KEPERCAYAAN DAN RASA TERTARIK

1221 Kata
 Anak panah milik Denallie benar-benar menancap di pintu, lebih tepatnya di celah-celah pintu. Entah bagaimana anak panah itu bisa masuk tepat di celah sempit itu. Arfeen melirik Denallie yang menatap pintu dengan wajah datar dengan takjub dan sedikit takut.  Ternyata dia benar-benar ahli dalam menggunakan panah, mereka sama sekali tidak berbohong saat membicarakan tentang kekuatan satu sama lain.  “Apa kau sudah puas menguping pembicaraan kami, Virendra?” seru Denallie dengan suara beratnya. Dia juga langsung berdiri dan membuka pintu hanya untuk menemukan Virendra terluka di bagian lengannya akibat anak panah yang tadi Denallie luncurkan. “Oh? Itu benar-benar melukaimu, aku minta maaf.”  Permintaan maaf yang sama sekali tidak terdengar tulus.  “Seharusnya kau masuk saja jika kau ingin mendengar apa yang kami sedang bicarakan, untuk apa menguping seperti itu?” sindir Denallie lagi. “Masuklah, Isolde dengan senang hati akan menyembuhkan lukamu.”  “Kau benar-benar kurang ajar, Marven,” umpat Virendra, dia menatap Denallie penuh kebencian. “Kau pikir kau bisa berbicara seenaknya denganku? Kau lupa kau hanya menumpang di kerajaan ini?”  “Virendra, bisa kau jaga bicaramu?” Varoon maju, begitu juga Derwin. Putra mahkota Marven itu menatap Virendra tidak suka. “Aku yakin Tyrion dan Marven sama-sama tidak menyukai orang yang suka menguping pembicaraan orang lain- jangan salah paham, aku menghormatimu sebagai salah satu penasihat King Tyrion tetapi kau sendiri gagal menyelamatkan rajamu di wilayah kami setelah kau berjanji akan mengembalikan Marven kepada kami. Kami memang menumpang di kerajaan ini tetapi ini semua terjadi karena King Tyrion juga menyetujuinya. Lalu siapa kau yang berani mengungkit kata ‘menumpang’ itu?”  “Varoon,” Derwin meminta Varoon untuk mundur. “Katakan, Virendra, apa yang kau lakukan di depan pintu? Jika kau masuk, Denallie tidak akan menggunakan anak panahnya.”  “Biar aku obati dulu,” sela Isolde, dia mendekati Virendra dan mengobati luka di lengannya. “Ada yang ingin kau bicarakan dengan kami sampai kau datang ke sini, Virendra?”  “Ya,” jawabnya. “Aku datang ke mari karena ingin mengetahui kabar pahlawan baru Niscala kita. Sepertinya dia sudah melaukan pekerjaan yang sangat bagus di hari pertamanya berada di Niscala, aku tidak menyangka anak Saujana akan berperan besar seperti sekarang.”  “Apa maksudmu? Kau meremehkan orang yang diramalkan?” tanya Isolde dengan nada lembut, sama sekali tidak terdengar kesal, dia malah menyamarkannya dengan tawa pelan.  “Tidak, bukan begitu,” Virendra ikut tertawa. “Aku hanya sedikit takjub saja.”  “Lalu apa perlu menguping seperti itu?” pancing Denallie lagi. “Kau bisa langsung mengetuk pintunya dan masuk. Lagi, Tierra sudah cukup lama berada di luar dan berbincang dengan banyak orang, bukankah kau juga ada di sana waktu itu? Tidak? Ke mana kau pergi?”  Virendra menatap Denallie. “Salah jika aku hanya ingin menemui orang yang akan segera mengakhiri penderitaanku? Kau benar-benar terlalu ikut campur, Marven.”  “Sudahlah,” lerai Derwin. “Jika ada yang ingin kau katakan lagi, kau boleh bergabung bersama kami, Virendra.”  “Oh tidak,” tolaknya, dia melirik Denallie dan Varoon. “Aku tidak suka berkumpul bersama orang yang tidak tahu sopan santun dan rasa terima kasih.”  Setelah itu Virendra pergi dan Isolde menunggu selama beberapa detik sampai dia kembali menutup pintunya.  “Kenapa kau selalu terpancing dengan Virendra?” tanya Isolde kepada Denallie. “Emosimu lebih buruk dari Varoon jika sudah menyangkut tentang Virendra. Lagi, jangan gunakan anak panahmu secara sembarangan seperti tadi, kau bisa menyakiti orang lain.”  “Aku bisa mencium hawa keberadaannya, aku tidak mungkin salah,” balas Denallie. “Lagi, sudah aku katakan kalau aku tidak mempercayainya dan aku tidak mengerti kenapa kalian membelanya. Kalian masih percaya setelah dia sering tertangkap basah sedang mencuci otak rakyat lainnya tentang ramalan masa depan Niscala?”  “Tetapi dia tidak berhasil melakukannya dan itu sudah lama sekali,” sanggah Derwin. “Aku tidak ingin membicarakannya, Virendra sudah meminta maaf mengenai hal itu.”  “Tetapi dia aneh,” celetuk Arfeen, dia mendukung Denallie untuk urusan Virendra. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya tetapi dia benar-benar aneh. Dia memprovokasiku ketika aku sendirian di ruangan ini ketika kalian pergi begitu saja untuk melawan Kasdeya.”  “Dia melakukan itu mungkin saja karena dia bisa melihat ketakutan di matamu.”  “Begitukah?” Arfeen mengernyitkan keningnya. “Rasanya tidak. Kalian mengerti manipulatif, bukan? Aku rasa dia memiliki sifat seperti itu karena beberapa anak-anak di sekolahku memiliki sifat seperti itu. Menurutku tidak ada salahnya jika lebih berhati-hati.”  “Tierra, tidak ada orang jahat di negeri ini kecuali makhluk-makhluk yang datang dari luar.”  “Entah kau sedang menyindirku atau menyindir makhluk bernama Kasdeya itu.. aku tidak tahu,” Arfeen mengedikkan bahu. “Aku memang merasa ketakutan dalam segala hal tetapi bukan berarti aku juga bodoh dalam segala hal. Tetapi jika benar kau sudah lama mengamatiku, berarti kau seharusnya mengetahui bagaimana aku hidup selama ini.”  “Benar, Kakak,” kali ini Isolde ikut mendukung. “Kita tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya ketika Virendra dan dua raja masuk ke dalam Marven untuk memukul mundur Kasdeya. Jika Raja kita saja memiliki luka separah itu dengan tubuh yang membiru dan Raja kerajaan Marven hilang tanpa kabar dan tidak pernah kembali ke permukaan, bukankah aneh Virendra kembali dengan luka yang bisa disebut ringan?”  “Kakakmu memang terlalu mempercayai orang-orang dari kerajaannya,” sarkas Varoon. “Dia akan langsung sadar jika dia sudah dikhianati nantinya. Hanya saja jangan salahkan kami jika nanti hal itu benar-benar terjadi, jangan bilang kalau kami tidak memperingatimu.”  “Kalau begitu..” Arfeen berdiri. “Aku akan belajar bagaimana caranya menggunakan mantra sihir terlebih dahulu, tetapi lebih daripada itu.. apakah hewan-hewan itu baik-baik saja?”  “Althaia?”   “Ya. Mereka kehilangan suara mereka ketika kau melemah, lalu setelah kau kembali sehat, apa mereka bisa melolong kuat seperti yang aku dengar tadi? Apa mereka bisa mengeluarkan kabut hijau seperti tadi juga?”  “Kau melihat kabut hijau yang dikeluarkan Althaia?” tanya Derwin, dia terlihat terkejut, begitu juga yang lainnya. “Kau benar-benar melihatnya?”  “Ya,” Arfeen mengangguk, dia benar-benar melihatnya. “Saat mereka melemah pun aku melihat bagaimana mereka menelan dua Kasdeya lainnya dengan kabut hijau mereka. Kenapa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?”   “Hanya pengendali tumbuhan dan hewan yang bisa melihat kabut hijau milik Althaia, bahkan sebagian tidak bisa menoleransi lolongan kuat hewan besar itu,” jelas Varoon. “Sudah ratusan tahun aku hidup di Niscala tetapi aku tidak pernah melihat kabut hijau itu. Bagaimana kau bisa melihatnya? Apa ini juga termasuk kemampuan yang diturunkan?”  “Tidak,” jawab Isolde. “Aku yakin hanya pengendali tumbuhan dan hewan seperti Derwin yang bisa melihat kabut hijau itu karena aku saja tidak bisa melihatnya. Kalian berdua juga tahu kalau pemilik kemampuan seperti Derwin lahir setiap lima ratus tahun sekali dan aku tidak pernah mendengar kasus di mana penyihir dengan kemampuan lain dapat melihat kabut hijau yang diciptakan Althaia.”  Denallie menatap Arfeen. “Jadi dia lebih hebat daripada pendahulunya?”  Derwin tersenyum, dia benar-benar tersenyum. “Ini sangat menarik.”  “Bukankah Althaia juga berbicara?” tanya Arfeen lagi.  “Mereka hanya berbicara dengan orang-orang aku izinkan. Aku yakin kau sudah mendengar suara mereka sejak kau berada di Saujana,” Derwin terkekeh. “Tetapi lebih daripada itu, kau ternyata sangat menarik lebih daripada yang aku bayangkan, Tierra.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN