Kekayaan Ardhan akan sangat jauh bila dibandingkan dengan apa yang Rani miliki saat ini. Rani merasa tidak pantas jika harus bersanding dengan Ardhan yang kaya raya. Terlahir hidup sederhana membuat Rani menjadi lebih mandiri. Menjadi tulang punggung keluarga, memberikan apa saja yang Rani miliki hanya untuk ibunya.
Banyak pelajaran hidup yang Rani dapatkan selama hidupnya. Rani harus bertahan dan tidak boleh menyerah. Gaji menjadi seorang karyawan cukup bagi Rani. Namun, hasil yang didapatkan harus dia gunakan untuk membayar semua pengobatan dan terapi ibunya. Terlebih lagi Rani harus membayar seorang asisten rumah tangga untuk menjaga ibunya di rumah. Namun, apalah daya? Hidup Rani hanya untuk ibunya. Bahkan semua jasa-jasa ibunya tidak akan pernah terbayarkan oleh apa yang dia berikan selama ini.
"Ibu, kemarin Rani beli ikan koi. Sudah Rani simpan di kolam. Ibu mau lihat?" Rani tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan respons apa pun dari ibunya. Ibunya hanya diam saja bahkan tidak bisa melakukan apa-apa. Hidupnya dibantu dengan kursi roda.
"Ayo, Rani antar ke taman." Rani mendorong kursi roda ibunya sampai ke halaman depan rumah. "Bunga anggrek kesukaan Ibu sudah mekar lho, Bu." Rani tersenyum girang, berharap bahwa ibunya akan tersenyum juga.
Setelah sampai di kolam ikan yang ada di rumahnya, Rani memberi makan ikan-ikan peliharaannya. Rani terus berbicara, membiarkan ibunya hanya mendengarkan tanpa merespons apa pun. Setiap hari Rani selalu menceritakan semuanya pada sang ibu, menceritakan apa yang sudah ia lakukan selama seharian. Mengajak ibunya mengobrol, meski hanya Rani yang selalu berbicara.
"Ikannya besar-besar, Bu. Warnanya juga bagus. Ibu suka nggak?" Wajah Rani selalu ceria, dia tidak mau ibunya melihat kesedihannya. "Nanti Rani mau beli bunga mawar untuk disimpan di halaman. Rani mau beli banyak bunga biar tamannya jadi bagus dan Ibu senang lihatnya."
Rani tidak peduli dengan banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan. Rani bisa mengerjakannnya nanti malam. Bahkan Rani sudah sering lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Yang terpenting baginya adalah kebahagiaan ibunya. Hanya ibunya. Langit hampir gelap. Rani membereskan makanan ikan ke dalam toples. "Sudah sore, waktunya Ibu istirahat."
***
Usai mengantarkan ibunya ke kamar untuk istirahat, Rani mengecek berkas untuk dia laporkan besok kepada seniornya. Mata Rani menyapu bagian selembar kertas, menelitinya takut jika ada yang keliru. Setelah dirasa cukup, Rani merapikan kembali berkasnya. Lalu matanya tak sengaja melihat beberapa kertas kecil berbentuk bon dan struk tagihan. Rani duduk di pinggir kasur, menghela napas melihat banyaknya tagihan yang harus dia bayar bulan ini.
"Tagihan listrik, beli obat Ibu, beli bunga mawar, terapi Ibu, gaji suster Lili ..." Rani menggantungkan kalimatnya, "kontrakan, utang..."
Rani merebahkan tubuhnya di kasur, tangannya tak lepas dari beberapa bon sambil terus memikirkannya. Pengeluaran tak pernah ada habisnya, gajinya juga belum turun sedangkan uang tabungan Rani sudah habis untuk beli obat ibunya kemarin. Terkadang Rani ingin menyerah dengan keadaan, tapi Rani harus tetap bertahan ketika melihat bagaimana keadaan ibunya yang jauh lebih menderita.
Pikiran Rani sibuk dengan biaya tagihan dan cicilan yang harus dia bayar. Namun, suara notifikasi ponselnya membuat Rani tersadar dari lamunan. Rani menghela napas, Rani harus lebih hemat lagi mengatur uang. Dia melihat sebuah pesan masuk di ponselnya.
Ardhan: Ran, boleh saya telpon?
Rani mengubah posisinya menjadi duduk. Belum sempat dia membalas, sebuah panggilan masuk dari Ardhan membuat Rani berdecak. Rani memilih untuk mengabaikan ponselnya, tapi suara panggilan dari Ardhan terus berdering membuat Rani menghela napas berat. Rani menatap satu nama yang tertera di layar laptopnya.
Ardhan. Satu nama yang terus mengganggu ketenangan Rani. Rani sengaja menyimpan nomor ponsel Ardhan tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Bos'. Lagipula Ardhan hanya beda satu tahun saja dengan Rani. Masa bodo itu sama sekali tidak penting bagi Rani. Yang harus dia pikirkan sekarang adalah tagihan bulanan yang membuatnya sesak.
Ardhan: Angkat telepon nggak harus pake pulsa atau kuota kan, Ran?
Rani menggerutu kesal membaca pesan yang dikirimkan Ardhan lagi. Dengan sangat berat hati Rani mendekatkan ponselnya ke telinga menunggu lawan bicaranya berbicara lebih dulu.
"Halo, Ran?"
"Ya, halo? Ada apa, Pak?"
"Kamu sudah makan? Mau makan malam sama saya nggak, Ran?"
Rani mengembuskan napas gusar, jika bukan atasannya di kantor, Rani tidak akan berbasa-basi dan berlaku sopan santun kepada orang yang terus menyatakan perasaannya padahal sudah berkali-kali ditolak.
"Saya udah makan, Pak."
"Jalan sama saya mau?"
Rani kembali menggerutu sebal, Ardhan tidak mengerti juga padahal Rani sudah memberikan kode bahwa dia menolaknya. "Saya lagi banyak kerjaan, Pak. Besok harus lapor sama senior soalnya."
"Yaudah saya ke rumah kamu ya."
Rani melotot di tempatnya. "Jangan, Pak! Lagian juga Bapak nggak tahu rumah saya, kan? Rumah saya sempit," Terdengar helaan napas dari seberang sana membuat Rani menggigit tangannya, takut jika dia akan menyakiti Ardhan lagi.
"Gimana kamu mau buka hati buat saya, Ran kalau kamu aja selalu nolak setiap kali saya mau buktikan?"
Mata Rani terpejam mendengarnya, dia juga merasa tidak enak. Namun, Rani tidak ingin orang lain tahu. Bahkan teman-teman dekatnya saja tidak ada yang tahu bagaimana kehidupannya. Rani hanya ingin menyembunyikan semuanya tanpa ada rasa kasihan dari orang lain. Terlalu berat bagi Rani memikul semuanya sendirian, tapi inilah pilihan hidupnya dan Rani yang harus menganggungnya.
"Tapi—"
"Yasudah, saya tutup dulu teleponnya. Sampai jumpa besok di kantor, Ran."
Sambungan telepon terputus membuat Rani bingung. Hati Rani merasa tidak enak karena terus menolak Ardhan, tapi Rani tak punya pilihan lain. Ardhan terlalu jauh untuk Rani genggam. Ardhan jauh berbeda dengannya. Nasib mereka berbeda, Rani harus tahu diri dan bagaimana pun juga Rani harus bisa menerima semua risikonya.
Perasaan Rani terus merasa bersalah setiap kali menolak ajakan Ardhan. Namun, Rani harus melakukannya agar Ardhan berhenti menyukainya. Rani harus memastikan bahwa Ardhan membencinya. Hanya ini yang bisa Rani lakukan agar Ardhan berhenti mendekatinya lagi.
Rani mengetikan sesuatu di ponselnya, hatinya benar-benar gusar. Dia menarik napas sebelum mengirim pesan kepada Ardhan. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia seharusnya baik-baik saja.
Saya nggak minta kamu untuk buktikan, Ardhan. Saya cuma minta kamu jauhi saya itu sudah cukup.
Rani tidak tahu apa yang dia lakukan ini benar atau tidak. Namun, Rani tidak ingin menyakiti Ardhan lebih jauh lagi. Rani sudah bisa menduga bila mereka bersama pasti hanya akan menyakiti satu sama lain. Mungkin lebih baik sekarang daripada Ardhan harus melangkah lebih jauh lagi.
***