Rafael PoV
Birunya langit, cerah serta hangatnya sang surya, membuka Senin yang tampak ceria. Aku memasuki kantor, tepatnya kantor ayahku. Senyuman manis dan sapa genit pegawai-pegawai Ayah, menyapa setiap langkah. Mereka semua, terlihat cantik. Wajah-wajah berbalut warna, membuat rekahan bibir dan kerlip pandang mereka menjadi tampak mempesona. Tapi, mereka sama sekali tak mengundang minatku.
Setelah hampir sembilan tahun aku menuntut ilmu di luar negeri, kini kurasakan kembali segarnya udara Indonesiaku. Ya, setelah gelar impian itu kusandang, Ayah memintaku untuk kembali dan membantunya mengurus perusahaan ekspor minyak mentah yang telah dirintis beliau semenjak masih muda dulu.
Sepertinya, aku wajib mensyukuri kegigihan Ayahku dalam menjalankan usahanya, karena setelah bergabung dengan perusahaan Ayah, tak sengaja perusahaan kami menjalin kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang milik temanku semasa sekolah menengah atas di luar negeri dulu. Salah satunya adalah perusahaan Adam, temanku dulu.
Sebagai seorang putra tunggal pemilik perusahaan, tentu saja dia menjadi pewaris tunggal kerajaan bisnis ayahnya. Nasib yang baik, sangat baik bahkan jika dibandingkan dengan kegilaannya semasa sekolah dulu.
Aku menghela napas panjang, setelah sampai di ruangan. Setumpuk berkas kerjasama seperti sedang menungguku di atas meja. Semua file tersebut harus kupelajari dan menunggu keputusanku untuk dikabulkan atau tidak. Ini bukan pekerjaan mudah, untuk hal ini, aku tetap harus berkonsultasi dengan Ayahku, mengingat tajamnya insting bisnis beliau.
Kursi kulit menyangga tubuhku dengan nyaman. Satu persatu berkas, mulai kupelajari. Tapi, sekelebat wajah seorang perempuan, dengan harum parfumnya, membuatku memalingkan kedua bola mataku ke arahnya, menghentikan aktifitasku kali ini. Ya, perempuan yang pagi ini sangat aku rindu.
Tanpa sengaja aku berkunjung ke salah satu anak perusahaan yang kebetulan berada di bawah manajemennya langsung, aku bertemu dengan dia, perempuan yang akhir-akhir ini menjadi obsesi hati bahkan obsesi seksualku.
Tanteku! Sinta. Adik perempuan Ayah satu-satunya, karena adik ayah yang lain adalah Om Danu, seorang laki-laki tentu saja.
Gila! Aku bahkan mempertanyakan kewarasanku sendiri, ketika aku merasa sangat merindukannya ...
Flash Back ...
Sore ini, Mama memintaku untuk berkunjung ke rumah Eyang. Memang sejak kepulanganku ke tanah air seminggu lalu, sama sekali belum berkunjung ke rumah Eyang.
“Makin ganteng kamu, Raf?” sapa ramah Eyang Putriku ini membuatku tersenyum.
Tentu saja bukan hanya Eyang Putri yang mengatakannya, karena semua teman wanitaku yang juga teman tidurku, mengatakan bahwa aku memang tampan.
“Eyang juga masih tetap cantik,” jawabku membuat beliau terkekeh.
“Bagaimana sekolahmu, Raf?”
“Lulus dengan memuaskan, Eyang...“
“Syukurlah. Tantemu, kemarin juga lulus dengan nilainya sangat memuaskan.” Eyang berkata dengan penuh kebanggaan.
Tanteku? Ah, aku lupa bahwa aku memiliki seorang tante. Sembilan tahun lalu, ia terlihat cantik dan sangat luwes. Usianya tiga tahun di atasku usianya. Tapi posturnya yang cenderung kecil dibandingkan denganku yang bongsor ini, dia akan terkesan seperti adikku.
Namanya Sinta, Sinta Asmawirdja lengkapnya. Dia adik Ayahku yang paling kecil. Perempuan satu-satunya. Setahuku, Ayah dan Om Danu kurang begitu sayang dengan Tante Sinta. Alasannya apa, aku tak pernah bertanya. Padahal setahuku dia adalah perempuan satu-satunya, yang manis, penurut, cerdas, dan cantik tentu saja.
Wajahnya yang ayu dan lembut terkesan sangat keibuan, bahkan ketika masih belia dulu, aku merasakan bagaimana bijaknya Tante Sinta menghadapi kami, keponakan-keponakannya yang bandel.
Usia kami yang tak terpaut jauh membuat aku, Tante Sinta, Voni adik perempuanku, Lilva dan Denis yang anak Om Danu seperti teman sebaya. Kami sering menghabiskan waktu liburan sekolah bersama, di rumah Eyang dulu.
Pernah suatu kali, ketika kami bermain liburan di rumah Eyang, ada beberapa tetangga yang suka menggoda Tante Sinta sampai Tante Sinta menangis. Dan aku dengan begitu saja menghibur dan memeluknya. Entahlah, bahkan aku berlagak jadi pahlawan kesiangan. Menggelikan.
“Melamun, Raf?” Eyang mengagetkanku dengan melambaikan lima jari di hadapan wajahku.
Aku tergagap dan tersenyum.
“Di mana Tante Sinta sekarang?”
“Tantemu sekarang sudah bekerja menjadi akuntan di perusahaan asing.”
“Kok jam segini belum pulang?”
Eyang terkekeh dengan suaranya yang sedikit serak. Sambil menuang teh untukku, beliau berkata dengan bangganya.
“Meskipun dia perempuan satu-satunya, tetapi tantemu bukan perempuan manja,”
“Maksud Eyang?”
“Dia sekarang tinggal di apartemen yang dibelinya dengan cicilan hasil uang gajinya.” ungkap Eyang, membuatku terdiam.
Bagaimana mungkin dia malah tinggal di apartemen, sementara rumah Eyang demikian luas dan besar? Dan bekerja sebagai akuntan perusahaan asing? Bukankah Ayahku punya perusahaan? Mengapa tak bekerja saja di sana?
“Apa dia jarang mengunjungi Eyang?”
Eyang menggeleng sedikit sendu. Aku tak tahu sendu karena apa, tapi yang pasti aku menangkap ada kesedihan di mata tua beliau.
“Dia pasti akan segera datang jika Eyang menelepon dan memintanya datang. Eyang masih suka kangen dengannya, meskipun dia sudah dewasa,” kudengar suara Eyang sedikit parau. Ada yang menggenang di kedua bola matanya.
“Tapi tunggulah beberapa saat. Dia pasti akan datang sore ini, karena tadi sudah telepon hendak menginap malam ini.” nada suara Eyang berubah menjadi riang. Bibir Eyang sedikit merekah.
Aku hanya mengangguk untuk kemudian menyesap teh rebus dengan aromanya yang wangi dan khas. Lalu bermacam bayangan berkelebat di mataku, bayangan masa kecilku saat kami liburan di sini, bersama sepupu-sepupuku, anak Om Danu. Lalu melintas bayangan seorang gadis cantik yang jelas saja dia adalah Tante Sinta.
Dari tempat dudukku, aku bisa melihat ke arah luar. Kerlipan bintang sesekali terlihat dari hitamnya langit malam ini. Jemariku mengetuk-ketuk sudut meja. Kuharap, aku dan Tante Sinta bisa bertemu hari ini, entah rasanya aku benar-benar ingin berjumpa dengannya.
“Itu dia datang, Raf” Eyang menatapku dengan mata berbinar ketika terdengar derum mobil berhenti di depan rumah.
Sorot keceriaan dapat kurasakan dari wajah Eyang.
“Ayo, Raf!” Eyang mengajakku ke depan.
Aku mengangguk dan melangkah membuntuti langkah Eyang. Tapi, entah mengapa aku merasa bahwa dadaku berdesir seakan ada sesuatu yang akan kutemui. Perasaan aneh yang sudah sangat lama tak lagi kurasakan.
Aku dan Eyang berdiri di depan pintu ketika kulihat sebuah mobil yang cukup mewah terparkir di halaman rumah ini, meski tak semewah mobil keluarga kami. Tapi tentu saja bukan kemewahan mobil itu yang membuat dadaku semakin berdesir dengan rasa familiar yang mulai bergerak menggeliat di tubuhku. Ada yang membuatku kehilangan orientasiku saat aku melihat siapa yang keluar dari dalamnya.
Seorang laki-laki gagah dan tampan dengan pakaian kerja kantornya, masih lengkap dengan dasi dan jas kerja warna hitam, dan sesosok perempuan bertubuh sedikit mungil namun sintal, dengan pakaian kerja yang sangat modis, dan sangat cantik alami! Ia turun bersama lelaki tampan itu. Dadaku langsung berdegup di luar normal ketika mataku dan mata perempuan yang berbinar itu bersirobok pandang. Dan senyumnya? Ya, Tuhan, sebegitu sempurnanya Engkau mengukir seorang perempuan di hadapanku ini!
“Ibu...” sapa perempuan cantik itu yang kemudian menjabat tangan Eyang, menciumnya dengan takzim, kemudian memeluk Eyang.
Ibu? Dia memanggil Eyang dengan sebutan Ibu? Berarti dia, ah! Itu bisa ku tanyakan nanti.
Dari keduanya, aku melihat ada banyak kerinduan yang menguar dari kedua perempuan beda usia itu. Ada banyak kasih yang tak terungkap diantaranya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Eyang masih dengan pelukannya. Perempuan itu mengangguk lembut. Tapi kemudian mereka seperti tersentak, seolah ingat bahwa ada aku dan laki-laki tampan itu di sini, diantara mereka.
“Oh, ya, Bu, kenalkan, ini Rama. Rekan kerja Sinta di kantor,” kata perempuan itu mengenalkan temannya.
Sinta? Jadi perempuan cantik ini, tante Sinta? Lamanya waktu memisahkan, membuat aku agak samar mengingat paras Tante Sinta.
Eyang tersenyum kemudian menjabat tangan Rama, lelaki tampan dan maskulin itu.
“Rama,” laki-laki itu memperkenalkan diri pada Eyang, dengan sopannya.
“Saya Ibunya Sinta. Ini, Rafael, cucu saya sekaligus keponakan Sinta.” tiba-tiba Eyang memperkenalkan aku pada laki-laki itu. Terpaksa aku menyambut uluran tangan persahabatan itu, sambil menyebutkan namaku. Rafael.
“Ini Rafael?” tante Sinta pun tak mengira kelihatannya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Tiba-tiba dia menjabat tanganku dan memelukku. Dan demi segala kegilaan yang pernah aku lakukan, aku merasakan desir darahku menggila seiring pelukannya. Oke, mungkin dia memelukku karena aku keponakannya, tapi aku bahkan tak merasakan bahwa ini pelukan biasa. Aku menafsirkan ini, pelukan lain.
“Sudah dewasa sekali kamu, Raf?” suaranya menyadarkanku, hingga pelukannya melenggorkan di tubuhku dan kembali berhadapan.
Aku hanya tersenyum. Lalu suara deheman Rama membuat tante Sinta menoleh padanya dengan pandangan meminta maaf karena melupakannya sejenak.
“Sin, aku pulang dulu. Senin aku akan menjemputmu jika kamu masih menginap di sini.” kata Rama.
“Maaf, tak perlu repot menjemput Tante Sinta, karena saya yang akan mengantar beliau ke kantor.” kataku dengan spontan mengungkapkan ide yang tiba-tiba saja ada di otakku.
Rama dan tante Sinta saling berpandangan. Sementara Eyang hanya menatap lembut tante Sinta dan mengangguk.
“Nggak apa-apa, Ram. Aku bisa diantar Rafael ke kantor..” ujar Tante Sinta, ucapannya membuatku menahan senyum yang menarik di ujung bibirku.
“Oke, kalau begitu aku pulang sekarang.” Rama berkata santun meski aku tahu ada nada geram dalam suaranya, karena aku mencegahnya menjemput tante Sinta.
Kulihat tante Sinta mengangguk dan tersenyum lembut pada Rama. Melihat gelagat mereka berdua, tubuhku serasa panas dan Sialnya, seketika aku merasa ingin menonjok mukanya yang entah karena apa malah mendapat senyum manis dari tante Sinta. Oke, mereka memang sepasang kekasih kurasa, tapi satu yang aku tahu pasti, aku tak suka dengan hal ini.
Kenapa? Entahlah !!
Lantas Eyang menggiring kami masuk ke dalam rumah ketika Rama pulang dengan kesal dari rumah Eyang. Dalam hati aku tersenyum miring melihat kekalahan pertamanya ini.
Oke, ini buka sebuah kompetisi. Tapi aku merasa dia adalah pesaingku yang tangguh. Tak ada lawan yang tangguh bagiku. Aku yakin, aku mampu mengalahkan laki-laki itu!
Tunggu! Mengalahkan?
Aku harus mengolah ulang otakku ketika aku merasa bahwa aku harus bersaing dengan Rama.
“Kamu bisa mandi sebelum makan malam, Sin. Ibu sudah menyiapkan makan malam untuk kita.”
Tante Sinta mengangguk. Dan sesi berikutnya, adalah aku menunggu makan malam di rumah Eyang. Sembari menunggu Tante Sinta mandi dan Eyang menyiapkan makan malam dibantu Bu Imah. Sembari menunggu, aku memainkan gadget saja di atas sofa.
Wajah perempuan itu, sungguh menelusuk ke dalam ingatanku. Layar gadget yang sedari tadi kumainkan, tidak bisa membuatku merasa nyaman. Tante Sinta, ya dia mengganjal pikiranku. Rasanya, aku hanya ingin berdekatan dengannya.
Sial !!!
Katakan aku keponakan paling b******k yang pernah ada, tapi sungguh, melihatnya kembali setelah sekian lama tak pernah bertemu dalam keadaan sama-sama dewasa, telah menumbuhkan perasaan lain di hatiku.
Gelenyar indah yang bahkan tak pernah kurasakan meskipun aku bersama dengan teman-teman perempuanku, teman berbagi ranjang dalam balutan nafsu. Dan feelingku sewaktu kecil ternyata benar, bahwa tante Sinta akan menjadi perempuan dengan kecantikan yang menakjubkan. Perempuan yang meski dulu masih kecil, tapi sudah sangat bijak dalam bertutur kata. Dan aku suka itu. Aku suka sekali, perempuan bijak.
“Hei, Raf? Kok melamun?” harum tubuhnya membuat aku tersadar. “Kapan kamu datang dari luar negeri? Kok tante sampai nggak tahu?”
Aku membetulkan posisi dudukku. Sedikit bergeser, membuat ruang untuk Tante Sinta bisa duduk di sebelahku. “Sudah hampir tiga minggu” jawabku datar.
“Tiga minggu? Kok Eyang juga nggak ngasih tahu ya?” kata Tante Sinta seolah berkata pada diri sendiri.
Dan demi apapun, suara lembutnya membuatku terpesona. Tante Sinta memberi kode untuk berjalan ke ruang makan. Aku mempersilahkannya duduk terlebih dahulu, dan tentu saja aku duduk di sebelahnya.
“Harusnya, Eyang memberitahu kamu akan datang Raf, setidaknya aku membawakanmu cemilan sebagai ucapan selamat datang..” ungkap Tante Sinta lagi, sambil menatapku dengan senyum.
“Rafael sudah memberitahu Ibu, Sinta. Tapi Ibu lupa memberitahumu bahwa Rafael, si anak hilang ini sudah kembali ke kandangnya!” tiba-tiba Eyang datang dari pantry sambil mengusung semangkuk sup iga kegemaran tante Sinta. Tante Sinta manggut-manggut.
“Ayo makan, Raf. Kamu nggak lupa kan masakan favorit tante? dulu bahkan kamu selalu merebut iga dari mangkuk tante!” katanya sambil menyendokkan sayur dari mangkuk besar itu ke piring Eyang.
Aku hanya tersenyum, sambil sesekali mencuri pandang wajah cantik Tante Sinta.
“Masa? Aku saja sudah tak ingat, Tant” jawabku dengan senyum geli.
“Tentu saja kamu tak ingat, karena ingatanmu sudah dipenuhi cewek-cewek bule yang membuatmu lupa dengan sup iga buatan Eyang!” kata Eyang menyela.
Aku terkekeh geli.
Bagaimanapun Eyang memang benar, terlalu banyak perempuan bule yang datang dan pergi dalam hidupku. Tapi herannya tak satu pun dari mereka yang mampu membuatku berdenyar seperti yang kurasakan hari ini, saat aku bertemu dengan tante Sinta.
* * *
Penampilan Tante Sinta, sangat minimalis. Tubuhnya hanya dibalut kaos oblong putih dengan gambar kucing besar di bagian depan dan celana katun selutut warna biru donker. Rambutnya yang lurus sebahu digerainya lepas. Pangkal rambutnya yang sedikit basah memberikan kesan segar dan manis, juga sexy.
Penciumanku yang tajam, menghirup harum parfumnya yang segar dengan aroma buah. Haah, sungguh membuatku terseret arus pesona yang tak sengaja tercipta. Aku semakin terpesona sejak saat ini. Merindukannya. Menginginkannya. Melebihi hasratku pada perempuan manapun. Apakah rasaku ini salah ?
Flashback off
Merindukannya?
SIAL! Bahkan setelah aku bercinta sepuasnya, tak membuat aku puas sama sekali. Aku harus menemuinya, setidaknya mengetahui keadaannya setelah dia meninggalkan aku sendirian di villa, malam itu.
Aku tahu harus menghubungi siapa. Mungkin Adam tahu! Karena laki-laki itu adalah bos di kantor Sinta. Tapi setelah malam yang luar biasa itu, aku merasa tak harus memanggilnya ‘tante’ lagi. Hanya Sinta! Selayaknya kekasih, aku akan memanggil namanya saja.
Aku menekan nama Sinta di ponselku. Masih sama, tak ada jawaban darinya. Kembali sekali lagi, aku menghubunginya, nada tunggu saja yang terdengar di telingaku. Lama sekali dia mengangkat teleponku? Tak tahu kah dia bagaimana merindunya aku? Degub dadaku berdetak seiring hawa panas tubuhku. Sinta, aku hanya ingin dia! TIDAK LAINNYA!
Ah, Sinta benar-benar mengabaikan panggilan telponku. Dia pasti marah, atau mungkin saja membenciku! Tentu, pasti semua rasa benci itu telah tertanam di diri Sinta, mengingat bagaimana tak tahu dirinya aku terhadapnya!
Kali ini, aku mencoba mengubungi Adam. Rasanya tak akan juga diangkat, jika aku terus menghubungi ponsel Sinta. Dia sedang marah padaku, pasti.
Lagu melow terdengar di telinga, sebuah nada tunggu yang dipasang Adam. Diam-diam aku tersenyum mengejek. Bagaimana mungkin dia menyukai lagu-lagu melo seperti ini? Haha..
“Ya, hallo?” terdengar suara Adam di seberang, agak gusar sepertinya.
“Hei, Dam. Aku tadi beberapa kali menghubungi Sinta, tapi tak ada jawaban sama sekali. Apa kamu mencekokinya dengan pekerjaanmu yang sialan itu?” tanyaku menghardik. Kudengar Adam terkekeh.
“Itu yang membuat aku kesal hari ini, Raf. Sinta tak masuk kerja. Tanpa izin pula. Tak biasanya gadis itu mangkir tanpa ijin seperti ini.” jawab Adam sedikit mengeluh.
Aku menghela napasku, mencoba berpikir apa yang dilakukan Sinta sampai ia tidak masuk kerja. Ia salah satu pegawai teladan yang kutahu. Apa ia sakit? Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padanya!
“Hei, Raf! Kok diam?”
“Ya, maaf, Apa, apa kamu sudah menghubunginya?”
“Sudah berulang kali aku menghubunginya. Tapi sama sekali tak ada jawaban!“
Tanpa berpikir dua kali, aku menutup sambungan telepon. Aku harus mencari tahu, apa yang terjadi dengan perempuanku itu. Ya Sinta, perempuan milikku!
SIALLL! Dia benar-benar membuatku gusar! Aku harus menemuinya. Harus! Aku menggeram dalam hati dan kedua tanganku berkali-kali mengacak rambut. Aku tidak bisa tenang tanpa kabarmu SINTA!
Setumpuk berkas-berkas itu seperti sampah di mataku kini. Persetan dengan berkas-berkas itu. Dan bahkan ketika aku melewati meja Cindy, sekretarisku, aku tak menghiraukan panggilannya. Yang ada di kepalaku hanya Sinta.
Ya, hanya Sinta!
* * *