bc

ASMARA SUNGSANG

book_age0+
1.2K
IKUTI
10.3K
BACA
drama
like
intro-logo
Uraian

Rama dan Sinta mungkin memang pasangan fenomenal sepanjang sejarah para Dewa. Tapi itu tidak berlaku untukku. Semenjak aku melihatnya kembali, setelah sekian lama tak bertemu, aku bersumpah bahwa aku akan mengubah sejarah itu.

Sinta memang kekasih Rama, tapi kupastikan bahwa Sinta bukan untuk Rama. Karena Sinta adalah takdirku, belahan jiwaku.

Tak peduli dia membenciku, tak peduli usianya senjang tiga tahun di atasku, tak peduli dia tak mencintaiku, bahkan aku juga tak peduli meski dia adalah 'adik bungsu ayahku'.

Bagaimanapun, dia adalah milikku!

chap-preview
Pratinjau gratis
VILLA JAHANAM
Sinta menatap laki-laki di depannya dengan pandangan nanar. Dia tak habis mengerti dengan apa yang ada di pikiran keponakannya itu. “Kamu gila, Rafael! Di mana logikamu hah? Apa kamu nggak ingat, aku ini siapa !? Aku tantemu, adik ayahmu! Harusnya kamu ingat itu !” sentak Sinta dengan murka. Muka wanita itu berubah memerah dengan deru napas mencepat. “Aku tak peduli. Kamu, milikku. Dan harus jadi – milikku! Apapun dan bagaimanapun caranya !” bentak Rafael dengan suara yang membuat nyali Sinta seketika menciut. Mata Rafael menyalak, wanita di hadapannya terlihat mengatur napas. Mereka saling menatap dengan berbagai perasaan. Lelaki bertubuh tinggi coklat dengan otot-otot seksi itu, berjalan perlahan untuk berdiri lebih dekat. Degub jantung Sinta semakin kuat, rasa dingin menjalar dari kakinya yang bergemetar. Amarah dan rasa takut, memburu diri Sinta. Ia berusaha menggerakkan kedua kakinya - mundur beberapa langkah. “Rafael ! Jangan mendekat !” tegas Sinta dengan telunjuk kanan mengarah pada lelaki di depannya itu. Mata lelaki itu menyalang tajam memandangnya, Sinta seperti terjebak dalam kubikel sempit di mana ia tak bisa lari kemana-mana. Rafael terus menatapnya, membuat kaku seluruh tubuh perempuan itu. “Kenapa? Kamu takut ?” Rafael tersenyum dengan nada mengejek. “Karena aku … aku nggak ingin kamu salah, karena terbawa oleh emosi sesaat !” Sinta mencoba mengingatkan Rafael. “Kamu selalu membangkitkan emosiku, Sinta ! Kamu membuatku emosi karena selalu menunjukkan kemesraan dengan Rama di depan mataku ! Kamu menguasai otakku, kamu membuatku tak mampu melihat perempuan lain. Itu, karena kamu selalu ada di sini !” Rafael menunjuk pelipisnya dengan pandangan geram. “Hentikan Rafael ! Jangan mendekat ! At.. attauu..” tenggorokan Sinta terasa sulit berbicara, ia menghela napas dan, “Atau aku akan... akan berteriak !” Ancam Sinta, ketakutan. Bagaimanapun, dia tak mungkin akan menang melawan laki-laki di depannya itu. “Kalau kamu pikir dengan berteriak aku akan menghentikan niatku, kamu salah! Karena, kamu hanya milikku ! Hanya untukku!” “Aww !” Sinta menjerit ketika dengan tiba-tiba Rafael meraih dan kemudian menghempaskan perempuan bertubuh cenderung mungil itu ke atas ranjang. Ranjang? Tentu saja! Karena entah setan mana yang membuat Rafael, laki-laki berperawakan tinggi dengan otot-otot yang itu tiba-tiba membawanya ke villa keluarga dengan alasan yang sebenarnya tak masuk akal. Lalu sebuah kegilaan kemudian dilakukan Rafael, karena dengan mata yang menggelap penuh nafsu, dia lantas menerkam Sinta yang terhempas di ranjang. Dengan kekuatan laki-lakinya, dia membuat Sinta tak berkutik meski tetap meronta hendak melepaskan diri. Dengan segenap hasratnya, Rafael meraup bibir mungil perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Tante ini. Menyecap rasa manis yang ada di bibir itu dengan sedikit kasar. Meski Sinta tak berniat sama sekali untuk membalas cumbuannya itu, tapi Rafael tak berniat berhenti. Karena bahkan dia semakin menggila. Baju kantor yang masih dikenakan Sinta di renggutnya dengan paksa, hingga mempertontonkan kemolekan ragawi yang selalu Rafael impikan di beberapa bulan terakhir itu. “Raf! Sadar! Hentikan!” teriak Sinta setengah mendesah, air matanya terus berurai. Sinta terus terus berusaha melepaskan diri sebelum akhirnya Rafael berhasil melampiaskan hasratnya. “Aaakkkkhhhh!” Sinta berteriak memekik. Sesuatu membuatnya memejamkan mata, menahan napasnya yang terhenti sesaat. Rafael berhasil membenamkan dirinya ke dalam diri Sinta, meski dengan sedikit memaksa tentu saja. Terpaku. Sejenak Rafael terpaku bahkan terkejut ketika menyadari ada yang tak biasa di sini. Di luar prasangkanya, Sinta masih belum tersentuh, wanita yang menangis di hadapannya itu, masih seorang perawan. Rafael menatap kedua mata Sinta, ia melihat ekspresi perempuan itu ketika ia berhasil menerjangkan dirinya menembus perempuan itu. Jantung Rafael semakin memburu, namun tak bisa ia hentikan. Ia merasakan ada yang terkoyak olehnya. Rafael tak peduli, ia benar-benar menjadi tuli. Isak tangis Sinta seakan lagu pengantar birahi Rafael yang mengalun indah. Rafael terus mengayun tubuhnya ke dalam tubuh Sinta yang melemah. Hawa nafsu Rafael semakin liar, membuatnya tak mendengarkan suara hatinya lagi. Sinta memejamkan mata, ia tak berdaya, tangisnya pun tak dihiraukan Rafael, sama sekali. Lelaki itu seperti singa lapar yang tak menemukan mangsa selama berbulan - bulan. Dengan segenap hasrat dan nafsunya, dia menyerang Sinta yang hanya bisa menangis di tengah sibuknya Rafael akan tubuhnya. Sampai akhirnya, Rafael menemukan puncaknya, dia memuntahkan lahar nafsunya dengan penuh kesengajaan di rahim Sinta. Sepenuh-penuhnya, hingga rasa hangat menyatu dalam diri Sinta. Dalam hati Rafael, ia berharap bahwa akan tumbuh janin di sana, agar dia memiliki Sinta seutuhnya. Rafael mendekap tubuh perempuan itu, kemudian melenguh puas, menikmati sisa-sisa pelampiasannya kali ini. Peluh masih membanjir, Rafael menggulirkan tubuhnya ke samping Sinta. Sinta meringkuk membelakanginya, kedua tangannya menarik sehelai selimut tipis yang ada pada ranjang itu. Ia tak pernah bermimpi, dirinya akan diperlakukan sehina ini. Kini, Rafael menyisakan perih, juga kepedihan di hatinya. Bahkan, rasa sayang sebagai seorang tante kepada keponakan, kini musnah entah kemana. Hati Sinta benar-benar berubah kelam, hingga hanya ada kebencian yang menggunung tertanam dalam dirinya. * * * Di sebuah gedung komplek perkantoran elite yang berada di pusat kota, seorang perempuan cantik modern dengan wajah jutek terlihat mondar mandir di lobi gedung tersebut. Beberapa kali dia terlihat menghubungi seseorang lewat telepon genggamnya. Beberapa kali terlihat tak ada jawaban, karena wajah gadis itu jelas menunjukkan kekecewaannya. Tapi pada panggilan ketiga, sepertinya si tujuan berkenan mengangkat teleponnya. “Kamu kemana saja sih, Raf ? Kamu nggak lupa kan kalau hari ini kamu udah janji sama aku untuk nganter aku ke butik ? Lusa kakak aku tunangan, dan kamu udah janji nganter aku !” perempuan itu berkata sengit dengan kemarahan yang tak bisa di tutupinya lagi. “ ..... ..... ..... “ “Apa, Raf ? Kamu ada di luar kota ? Kalau becanda jangan kelewatan dong, kamu kan udah janji mau nganter aku, kan ? Kok bisa-bisanya kamu sekarang ada di luar kota ? Mendadak lagi ?” “ ..... ..... .....” Entah alasan apa yang dikemukakan Rafael, laki-laki yang kini sedang ditelepon oleh perempuan cantik ini, sehingga dengan mudahnya perempuan ini luruh kemarahannya. Oke, siapapun bahkan sangat tahu, bahwa Rafael memang laki-laki penuh pesona dan daya tarik yang luar biasa. Bagaimana tidak, Rafael Asmawirdja adalah cucu pertama keluarga Asmawirdja yang terkenal aristokrat karena adanya sedikit percikan darah biru dalam trah mereka. Laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit coklat khas asia, dengan beberapa otot yang menyembul diantara lengannya. Tubuhnya terlihat semakin sempurna dengan adanya six pack yang menambah kesan seksinya semakin menggoda. Sementara itu, Di villa keluarga Asmawirdja. Rafael melempar telepon genggamnya ke atas ranjang usai menerima panggilan beruntun yang membuatnya sangat jengah. Siapa lagi kalau bukan Susan, perempuan semampai dengan bodynya yang sempurna karena dia memang seorang model. “Mengganggu saja!” Gerutu Rafael setengah kesal. Dengan sekonyong-konyong, pandangannya tertuju pada perempuan yang terbaring terisak di sampingnya. Tangannya masih menggenggam erat sisi selimut yang tersimpul didepan dadanya. Sesekali guncangan bahunya masih terlihat, meski tak lagi sekencang tadi. Raf memiringkan tubuhnya yang masih tak berbalut sehelai kain pun. ia menghadap ke tubuh Sinta yang berbaring membelakangi dirinya. Pelan, dia mengusap bahu mulus perempuan itu, mengecupnya lembut yang entah mengapa dan bagaimana, hal itu malah membangkitkan sisi liarnya yang menuntut untuk dipuaskan, segera. Hasrat ragawinya yang tak pernah padam meski tadi telah ditumpahkannya dengan penuh kemenangan. Tanpa menunda hasratnya lagi, Rafael membalikkan tubuh Sinta yang masih bergematar. Perempuan yang masih letih itu terkesiap hendak meronta kembali, tak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti yang tadi dilakukan Rafael. Tapi bukan Rafael namanya, dia tak mampu dicegah sekuat apapun tenaga Sinta. Hanya beberapa menit saja, Rafael dapat menguasai tubuh Sinta kembali. Ia bahkan berhasil menggeluti Sinta lebih dari sebelumnya. Rafael kembali mengecup dan menyecap segala rasa yang disuguhkan oleh kemolekan Sinta. Air mata Sinta dibuat hampir kering olehnya. Dengan suara setengah parau, Sinta memohon Rafael menyudahi itu semua. Namun, sayang permohonan Sinta hanya bagai suara angin yang membuat Rafael semakin terbuai mencumbunya. Rafael kini merasa seperti di surga. Dan surga itu kini tengah dinikmatinya sepenuh jiwa raga. Dia sekarang yakin, bahwa Sinta memang telah ditakdirkan untuknya. Sementara itu, Sinta tak mampu melawan kekuatan otot tubuh Rafael. Setiap inci tubuhnya, tak ada yang tersisa dari kecupan Rafael, hembusan napas lelaki itu menyatu dengan napasnya ketika bibir itu mengulum bibirnya. Sinta ingin sekali menampar wajah Rafael, namun tubuhnya kini tenggelam dalam kesakitan. Hanya air mata yang berbicara betapa pedihnya dirinya kini. Rafael terus bergerak dengan sangat kasar, seolah ingin menuntaskan semuanya saat itu juga. Dan sialnya, Rafael tak juga usai. Meskipun tubuh jantannya telah mengkilap dengan bulir keringat, Sinta bahkan nyaris pingsan menghadapi kegilaan nafsunya. Lelaki itu tak juga mempedulikan perempuannya, Rafael terus memerdekakan hasratnya penuh kenikmatan. Hingga, sesuatu yang berdenyut dirasakan kembali oleh Sinta, Rafael mengerang penuh kemenangan. Ia kembali mendapatkan kepuasan. Tolong cabut nyawaku, Tuhan… keluh Sinta dalam hati, tepat pada saat kesadarannya menghilang. * * * Malam melarut, ketika Sinta mendapati kesadarannya. Dia mencoba membuka matanya yang sempat hilang fokus, mengumpulkan segenap kesadarannya yang sempat tercecer. Ketika dia melihat ke sekelilingnya, dia mencoba mengingat kembali keberadaannya saat ini. Dia pada akhirnya menyadari keberadaannya, hatinya langsung terasa nyeri. Dia menoleh ke arah kanannya saat ini. Dengkur halus terdengar dari seorang lelaki yang kini pulas di sampingnya tersebut. Rafael ... Ya, Rafael yang sebenarnya demikian tampan dan gagah itu kini tengah tertidur pulas. Tentu saja dia pulas, setelah merenggut semua yang Sinta miliki. Rafael memperkosanya beberapa kali hingga mengantar Sinta pada kegelapan tak sadarkan diri. Dengan perlahan, Sinta menggerakkan tubuhkan untuk bangkit. Tapi gerakannya tertahan ketika dia merasakan sesuatu yang nyeri di bagian tubuhnya yang paling intim. Sinta meringis menahan perihnya. Namun demikian, dia tetap menguatkan diri untuk bangkit. Sinta bertekad bahwa dia harus segera berkemas dan meninggalkan tempat ini, atau dia akan semakin membenci dirinya dan laki-laki ini. Maka dengan bersijingkat dia menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya dan tubuh Rafael. Sejenak ia terkejut, ada darah membentuk di seprai putih itu, hatinya betul-betul dibuat hancur. Rafael, tega melakukan ini padanya. Puncak kesedihannya meluap, ia menahan suara kesedihannya agar tak membangunkan Rafael yang masih tertidur pulas. Sejenak, dia menatap Rafael. Entahlah, dia bahkan tak tahu apa yang dirasakannya kini. Laki-laki itu adalah keponakan yang memang tak terlalu dekat dengannya. Sikanya yang pendiam bahkan cenderung tertutup, membuat Sinta tak banyak mengenal dan mengetahui sifatnya. Usianya yang hanya terpaut tiga tahun dengan laki-laki itu bahkan tak memberikan kesan bahwa Rafael lebih muda darinya. Karena siapapun bahkan mengatakan bahwa Rafael lebih tua darinya. Tapi kini Sinta tahu, bahkan sangat mengerti, laki-laki seperti apa yang kini ada di hadapannya. Karena Rafael adalah laki-laki b******n yang pernah diketahuinya sepanjang hidupnya. Sina kembali bergerak dengan perlahan, ia memunguti pakaian kerjanya yang tadi terserak karena ulah Rafael. Memakainya dengan sedikit gemetar karena takut Rafael terbangun. Dan dengan langkah pelan penuh kekhawatiran, ia berjalan meninggalkan kamar villa, membawa kenangan j*****m yang mungkin tak akan lekang usai usianya. Suasana sekitar villa sangat sepi ketika Sinta merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Rasanya gamang ketika dia sampai di luar. Sepertinya, tempat ini memang jauh dari pusat kota. Tapi Sinta tak ingin mundur. Maka dengan penuh rasa pedih, dia menghubungi seseorang. “..... ..... ..... “ “Bisakah aku minta tolong, Nis?” Sinta bertanya, ia menahan lirih saat dia melangkah meninggalkan area villa. “ ..... ..... ..... “ “Aku di villa kawasan Anggrek. Bisa kan kamu menjemputku? Aku... aku tahu ini jauh, tapi bisa kan?” “ ..... ..... ..... “ “Oke, aku tunggu. Terima kasih ya..” Sinta berkata dengan nada gemetar. Matanya tak habisnya, basah oleh kesedihan yang selalu berusaha menyeruak tumpah di pipinya. Segera ditutup handphone-nya dan dia bergegas meninggalkan pekarangan villa, sambil menunggu Anis, teman tomboy Sinta semenjak bangku SMA. Udara di sekitar villa masih terasa dingin bahkan semakin mencekam, membuat Rafael semakin nyenyak oleh kelelahan yang melandanya. Dia tak menyadari, bahwa perempuan yang menjadi obsesinya itu telah meninggalkan dirinya sendiri. Udara sejuk, serta rasa lelah atas kenikmatan yang ia dapati, menenggelamnya Rafael dalam kelelapan. Sisa-sisa kenikmatan ragawi yang dicecapnya dari Sinta, tante yang diam-diam diinginkannya, kini membuatnya jauh lebih bahagia. * * * “Coba kamu katakan sama aku, apa yang telah terjadi sampai aku harus menjemputmu ke villa itu?” tanya Anis dengan sedikit penekanan ketika mereka sampai di apartemen Anis, subuh itu. Sinta masih saja menangis sesenggukan, namun tak juga menjawab pertanyaan sahabatnya. Hal ini tentu saja membuat Anis sedikit geram. “Sin! Kamu masih menganggap aku sebagai teman kamu kan?” Sinta mengangguk, pelan. “Jadi kamu tetap nggak ingin berbagi kesedihanmu? Apa sebenarnya yang terjadi?” Sinta mendongak menatap Anis dengan pandangan memohon pengertian. “Please, Nis… Jangan paksa aku mengatakannya. Setidaknya untuk saat ini…” Anis menatap wajah Sinta. Dari raut wajah sahabatnya itu, terlihat garis tekanan batin. Mungkin, sesuatu yang mengenaskan telah terjadi pada Sinta. Namun, ia tak ingin berprasangka terlebih dahulu, sebelum Sinta menceritakan sesuatu padanya. Apapun yang terjadi, persahabatan mereka yang telah terjalin lama, membuat Anis mengerti bagaimana sifat Sinta. Dengan iba, dipeluknya Sinta yang terlihat sangat rapuh dan depresi ini. Bukannya mereda, tangis Sinta semakin menggugu membuat Anis semakin mempererat pelukannya. “Tenanglah! Aku akan selalu ada jika kamu perlu tempat untuk bicara dan berbagi” bisik Anis, sambil memeluk tubuh Sinta dengan penuh pengertian. Dalam tangisnya, Sinta mengangguk lirih. Sementara di villa, Rafael terbangun. Di sela kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih, dia meraba ke samping tidurnya. Namun tempat yang dingin dan kosong membuat Raf bergegas terjaga. Matanya mengedar ke seluruh ruangan, mencari sosok perempuan yang sempat ia nikmati. Namun dia tak menemukan apa yang dicarinya sejak tadi. “Sinta!” Raf memanggil dengan suara menggema. Tak ada jawaban apalagi sahutan. “Sinta!” Raf mengulang panggilannya sambil berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di ruangan itu. Handuk yang tersampir di sana segera digunakannya untuk membalut tubuh seksinya yang sejak tadi tak lekat dengan sehelai kain apapun. Namun di kamar mandi pun tak ada sesuatu yang ia temukan. Dia lantas bergegas keluar kamar, mengelilingi segenap ruangan sambil menyebut nama Sinta berulang kali. Tapi dia tak juga menemukannya. Hingga, dia melihat daun pintu yang sedikit terbuka. Pikiran Rafael mulai bekerja, ia tahu pasti Sinta telah kabur darinya, entah kapan. “KURANG AJAR!” Rafael merutuk sambil mengepalkan tangannya dengan geram. “Sejauh apapun kamu pergi, aku pasti menemukanmu, Sinta! Karena kamu hanya untukku!” Rafael merutuk sambil bergegas menuju kembali ke kamar untuk mandi. Keinginannya untuk kembali menemukan Sinta membuat Rafael memangkas waktu mandinya menjadi sesingkat mungkin. Tapi di sela kucuran shower kamar mandi, Rafael tersenyum penuh kemenangan mengingat keberhasilannya menjadi lelaki pertama dalam tubuh Sinta. Laki-laki yang berhasil menikmati kegadisan perempuan itu. Dia bersumpah bahwa Sinta akan menjadi miliknya, menjadi belahan jiwanya. Tapi sekilas Rafael tertegun. Dia ingat ada Rama yang posisinya akan sangat menghalangi keinginannya mendapatkan Sinta. Karena Rama adalah lelaki yang paling dekat dengan Sinta akhir-akhir ini. Kemesraan mereka seolah mengukuhkan bahwa mereka adalah soulmate. Tapi, siapa yang peduli? Rafael bertekad akan mengubah takdir, bahwa Sinta bukan untuk Rama. Karena Sinta adalah belahan jiwanya, bukan belahan jiwa Rama. Bagaimana pun caranya, tak ada yang tak mungkin bagi Rafael. Usia, bukanlah halangan untuk mewujudkan ambisinya memiliki Sinta. Rafael bahkan tak peduli, meski dia sangat tahu bahwa Sinta adalah tantenya yang paling muda, adik perempuan Ayahnya. Tapi sekali lagi, siapa yang peduli? Ucap Rafael dalam hati. Matanya memejam, membayangkan Sinta bersamanya, selamanya, hanya untuknya. * * *

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
80.1K
bc

Accidentally Married

read
110.1K
bc

Stuck With You

read
75.8K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
53.9K
bc

Way Back Into Love || Indonesia

read
13.1K
bc

Sweetest Pain || Indonesia

read
77.6K
bc

Everything

read
283.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook