeroyok seniornya, tapi dia tetap bertahan dan melawan. Dan itulah awal mula pertemanannya dengan Joe. Joe menolongnya. Meskipun Brian selalu bertingkah angkuh dan berkata dia tidak membutuhkan Joe, tapi kehadiran Joe di sisinya membuatnya tidak lagi merasa sendirian. Bahkan dulu, ia benci pada Joe karena dia juga berasal dari negara ini.
Hingga dalam suatu latihan, Joe terluka karena menolong Brian. Kaki Joe terluka karena melindunginya. Kakinya tertimpa kayu balok di tengah gedung tua yang runtuh saat latihan. Meskipun terluka parah, Joe tidak meninggalkan Brian dan membawa Brian keluar, menyelamatkan Brian dari reruntuhan lainnya.
Saat itulah, akhirnya Brian ingat, Joe juga pernah menyelamatkannya sebelumnya. Saat ia masih di negara ini, terlantar, sendirian. Joe adalah orang yang membawa Brian ke tempatnya saat ini, hidupnya saat ini. Sejak saat itu, Brian sudah menganggap Joe sebagai sahabat, kakak, dan juga pelindungnya. Semua orang tahu Brian sangat keras kepala. Hanya Joe lah satu-satunya orang yang didengarkannya.
“Apakah kalian dulu menjalani pelatihan bersama? Kudengar kalian direkrut di tim ini karena kerjasama tim kalian.” Gading menatap Brian dan Joe penasaran. “Biasanya pelatihan dilakukan di sini, kan? Apa kalian tidak pernah bertemu dengan Rega? Kalian seangkatan, kan?”
Brian melirik Joe sekilas. “Kami ikut pelatihan tahun berikutnya, setelah Rega,” dusta Brian.
“Oh,” gumam Gading seraya mengangguk-angguk. “Siapa yang mendapat rekor tertinggi di tahun kalian?”
Brian menunjuk Joe tanpa ragu, membuat sahabatnya itu memutar mata. Joe memang mendapat nilai terbaik, tapi bukan di NDA. Di NDA, para calon agen hanya melewati satu tahun pelatihan, sementara di SIA, Brian dan Joe harus menjalani hampir tiga tahun pelatihan.
“Biar kutebak, kau mendapat poin pelanggaran terbanyak?” Gading menunjuk Brian.
Brian menyeringai. “Menghajar orang-orang yang menyebalkan itu menyenangkan.” Meski yang didapat Brian bukan sekedar poin, melainkan hukuman keras.
“Itukah kenapa Brianna selalu senang menghajarmu?” celetuk Joe, membuat Brian menyikut rusuknya.
Gading, Rega dan Joe tertawa, sementara Brianna tak mengatakan apa pun. Diam-diam, Brian penasaran. Gadis itu jadi sangat diam setelah menghajar Brian tadi.
“Kurasa dia pasti tidak punya teman saat pelatihan dulu,” bisik Brian pada Joe seraya melirik Brianna.
Joe ikut menatap Brianna. “Tanyakan padanya langsung jika kau berani,” tantangnya.
Brian mendengus. “Apa kau pikir aku ini pengecut?”
Joe mengedikkan bahu.
Brian mendesis pada Joe, lalu mempercepat jalannya dan menjajari langkah Brianna. “Hei, kau ...” Kalimat Brian mendadak berhenti ketika Brianna menatapnya tajam. Brian berdehem. “Kurasa kau sudah sampai di kamarmu,” kata Brian asal seraya menunjuk pintu kamar di sebelahnya.
Brianna menatapnya seolah dia sudah gila, lalu melirik ke kunci di tangannya. “Kurasa itu kamarmu. Kamarku di sebelahnya,” katanya dingin, sebelum kemudian dia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Brian yang masih berdiri di tempatnya, dengan Joe yang sudah menghampiri dan menepuk bahunya sebelum masuk ke kamar di seberang kamar Brian dan menutup pintunya.
Brian mendengus tak percaya. Kenapa dia menjadi i***t begini? Yah, bukan salahnya jika gadis itu begitu mengerikan.
“Aku tidak berpikir bahwa kau pengecut,” kata Joe ketika ia kembali membuka pintu kamarnya.
Brian hanya membalas komentar Joe itu dengan desisan kesal sebelum masuk ke kamarnya sendiri.
***
“Apa kalian tahu kenapa kalian harus menjalani pelatihan darurat ini?” tanya Tiger ketika kelima agen itu sudah berbaris di depannya. “Aku tahu kalian adalah agen yang hebat. Agen terbaik, IT terbaik, detektif terbaik, tim kalian punya segalanya. Tapi ada satu hal yang menjadi masalah besar, yang akan menjadi penyebab gagalnya misi kalian.
“Kalian sudah pernah menjalani misi sebagai tim, tapi di tim ini, kalian perlu kerjasama yang lebih baik. Apa karena kalian adalah yang terbaik jadi kalian tidak mau menuruti ketua tim kalian?”
“Tapi kami tidak punya ketua tim tetap,” celetuk Brian.
Tiger mengerutkan kening. “Tidak ada ketua tim?”
“Ada,” sahut Brianna. “Ketua tim untuk setiap misi berbeda. Tergantung siapa yang lebih menguasai lapangan. Itu juga lebih efisien.”
Tiger mendengus tak percaya. “Tim kalian ini bukan tim main-main. Selain mencari Mata Kegelapan, kalian masih harus menangkap Goblin, tanpa bantuan agen lain. Mulai saat ini, aku menunjuk Joe sebagai ketua tim kalian. Brianna, fokuslah pada penyelidikan dan pastikan kau pergi bersama Brian atau Rega dalam setiap penyelidikan di lapangan. Rega dan Brian, awasi setiap orang yang ada di sekitar kalian. Gading, bantu mereka mencari informasi, dan pastikan kau mengawasi dan menjaga punggung rekan-rekanmu dari lawan. Sementara Joe, kau harus menyiapkan berbagai rencana, A sampai Z jika perlu, untuk setiap kemungkinan. Kau bertanggung jawab sepenuhnya untuk timmu. Kalian mengerti?!”
“Mengerti, Pelatih!” sahut kelima agen itu kompak.
Tiger menatap mereka satu-persatu. “Sekarang, tugas kalian masing-masing sudah jelas, jadi jangan mendebatkan tentang itu lagi. Terutama Brian dan Brianna. Kalian akan bekerja bersama. Jika masih belum bisa menerima rekan kalian, kalian bisa meninggalkan tim.”
Brian dan Brianna saling melirik singkat, sebelum kembali menatap ke depan.
“Tugas kalian sekarang adalah pergi ke gedung kosong di tengah hutan itu,” kata Tiger lagi. “Kalian akan melewati ladang ranjau, dan berbagai jebakan di hutan itu. Di gedung sana, kalian harus menyelamatkan sandera, dan ada musuh yang harus kalian hadapi. Jika rekan kalian ada yang terluka, baik saat di tengah hutan, atau saat di gedung, kalian gagal, dan harus memulai dari awal. Jika kalian lolos di gedung itu, kalian akan melanjutkan ke misi selanjutnya. Dan kalian harus kembali kemari sebelum makan siang, atau kalian gagal. Mengerti?!”
“Mengerti, Pelatih!” balas para agen itu.
“Kalian punya waktu dua puluh menit untuk sarapan dan merancang strategi,” Tiger melanjutkan. “Brianna, Gading, berikan semua informasi yang kalian punya pada rekan-rekan kalian, dan lakukan apa pun perintah ketua tim kalian.”
“Baik, Pelatih!”
***