Part 3

1014 Kata
"Ran, kamu dipanggil Pak Ardhan di ruangannya." Juno—rekan kerjanya yang baru saja duduk di meja kerjanya memberitahu Rani membuat beberapa rekan lainnya ikut menoleh. "Kamu ada buat masalah, Ran?" tanya Yura langsung menghampiri Rani, perempuan berhijab itu takut jika Rani membuat masalah sampai harus dipanggil bosnya. Rani menghela napas, menatap rekan kerjanya satu per satu menunggu jawaban darinya. Rani tersenyum tenang. "Nggak kok," "Lo nggak ada macam-macam sama Pak Ardhan kan, Ran?" Bella memicingkan matanya menatap Rani curiga. Rani tersentak mendengar pertanyaan Bella, sedetik kemudian dia tertawa kecil. "Nggaklah, Bel." "Tapi lo sering dipanggil Pak Ardhan, Ran? Beneran lo nggak ada apa-apa?" tanya Bella lagi membuat rekan-rekan kerjanya penasaran karena hanya Rani yang sering dipanggil oleh bosnya. Rani tersenyum, lalu merapikan pakaiannya. "Saya ke ruang Pak Ardhan dulu ya." Melihat Rani yang sudah pergi membuat teman-temannya menatap saling curiga. Terlebih lagi Bella yang penasaran mengapa Rani selalu dipanggil ke ruangan bosnya. Bella, salah satu rekan kerja Rani yang senang sekali menyebarkan berita, baik yang dia ketahui kebenarannya atau hanya dengar dari orang. Bella juga yang selalu bercerita kepada rekan-rekannya bahwa dia menyukai Pak Ardhan karena tampan dan kaya raya. "Jangan-jangan—" "Lanjut kerja, Bel. Nggak usah gosip." Yura tersenyum melihat Bella yang terus memicingkan matanya dan rasa penasarannya yang begitu besar. Di antara teman-teman kantor Rani, Bella memang selalu ingin tahu urusan orang lain. Rani tidak begitu dekat dengan Bella, dia hanya sebatas rekan kerja saja tidak lebih. *** Rani mengetuk pintu ruangan Ardhan beberapa kali sampai suara Ardhan menyuruhnya untuk masuk membuat Rani menghela napas. Rani melihat Ardhan berdiri menghadap jendela besar yang langsung memberikan pemandangan kota Jakarta dari atas gedung. Kedua tangannya dia masukan ke dalam saku celana, dengan jas abu-abu yang membalut tubuhnya membuat siapa saja akan terpesona dengan ketampanan dan wibawa Ardhan. Menjadi seorang CEO muda bukan hal mudah bagi Ardhan. Banyak hal pahit yang telah dia lalui semasa remajanya. Namun, kini Ardhan bukan Ardhan yang remaja lagi. Ardhan berubah menjadi seseorang yang berhasil dan membuktikan pada dunia bahwa dia mampu melakukannya. Meski sebenarnya rasa berat hati Ardhan selalu datang, tapi Ardhan berusaha untuk menerima semuanya. "Bapak panggil saya?" Rani menautkan kedua tangannya sambil menunduk menunggu Ardhan berbicara. Di kantor, Ardhan adalah bosnya. Dengan begitu bukan tanpa alasan Rani sopan dan menghormati atasannya itu. Terdengar helaan napas Ardhan, tapi pemuda itu tak kunjung menoleh. Tatapannya serius memandang sudut kota Jakarta yang terlihat dari jendela kaca besar dalam ruangannya. "Hati kamu selalu tertutup. Saya belum berhasil masuk karena kamu nggak pernah mempersilakannya." Suara Ardhan membuat Rani tersentak, mendongakkan kepalanya melihat Ardhan yang kini berbalik tengah menatapnya. "Sampai kapan, Ran?" Rani terdiam, pandangannya tak lepas dari Ardhan yang terus menatapnya. Rani teringat akan pesannya semalam, mungkin saja lagi dan lagi Rani telah menyakiti hati Ardhan. Rani menelan salivanya yang mendadak kering, menarik napas untuk meyakinkan dirinya di hadapan Ardhan. "Maaf, Pak. Kita bicarakan urusan pribadi nanti aja, jangan di kantor. Saya akan kembali bekerja. Permisi, Pak." Baru selangkah Rani membalikan tubuhnya, tapi lengannya di tarik oleh Ardhan membuat Rani tak sengaja jatuh dan refleks memeluk Ardhan. Beberapa detik keduanya terdiam karena terkejut. Dengan kesadarannya Rani segera menjauh dari Ardhan, tapi Ardhan justru menahannya sehingga saat ini posisi mereka sedang berpelukan. "Sebentar aja, Ran." Ardhan semakin mengeratkan pelukannya membuat Rani mematung. Tak bisa Rani pungkiri bahwa dia nyaman berada di pelukan Ardhan, Rani merasa ada kehangatan yang Ardhan berikan untuknya. Untuk beberapa detik Ardhan memeluk Rani seolah dia tak ingin kehilangan perempuan itu. "Nanti ada yang liat!" Rani mendorong tubuh Ardhan hingga laki-laki itu mundur beberapa langkah. Rani menghela napas, degup jantungnya berdebar begitu cepat. Lagi dan lagi Ardhan menghentikan langkah Rani yang hendak berbalik. "Saya bos kamu di kantor, Rani!" Mendengar suara Ardhan naik satu oktaf membuat Rani memejamkan matanya, lalu kembali berbalik sambil menunduk menatap sepatu pantopelnya. Rani hanya diam, tak berani menatap mata Ardhan yang kini menatapnya. Sial! Ardhan menggunakan senjata dengan embel-embel bos untuk mencegah Rani. Bisa-bisanya Ardhan membuat Rani menahan kekesalannya. "Saya sayang sama kamu, Rani." Lirih Ardhan, tapi masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Rani. Sedetik kemudian Ardhan membalikan tubuhnya dan kembali menatap jendela besar di hadapannya. Rani memberanikan diri mengangkat kepalanya, menatap punggung Ardhan yang membelakanginya. Degup jantung Rani berdebar begitu cepat. Rani tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi sikap dan perilaku Ardhan kepadanya. Rani merasakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya hingga terasa sesak. Ada sesuatu yang menghantam ulu hatinya. "Kenapa harus saya, Ardhan?" Rani memberanikan diri untuk bersuara. Memandang punggung Ardhan yang bahkan tak menoleh lagi ke arahnya. "Kenapa harus saya?" Suara Rani bergetar, dia tidak tahu mengapa rasanya harus sedih seperti ini. "Maharani." Rani mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan jawaban Ardhan yang menyebut nama lengkapnya. Ardhan selalu saja membuat teka-teki dalam hidup Rani. Bisakah Rani tenang hidup tanpa Ardhan? "Kenapa harus saya?" Lirih Rani lagi, dia menghela napasnya gusar. Beberapa detik keduanya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sampai suara Ardhan berhasil membuat Rani semakin tidak mengerti dengan jawabannya. "Karena kamu Maharani." Belum sempat Rani berbicara lagi, Ardhan kembali bersuara dan menyuruhnya untuk keluar dari ruangan. "Silakan, lanjutkan pekerjaan kamu." Rani menelan salivanya, dia tidak mengerti mengapa Ardhan tiba-tiba berubah menjadi dingin kepadanya? Melihat Ardhan yang masih diam saja membuat Rani memutuskan untuk segera keluar dari ruangan Ardhan dan kembali bekerja. Seperti ada sekat yang tak bisa Ardhan tembus untuk mendapatkan Rani. Sekatnya terlalu kuat dan tinggi sampai-sampai Ardhan merasa lelah untuk terus menghancurkannya. Keduanya sama-sama saling tersakiti oleh keadaan. Dilema selalu menjadi teman. Terkadang Ardhan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sampai kapan dia akan tetap bertahan untuk Rani? Ardhan tidak tahu bagaimana perasaan Rani. Rani selalu menolaknya berulang kali. Rani selalu menutup pintu hatinya dan tidak mempersilakan Ardhan untuk masuk. Bahkan Ardhan kelelahan untuk terus mengetuk tapi tuan rumah tak kunjung membuka pintu. Ardhan hanya ingin Rani tahu bahwa dia benar-benar mencintainya. Ardhan tidak tahu mengapa Rani selalu bertahta di hatinya selama ini. Hanya Rani seseorang yang berada dalam hatinya sekaligus seseorang yang selalu berhasil mematahkan hatinya berulang kali. Ardhan berharap bahwa semesta akan selalu berpihak padanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN