"Gue Adam, calon suami Anaya"
Sudah mengenal Gio dua tahun membuatku dapat melihat Gio menatap remeh tangan di depannya namun tetap membalas dengan mengulurkan tangannya pada Adam "Gue Gio, mantan pacar calon istri lo" jelasnya dengan menekan setiap kata dalam kalimatnya.
“Ayo Mas, kita pulang aja” ajakku lagi.
Adam kembali menautkan jemarinya dengan jemari ku sembari mengangguki ajakanku. Aku yakin ia dapat merasakan aku semakin merapat ke tubuhnya menghindari pria di depanku. Saat kami ingin berlalu dari restoran itu, pertanyaan Gio justru menghentikan langkah kami dan membuat Adam membalikkan tubuhnya.
"Lo beneran udah kenal dia?" tanya Gio memancing.
"Gue sangat mengenal calon istri gue" jawab Adam sangat yakin, tapi aku yang meragukan hal itu. Aku sama sekali tak melihat keraguan dalam kalimatnya, padahal ada banyak hal yang tak ia ketahui dariku.
"Lo yakin? Gue ngga yakin lo masih milih dia kalo memang lo udah mengenal dia" Gio memberikan senyuman meremehkan.
"Sebenernya apa yang lo mau?" tanya Adam tanpa basa-basi karena tak ingin berurusan lebih lama dengan Gio. Aku menahan nafas ketika melihat tangannya yang mengepal kuat dan rahangnya yang mengeras dengan tatapan tajam kearah Gio.
"Gue cuma mau ngasi tau lo, kalo calon istri lo ini cewek murahan" katanya sambil terkekeh sinis. Aku membuang pandangan dan berusaha menguatkan diri dengan perkataan Gio yang kurang ajar. Aku berusaha memahami sifatnya yang sangat frontal, meski hatiku begitu sakit mendengar ia mengatakan itu pada Adam didepanku sendiri.
Aku merasakan Adam mengepalkan tangannya dan mengeratkan genggaman pada jemari ku.
"Gue tegasin sama lo untuk hati-hati bicara" kata Adam berusaha tenang.
"Hati-hati? Gue cuma nyampein faktanya, cewek lo itu memang murahan. Apa lo pernah menyentuh d**a dia seperti yang gue lakuin? Apa lo udah pernah tidur sama dia seperti sama mantan pacarnya yang lain?" seolah ingin mempertegas hal itu, Gio mendekatkan wajahnya ke telinga Adam.
Tanpa kuduga, Adam dengan gerakan cepat melepas tangannya dari ku dan melayangkan tinjunya ke wajah Gio membuat Gio linglung dan terjatuh ke tanah. Adam juga mendaratkan tendangannya di perut Gio. Aku terpekik kaget melihat kemarahannya itu yang membuatku meringis dan seperti merasakan sakit atas tinju dan tunjangannya.
"Gue udah peringatin lo untuk hati-hati bicara" Adam menunjuk wajah Gio sebelum menarik ku lembut untuk menuju mobilnya tanpa menghiraukan u*****n Gio. Sesampainya di mobil, aku tak bisa lagi mengendalikan diri hingga akhirnya menangis.
Aku terisak dengan kedua tangan menutupi wajahku, berusaha menyembunyikan diri dari Adam namun aku tak bisa melakukannya. Aku masih sakit hati karena perkataan Gio dan dilingkupi rasa takut juga setelah melihat bagaimana marahnya Adam.
Aku menyadari Adam yang tadinya emosi kini menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan sampai nafasnya teratur, barulah ia memutar tubuh melihat kearahku. Aku membuang pandangan.
"Hei, Sayang" serunya.
Aku masih bergeming, tak menanggapi ucapan Adam.
"Sayang" Adam masih menyerukan dengan nada lembut. Aku masih takut untuk menatapnya. Aku terlalu malu.
"Nay, liat Mas. Mas nggak suka kamu nangis kayak gini apalagi karena cowok lain" tegas Adam karena aku mengabaikannya. Tangisku berhenti sejenak setelah mendengar ucapannya yang menohokku.
Aku membuka kedua tangan dan menatap Adam dengan nafas bergemuruh "Aku nangis karena diri ku sendiri, Mas"
Adam memegang bahu ku sejenak sebelum akhirnya menarik tubuhku ke dalam pelukannya "Nggak ada yang perlu kamu tangisi dari diri kamu" desahnya kesal.
"Aku malu sama Mas, aku ngga layak jadi istri Mas"
Adam mengurai pelukannya dan menangkup wajah ku dengan lembut, mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi ku "Mas nggak pernah anggap kamu nggak layak untuk bersanding sama Mas. Mas nggak permasalahin masa lalu kamu. Mas hanya inginkan kamu." ujar Adam yakin membuat air mata ku justru kembali menetes.
"Maafin Naya karena datang setelah Naya tidak terhormat" aku mencoba menyampaikan segala rasa rendah ku padanya. Aku benar-benar merasa diriku tak layak bersisian dengannya yang dalam hal apapun sempurna.
"Nay, please, jangan bilang gitu" kata Adam frustasi, terdengar dari nafasnya yang kembali terhembus dengan kasar "Kamu terhormat di mata Mas. Mas ngga peduli berapa banyak pandangan orang untuk kita karena yang Mas pandang hanya kamu”
"Makasih Mas"
***
"Nay, bangun" aku melenguh kecil ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku, namun mataku belum juga mau terbuka. Ada rasa berat diatas mataku seolah sedang diduduki sesuatu hingga butuh usaha yang cukup kuat untuk membukanya.
"Nay, bangun" aku secara perlahan baru bisa membuka mata dan mengerjap beberapa kali sambil mengamati sekitarku, mengubah posisi menjadi duduk. Aku merasa tubuhku sangat lemah dan rasanya sangat pusing, seperti bumi berguncang hanya tepat ditempatku duduk.
"Gimana? Udah mendingan?" aku memandang Vio dengan bingung.
"Gue kenapa?" tanya ku padanya. Seingatku semalam aku pulang dalam keadaan baik-baik saja dari restoran, ya meski aku ingat jelas, sebelum sampai di kontrakanku, aku tertidur di mobil karena merasa lelah setelah menangis dan membuat mataku bengkak.
"Demam. Lo dari semalam ngigau" jelasnya.
"Ngigau apa?" tanyaku.
"Lo bilang maaf kak, gue udah ngga suci lagi. Setelah itu gue ngga tau karena kak Adam yang ngurusin lo"
"Terus, kak Adam mana?" tanyaku panik. Aku bahkan merasa sangat hina dalam tidurku.
"Di dapur, lagi buatin bubur"
Tidak lama dari itu, Adam datang dengan semangkuk bubur dan segelas minum di atas nampan.
Vio segera keluar setelah berbisik di telinga ku "Kak Adam nemenin lo tidur dari jam 2 karena lo demam" dan aku membulatkan mata.
Aku menatap kedatangan Adam dengan ragu sambil berusaha tak tahu apa saja yang sudah ku lakukan selama tidur.
"Udah mendingan?" aku menggeleng lemah karena sebenarnya bingung tubuhku sudah mendingan atau belum.
"Badan ku lemes banget" ujarku hanya menyampaikan yang kurasakan pada tubuhku saja.
"Kan udah Mas bilang jangan mikirin masalah semalam Nay, susah banget ya nurut sama Mas?"
Aku menggeleng lemah "Maaf" hanya itu yang dapat kusampaikan. Aku bahkan tidak menduga bahwa aku akan jatuh sakit hanya karena masalah semalam. Akhir-akhir ini memang tubuhku terlalu lemah, tidak bisa diberi beban berlebihan dalam berpikir.
"Nih, Mas suapin" ia menyuapkan bubur yang telah menghangat kepadaku yang langsung ku sambut dengan membuka lebar-lebar mulutku meski sebenarnya aku tidak menyukai bubur dengan alasan apapun. Dan ketidak sukaanku berujung pada keinginan muntah pada suapan kelima Adam.
Aku bangkit dengan linglung sambil melangkan kearah kamar mandi dan merasa lega sata menemukan tempat pembuangan yang tepat "Hoekk" aku memuntahkan bubur yang masih sedikit ku makan itu ke wastafel. Adam memijit tengkukku dengan lembut. Aku benar-benar benci menyadari Adam harus melihat bekas muntahanku yang menjijikan meski sebenarnya ia tak mungkin jijik melihat muntahan itu karena profesinya sebagai dokter.
"Aku nggak suka bubur Mas" gumamku kecil setelah mencuci mulutku dan mengelapnya dengan tisu. Aku terpaksa jujur karena aku tak akan sanggup menghabiskan bubur yang dimataku lebih tampak seperti muntahku barusan. Melihat bentuknya yang lembek-lembek saja, aku sudah mau muntah.
Adam mengernyit mendengar pernyataanku barusan "Kenapa nggak bilang?" tanyanya dengan suara yang meninggi.
"Aku takut. Mas tadi keliatan nggak mau dibantah" kataku jujur.
Adam terkekeh dan mengecup bibirku lembut namun hanya sebentar "Maafin Mas, Mas khawatir sama kamu"
Aku merona merasakan lembab di bibir ku yang masih terasa bekas kecupannya. Bahkan ia masih bisa mencium bibirku tanpa membayangkan bibir ini yang tadinya mengeluarkan muntahan menjijikkan di wastafel itu.
“Mas mau berangkat kerja dulu, nanti minta tolong sama Mama aja kalau butuh apa-apa” sarannya yang kuangguki dengan cepat.
***
“Lo sakit mulu akhir-akhir ini, nggak ada capainya apa?” kesal Vio sambil mengantarkanku sarapan. Aku juga nggak mau punya antibodi yang lemah begini hingga terus-terusan sakit, tapi aku bisa apa saat aku sudah berusaha membuat tubuh sehat, tapi ternyata tak bisa.
“Lo nggak ada feeling bakalan mati kan?”
Plak
Aku memukul kepalanya dengan cukup kuat hingga ia meringis, namun aku tetap tak peduli “Kata-kata lo kurang ajar banget. Gue belum siap mati, dosa gue masih dimana-mana”
“Terus kenapa lo sakit mulu?”
“Gue ketemu Gio”
“Gio lagi?” tanyanya heran. Aku sendiri juga heran mengapa pria itu terus berada di sekitarku.
“Iya dan dia bilang gue cewek murahan depan Mas Adam”
“Dasar cowok b******k, entah kenapa dulu lo bisa jatuh cinta sama dia, padahal perilakunya sama sekali nggak menunjukkan dia orang terpelajar”
Aku meringis kesal karena Vio mengingatkanku tentang hal itu. Aku juga tidak akan jatuh cinta dengan Gio jika aku tahu sifatnya yang kejam dan kasar seperti itu. Lagi pula, Gio yang saat ini sangat berbeda dengan Gio yang kukenal dulu. Gio yang dulu adalah pria ramah dan sangat penyayang, setidaknya ia bahkan tak pernah menghina seseorang dengan mulut dan matanya.
“Gue ngerasa dia berubah banget, Vi”
“Udahlah, biarin aja tuh setan. Membahas dia bikin tensi gue naik”
Aku mengusap punggung Vio sambil terkekeh lemah “Iya, lebih baik nggak usah membahas masa lalu” saranku.
“Lo nyesel nggak sih Nay punya mantan kayak dia?” tanyanya lagi dan ini artinya pembahasan kami mengenai Gio masih berlanjut kan, padahal baru saja Vio bilang kalau dia tak ingin lagi membahas tentang Gio.
“Lo bilang nggak usah dibahas lagi, terus kenapa sekarang lo malah melemparkan pertanyaan mengenai dia?”
Vio terkekeh geli sambil menggaruk kepalanya “Gue cuma kepo sama perasaan lo karena menjadi mantan si b******k itu”
“Gue nggak pernah menyesal Vi. Lo tahu sendiri bagaimana baiknya Gio yang dulu ke gue, dan gue ngerasa bahagia waktu sama dia. Gue cuma nyesel karena ucapan gue waktu itu yang bikin dia jadi kayak gini”
“Itu bukan salah lo, dia sendiri yang terlalu b******k sampai nggak dengerin penjelasan lo lebih dulu dan langsung mengambil kesimpulan kalau lo itu cewek nakal. Lo harus tau kalau ucapan dia nggak bener dan dia sama sekali nggak kenal sama lo. Lo harus yakinin diri lo sendiri kalau lo adalah cewek yang layak untuk diperjuangkan”
“Makasih Vi, lo selalu ada dan dukung gue” ujarku.
“Kok jadi mellow sih?” dengkusnya sambil berusaha menyadarkanku. Aku jadi kesal sendiri kalau Vio sudah kembali seperti ini. Dia bahkan tidak tahu cara untuk membawa suasana agar lebih sedih lagi.
Tok tok tok
“Nay, Vi, Mama boleh masuk nggak?” itu suara tante Dina.
“Masuk aja, Ma” Vio menanggapi.
Tante Dina masuk dengan membawa teh manis hangat dan meletakannya di depanku “Minum dulu Nay biar enakan, badan kamu lemah banget akhir-akhir ini, kayaknya efek karena bulan depan bakalan nikah” ujar tante Dina yang kuangguki dengan senyum kecil.
“Maaf Tante kalau Naya ngerepotin”
“Enggak sama sekali, namanya kamu sakit ya harus ke sini lah, disini ada banyak yang bakal peduliin kamu. Kalau di kontrakan, kasihan kamunya sendirian dan susah mau ngapain aja”
“Iya, lagian sama calon menantu sendiri ya kan, Ma” setuju Vio dan disambut anggukan semangat dari tante Dina.
“Mau Tante pijitin supaya enakan?” tanya tante Dina.
Aku menggeleng cepat dan panik “Nggak usah Tante” tolakku. Aku benar tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh ibu dan bapak kalau sampai tahu anaknya ini begitu memanfaatkan kebaikan orang lain. Aku tidak akan sanggup mengangkat kepalaku jika tante Dina sampai merepotkan diri untuk memijat tubuhku.
“Nggak usah ngerasa nggak enak gitu” tante Dina tersenyum kecil.
“Iya, Nay, pijatan Mama itu enak banget. Aku aja suka” ujar Vio sambil mengacungkan jempolnya.
“Iya, tapi Mama nggak mau mijat kamu, orang kamu baik-baik aja gini” desis tante Dina “Nanti kalau mau Tante pijetin, bilang aja ya Nay, nggak usah malu” ujar tante Dina sambil memamerkan senyum manisnya.
“Iya, Tante” anggukku meski dalam hati aku bersumpah, tak akan pernah meminta itu pada tante Dina. Sudah menampungku di rumahnya saja, rasanya aku sudah malu karena seperti tak tahu diri.
Setelah kepergian tante Dina, aku menghembuskan nafas dengan kasar “Kenapa Tante Dina sebaik itu sih?”
Vio terkekeh “Gue juga heran. Kadang gue pengen jadi orang lain aja biar ngerasain baiknya Mama yang berlebihan”
“Anak macapa apa lo? Dikasih orang tua sebaik Tante Dina, malah pengen jadi orang lain” cibirku.
“Ih, lo nih karena nggak anak Mama gue aja ya, kalau iya, lo pasti ngerasain apa yang gue rasain”
“Iya iya, bawel” desisku “Gue mau istirahat nih, mendingan lo keluar aja kalau mau berisik” usirku dengan tak tahu diri, tapi kalau bersama Viona, aku tak perlu khawatir bahwa dia akan sakit hati karena ia sendiri melakukan itu kepadaku saat di kontrakanku.
“Mentang-mentang lo udah mau jadi istrinya kak Adam, jadi sekarang enak ya ngusirnya” sindirnya. Aku terkekeh geli.
“Oh ya Nay, gue mau ngasih tau lo sesuatu” ujarnya serius. Aku mengernyit menunggu kalimatnya selanjutnya. Jarang-jarang nih Vio bisa sangat serius.
“Kemarin Farel nemuin gue”
“Farel pulang ke Indonesia?” tanyaku pelan. Aku merasa jantungku seperti ditikam ribuan kali mengetahui fakta bahwa bahwa mantan pertama ku itu berada di Indonesia. Mendengar fakta itu jauh lebih menakutkan dibandingkan bertatapan dengan Gio ataupun mendengar kata-katanya yang kasar.
“Iya” angguk Vio ragu “Gue rasa, keluarga dia balik lagi ke Indonesia untuk sementara waktu ini”
“Terus gue harus gimana, Vi?” tanyaku takut.
“Tenang Nay, sekarang lo udah sama kak Adam, nggak ada kesempatan mereka buat ngehancurin lo lagi. Yang penting, lo selalu ingat untuk menghindari mereka”
Aku mengangguk ragu, karena nyatanya, melihat Gio saja tubuhku lemas, apalagi sampai berhadapan dengan orang yang merenggut kehormatanku. Aku tidak yakin bisa lari menghindari mereka. Aku pasti tak mampu.