Part 4

1346 Kata
Bagi Rani berkumpul dengan teman-teman itu menyenangkan. Setidaknya Rani bisa melupakan sedikit permasalahan dalam hidupnya. Terlebih lagi dengan sahabat-sahabat dekat yang selalu ada untuk Rani. Namun, sahabat-sahabatnya yang selalu memojokan Rani untuk segera mencari pasangan. Apalagi setelah mereka tahu bahwa Ardhan menyukai Rani, mereka begitu gencar mendekati keduanya. "Ran, tadi gue ketemu Ardhan. Dia curhat tentang lo lagi." Meira—sahabatnya yang paling modis dan peduli soal fashion sekaligus model dalam sebuah majalah ternama—baru saja datang. "Curhat apaan lagi, Mei?" Timi berseru heboh dan langsung berpindah duduk di sebelah Meira. Perempuan yang baru saja meluncurkan novel terbarunya itu memang selalu terdepan mendapatkan informasi. "Biasalah." ujar Meira sembari sibuk merias wajahnya dengan lipstik. Tak bisa dipungkiri Meira memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan modis memang cocok menjadi model. Meira yang sering berkomentar dan langsung bergerak jika alis teman-temannya kurang tebal atau kurang bagus. "Mau sampai kapan lo nolak Ardhan, Ran?" Timi geleng-geleng kepala, kini dia berpindah duduk di sebelah Maharani yang sedang menyantap makanannya. Rani hanya menatap teman-temannya satu persatu, tapi hanya Delisa yang diam saja seolah mengerti apa yang tak ingin Rani bahas saat ini. Rani menatap Delisa yang menepuk pundaknya beberapa kali. Perempuan dengan hijab di kepalanya itu memang selalu menjadi penengah di antara teman-temannya. Delisa yang paling dewasa di antara mereka berempat. "Ganti topik coba!" Rani mendengus, setiap kali kumpul dengan sahabat-sahabatnya pasti topik Ardhan tak pernah terlewatkan. "Kalau lo nggak mau, jangan marah kalau Ardhan gue ambil!" Timi memiting leher Rani membuat perempuan itu memukul lengan Timi yang berada di lehernya. "Ambil aja." ujar Rani dengan mudah membuat ketiganya kompak menoleh. Timi geleng-geleng kepala, antara takjub dan memandang Rani adalah manusia paling tidak waras tahun ini. "Ran, Ardhan itu cakep, tajir, CEO muda, baik. Kurang apalagi dia?" Timi tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, dia menegak minumannya hingga tandas dan menggebrak meja. "Gue yakin hidup lo bakal mulus!" "Kalau Ardhan udah serius, kenapa kamu nggak coba dulu buka hati kamu, Ran?" Sekarang giliran Delisa yang bersuara. Jika sedari tadi perempuan itu hanya diam saja, kini Delisa mulai memberikan saran. "Gue kasihan sama si Ardhan, Ran. Dia curhat mulu karena lo tolak terus." Bukan tanpa alasan Ardhan selalu bercerita kepada Meira, pasalnya hanya Meira yang memang dekat dengan Ardhan karena mereka bersahabat sejak kecil. Rani menegak minumannya hingga habis setengah, menatap sahabatnya satu per satu. "Kalau gue nggak mau masa harus dipaksa?" Usai mengatakan itu, ponsel Rani berdering menampilkan nama Ardhan di layarnya membuat Timi yang melihat itu langsung berseru heboh. "Panjang umur, tau aja kita lagi ngomongin dia!" "Siapa?" tanya Meira kepada Timi, hanya dengan gerakan mulutnya tanpa suara. Rani menghela napas menatap layar ponselnya yang terus berdering. Dia tidak berniat untuk mengangkatnya sampai panggilan tak terjawab dari Ardhan tertera di layar notifikasinya. "Ardhan!" bisik Timi membuat Meira menganggukan kepalanya mengerti. "Angkat aja, Ran. Siapa tahu penting soal kerjaan, kan?" ujar Delisa ketika ponsel Rani terus berdering. "Biar gue aja yang angkat sini!" Timi langsung meraih ponsel Rani yang ada di atas meja dan mengangkat sambungan telepon Ardhan. Melihat hal itu membuat Rani kewalahan, dia kalah cepat dari Timi yang sudah menghindar ketika Rani mencoba merebut ponselnya. Meira menahan Rani untuk tidak mengganggu Timi. Delisa hanya tertawa geleng-geleng kepala dengan tingkah sahabat-sahabatnya. "Timi!" seru Rani mengejar Timi tapi Timi terus menghindar. "Halo, Ardhan ya?" Suara Timi membuat Rani menghela napas gusar dan kembali duduk di sebelah Delisa. Rani tidak yakin jika Timi tak akan berulah. Rani hanya bisa pasrah ketika Meira ikut-ikutan berbicara dengan Ardhan. "Rani ada?" "Rani minta jemput katanya, Ar!" teriak Meira membuat Rani melotot kesal, dia langsung menghampiri mereka berdua tapi lagi dan lagi Timi menghindar. "Mei," Rani menghela napas menatap Meira dan Timi bergantian. "Halo, ini gue Timi. Lo ditolak lagi sama Rani ya? Tenang aja nanti gue bisa bantuin lo buat dapetin Rani. Lo bisa jemput Rani nggak nih sekarang? Ajak jalan atau ke mana gitu," Timi terkekeh usai mengatakannya pada Ardhan. Sambungan telepon masih tersambung dan dalam mode loudspeaker, terdengar kekehan kecil dari seberang sana membuat Meira dan Timi kompak melakukan high five. "Ar, ini gue Meira. Nanti gue share lokasinya ke lo, jemput Rani di rumah Delisa!" Mendengar hal itu membuat Rani langsung dengan gerakan cepat merebut ponselnya dan berhasil. Rani menatap layar ponselnya yang masih terhubung dengan panggilan Ardhan. "Halo?" "Nggak usah dijemput, mereka cuma bercanda. Maaf ya!" "Gapapa, aku otw sekarang." Sambungan terputus begitu saja membuat Timi dan Meira berseru heboh. "Tenang aja, Ran, gue udah share lokasinya ke Ardhan!" Rani menghela napas, menatap tajam Timi dan Meira bergantian. "Awas aja lo berdua!" "Semoga lancar ya, Ran!" *** Setelah dipaksa oleh teman-temannya, akhirnya Rani hanya bisa pasrah dan membiarkan Ardhan menjemputnya. Teman-temannya terus memaksa Rani agar segera naik ke mobil Ardhan membuat Rani tak punya pilihan lain karena Ardhan sudah jauh-jauh datang menjemputnya di rumah Delisa. Di dalam mobil terjadi keheningan di antara keduanya. Rani tidak tahu harus berbicara apa kepada Ardhan, semuanya terasa canggung apalagi setelah kejadian di kantot tadi siang. Begitu pun dengan Ardhan, lelaki itu tetap fokus menyetir menatap jalanan. Sesekali Ardhan menoleh melirik Rani yang hanya diam saja. "Makan dulu yuk, Ran?" Ardhan membuka suaranya membuat Rani menoleh. "Saya udah makan di rumah Delisa." jawab Rani apa adanya. Kali ini dia tidak berbohong, tapi dia hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Ardhan mengangguk-anggukan kepalanya. Keadaan semakin canggung, sebisa mungkin Ardhan mengajak Rani berbicara. "Kalau gitu jalan-jalan sebentar ya, Ran." Rani menatap Ardhan yang kini menatapnya. Ada perasaan bersalah ketika Rani harus menolaknya lagi dan lagi. Entah mengapa untuk hari ini Rani ingin mengiyakan ajakan Ardhan. Tanpa menunggu jawaban dari Rani, Ardhan menghentikan mobilnya di dekat taman kota. Ardhan mengajak Rani untuk turun mencari udara segar sebentar saja. Sedangkan Rani hanya mengikuti Ardhan karena merasa tak enak kepada lelaki itu. Keduanya berjalan memutari taman diterangi lampu-lampu yang menghiasi sepanjang taman. Ada banyak pasangan yang datang ke sana. "Seandainya saya boleh memilih, saya nggak akan menjalani kehidupan yang seperti sekarang." Ardhan tiba-tiba berbicara seperti itu membuat Rani hanya mendengarkan apa yang akan dikatakan Ardhan selanjutnya. "Hidup dalam lingkaran tekanan itu nggak enak ya, Ran?" Ardhan terkekeh pelan membuat Rani memerhatikan wajah Ardhan dari samping. "Kalau kamu pikir hidup saya baik-baik saja, kamu salah, Ran." Ardhan duduk di bangku taman dekat air mancur membuat Rani mengikuti Ardhan. Lelaki itu kembali bersuara seolah-olah dia hanya meminta didengarkan untuk malam ini saja. "Saya selalu merasa salah mengambil langkah, tapi saya juga nggak tahu apa yang sebenarnya jadi keinginan saya." Rani tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Ardhan. Perkataannya berbelit-belit, tapi sebisa mungkin Rani hanya ingin menjadi pendengar yang baik saja. "Hidup saya selalu penuh aturan, Ran. Kadang saya juga ingin bebas, memilih jalan yang saya mau." Ardhan menoleh memandang wajah Rani yang terkena cahaya lampu taman. "Memangnya saya salah ya, Ran kalau memilih jalan hidup yang saya mau?" Rani menggeleng, melipat tangannya di d**a. Pandangannya menyapu ke depan, tanpa menoleh ke arah Ardhan dia berbicara. "Hidup yang kita lalui itu milik kita. Kita yang punya kendali untuk memilih jalan, tapi kita nggak bisa jamin jalan yang kita mau itu selalu baik untuk kita. Kita nggak pernah tau apa-apa soal hidup." "Sama seperti kamu, Ran. Saya juga nggak pernah tau apa-apa soal kamu." Ardhan tersenyum, memandang ke depan melihat orang-orang berlalu lalang. Keduanya terdiam beberapa saat, menikmati angin yang berembus menerpa kulit siapa saja yang bersinggungan. Rani melihat jam yang melingkar di tangannya, dia harus segera pulang. "Bapak nggak usah antar saya sampai ke rumah. Seharusnya juga nggak usah jemput saya. Saya bisa pulang sendiri kok." Rani pergi begitu saja membuat Ardhan langsung mengejarnya. "Ran, ini udah malam. Saya antar ke rumah ya?" "Nggak usah, Ardhan." "Ran—" "Ardhan, saya bisa pulang sendiri!" sentak Rani berlalu begitu saja membuat Ardhan hanya menatap punggung Rani yang sudah menjauh. Ardhan tahu, Rani tidak pernah ingin diantarkan ke rumahnya. Pernah kala itu Ardhan memaksa Rani untuk mengantarkannya sampai rumah, tapi Rani justru marah dan mendiamkan Ardhan berhari-hari. Ardhan hanya tidak ingin Rani lebih menjauh darinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN