18. Gio lagi?

2054 Kata
“Ca, anak lo pup ini” teriakku pada Cahaya yang masih sibuk melipat pakaian. Cahaya langsung masuk ke kamar dan mendekatiku dan anaknya. Aku cukup terkejut mengetahui bahwa mengurus anak benar-benar selelah ini, padahal aku hanya pengamat saja. Sudah tiga hari tinggal disini dan aku merasa kasihan saat Cahaya harus bangun karena putrinya yang rewel ditengah malam atau karena pup dan popoknya yang sudah penuh dan membuat si kecil terbangun. Dan yang membuat aku salut adalah Cahaya masih bisa meluangkan waktunya untuk menjadi pengajar, pengurus anak dan pelayan suami yang baik. Aku yang tak pernah mengurus anak ini, selama ini hanya berpikir bahwa ‘pasti lucu memiliki anak kecil’ tapi tidak pernah tahu betapa repot dan sulitnya hal itu. Ya, walaupun Cahaya menitipkan sang anak pada mertuanya saat mengajar, tapi aku rasa dia tetap keren karena bisa mempertahankan eksistensinya sebagai ibu rumah tangga dan tenaga pengajar. Aku juga merasa salut pada Leo yang tak pernah meminta Cahaya berhenti dari pekerjaannya karena biasanya ada banyak sekali suami yang menginginkan istrinya hanya menjadi ibu rumah tangga saja karena merasa sosok laki-lakilah yang harunsnya mencari nafkah. Selama ini, Cahaya selalu bercerita bagaimana Leo membantunya untuk menyelesaikan tugas rumah tangga dan aku sendiri juga menyaksikan bagaimana kharisma seorang Leo semakin bertambah saat ia mencuci piring. “Ca, lo sama Leo pernah berantem nggak sih?” tanyaku dan belum sampai dua detik, dia sudah mencubitku “Awh, sakit, Ca” desisku sambil mengusap bekas yang dicubitnya. “Ya abis pertanyaan lo aneh banget sih, masa iya gue sama Leo jalannya mulus mulu, bosen juga dong” jawabnya. “Ya siapa tahu gitu. Soalnya, gue nih sebelum nikah aja, berantem mulu sama Mas Adam” keluhku. Aku sampai heran pada kami berdua yang seringnya bertengkar hanya karena hal-hal yang terkait pada persiapan pernikahan. “Itu biasa kali kalau mau nikah. Gue juga dulu suka berantem sama Mas Leo waktu milihin apa aja yang terkait sama pernikahan. Rasanya apapun yang gue pilihin untuk pernikahan selalu bertentangan sama jiwa prianya dia, begitu juga sebaliknya. Tapi syukur setelah menikah, gue sadar kalau gue harus mengutamakan keinginan suami, tapi tetep kalau perlu ribut, ya gue ributin juga” ia terkekeh diujung kalimatnya. “Syukurlah. Gue pikir gue aja yang ribut sama Mas Adam karena nggak cocok, ternyata lo juga” “Jadi, lo kalau udah nikah, masih kerja atau enggak?” tanyanya. Aku seketika mengernyit dan memikirkan hal itu karena selama ini aku belum pernah membahas itu dengan Adam. Ia juga tidak pernah menyerempetkan pembahasan kami kearah sana, sepertinya ia tak terlalu masalah dengan aku yang bekerja, apalagi mengingat seharusnya aku yang bermasalah dengan jam kerjanya. Ya, walaupun aku harusnya bisa memahami hal itu karena tuntutan Adam sebagai seorang dokter. “Gue belum pernah membicarakan ini dengan Mas Adam, tapi gue rasa dia harusnya nggak masalah sih, soalnyakan jam kerja gue itu nggak bikin dia merasa dirugikan karena itu juga jam kerja dia” “Iya juga sih” angguk Cahaya setuju dengan pemikiranku. “Eh, ngomong-ngomong Leo udah dimana?” tanyaku karena kata Cahaya Leo sudah berangkat dan akan pulang sore ini. “Nggak tau, nih anak gue gendongin. Gue mau ngelanjut ngelipet pakaian dulu” Cahaya menyerahahkan anaknya kepadaku hingga ku terima dengan senang hati. Aku langsung mencium Mutiara-nama anak Cahaya. “Harum banget sih Tia” ujarku. Aku sangat suka dengan harum bayi yang membuat kecanduan. “Harum harum, tapi pas pipis sama pup, nggak mau digantiin” dengkus Cahaya dan aku hanya terkekeh. “Bukannya gitu, gue takut aja kalau salah balik anak lo atau bikin kakinya sakit pas gantiin celana sama popok. Badan anak bayi kan sensitif” jelasku memberi alasan dan memang itu adalah yang kutakutkan dari mengurus anak kecil. Tin tin “Eh, kayaknya ada yang datang tuh” ujarku “Bukain gih, siapa tahu dokter ganteng” katanya. Aku melihat lewat kaca jendela rumah Cahaya lalu mendapati bahwa Adam memang datang kesini untuk menjemputku. Tadinya, aku pikir dia masih sibuk, tapi melihat pakaiannya yang sudah lebih santai sepertinya ia tak ada kesibukan lagi. Tiga hari yang menyita waktunya seharusnya cukup untuk membuatnya bersantai saat ini. “Memang Mas Adam” ujarku pada Cahaya “Boleh aku kasih masuk, Ca?” tanyaku. “Ya bolehlah Nay, masa gitu aja nanya sih” cibirnya. “Ya, akukan menghargai kamu sebagai tuan rumah, mana mungkin aku seenaknya bukain pintu buat orang lain” kini gantian aku yang mencibirnya. Tok tok tok Aku segera membuka pintu dan melihat Adam yang tersenyum manis padaku hingga mau tak mau aku membalas senyumannya “Mas udah siap kerja?” tanyaku. “Udah, makanya Mas kesini. Ini anak temen kamu?” tanyanya sambil melihat Mutiara. “Iya Mas, cantik kan?” “Iya, jadi pengen punya anak” ujarnya membuatku langsung mencubit pinggangnya. “Punya anak punya anak, nikah aja belum” “Ya tunggu nikahin kamu dulu lah, Nay. m***m banget sih pikirannya” ejeknya. “Apaan? Mana ada. Aku kan cuma bilang nikah dulu baru punya anak” “Aku juga mau punya anak tunggu nikah dulu kok” balasnya yang membuatku kesal dan segera masuk, diikuti oelh langkah Adam. “Mas mau dibuatin teh dulu?” “Kayak di rumah sendiri aja Nay nawarin Mas. Temen kamu mana?” “Di dalam” jawabku sambil menunjuk kamar. “Mau minum apa dokter?” tanya Cahaya tiba-tiba. Aku menggelengkan kepala mendengar panggilannya untuk Adam. “Ah, nggak usah mbak. Panggil saya Adam aja, jangan dok. Cukup pasien sama rekan kerja saya aja yang manggil begitu” kekeh Adam sambil mengulurkan tangan pada Cahaya. “Saya Cahaya. Saya panggil Mas aja kalau begitu” “Iya, begitu lebih baik” “Udah Ca, aku aja yang buatin minum, kamu lanjut kerjaan kamu aja” “Kamu nggak langsung pergi. Kasihan tuh Mas Adam kalau sampai nungguin kamu, kayaknya mau ngajak jalan” jelasnya tak enak hati dengan sedikit berbisik padaku supaya Adam tidak mendengar. “Saya nggak buru-buru kok, Mbak, nggak masalah menunggu sampai pekerjaan Mbak Cahaya selesai” ujar Adam yang ternyata mendengar ucapan Cahaya. “Eh, iya Mas. Maaf kalau saya ngerepotin Naya” “Ihh, macem sama siapa aja sih” dumelku. Cahaya memasuki kamarnya kembali dengan doronganku karena merasa tak enak hati. “Mas, gendongin adeknya dulu nih ya, biar aku buatin teh dulu” ujarku sambil menyerahkan Mutiara pada Adam. Pria itu menyambutnya dengan sangat hati-hati hingga aku tersenyum kecil melihat wajahnya yang menggemaskan. “Namanya siapa, Nay?” “Mutiara, Mas. Biasa dipanggil Tiara atau Tia sama emak bapaknya” “Oh, Tiara. Cantik banget sih kamu” pujinya pada bayi mungil itu. Aku meninggalkan mereka dan segera membuatkan minum untuk Adam. Hanya sekitar lima menit dan aku sudah kembali dengan segelas kopi s**u yang langsung ku letkkan didepan Adam “Nih Mas, minum dulu” “Oh ya, Nay, Mas udah nemuin waktu yang cocok buat kita nemuin temen-temen kamu buat nyebarin undangan” jelasnya setelah memberikan Mutiara padaku. “Kapan?” tanyaku. Memang beberapa hari ini kami chatingan secara singkat dan aku mengatakan pada Adam untuk memilih waktu yang tepat agar bisa memberikan undangan pernikahan pada teman-teman dekatku. Mengingat bagaimana jam kerja Adam yang cukup menyita banyak waktu, jadi aku harus menanyakan padanya karena kalau jadwalku sendiri cukup mudah mengingat bahwa pekerjaanku tak membutuhkan begitu banyak waktu selain setengah hari saja. “Kayaknya sih sabtu depan. Mas yakin hari itu pasti bisa” “Oh, oke. Pokoknya Mas bilang aja gimana kepastiannya biar aku bisa hubungin temen-temen dan ngatur pertemuan sama mereka” selain ingin memberitahukan pada mereka mengenai pernikahanku, aku juga ingin meminta tolong agar mereka yang memberikan undangan kami kepada teman-teman yang lain dan ternyata mereka setuju saat aku menyatakan niatku. Tok tok tok Aku mengernyit saat mendengar ketukan pintu dan sebelum aku sempat beranjak dari tempat dudukku, Cahaya sudah lebih dulu berjalan kearah pintu dan membukakannya. Melihat bagaimana semangatnya Cahaya yang langsung meninggalkan pekerjaannya, sepertinya membuatku menduga bahwa yang mengetuk pintu adalah Leo. “Eh, ada tamu ya” ujar Leo dengan senyum hangatnya. Adam segera berdiri dan mengulurkan tangan pada Leo “Adam, Mas. Saya calon suami Anaya” jelasnya yang membuatku terkekeh kecil. “Leo, suami Cahaya” balas Leo “Duduk aja, Mas” “Nah, mumpung suami lo udah pulang, gue udah bisa pergi kan, Ca?” “Cepat banget Nay pulangnya” protes Leo. “Mereka mau pergi, Mas” jelas Cahaya. “Dan kalian mau peluk rindu” balasku yang membuat Cahaya membulatkan matanya disambut kekehan Leo yang sepertinya sudah berterima kasih kepadaku walaupun tidak mengucapkannya secara langsung. *** “Mereka temen SMP, SMA atau kuliah kamu?” tanya Adam saat kami baru saja mengambil tempat yang masih kosong dalam sebuah restoran yang cukup ramai karena ini menjelang malam. “Kuliah” jawabku dan diangguki Adam dengan singkat. “Kamu mau pesen apa?” tanyanya saat seorang waiters menghampiri kami dan memberikan buku menu untuk memilih hidangan yang tersedia. “Aku mau cumi saus tomat, Mas, tapi pengen oseng kerang dara juga” ujarku sambil terkekeh kecil. “Yaudah pesen dua-duanya aja, nanti kita bagi” tawarnya. “Mas nggak selera yang lain gitu?” tanyaku “Gak apa-apa, kita pesen yang kamu mau aja, toh, Mas juga bukan pemilih makanan kalau seafood” ujarnya. “Oke” aku menaikan jari telunjukku yang melingkar dengan jempol dan menunjukkan kepadanya, lantas menyebutkan pesananku kepada waiters. “Minumnya Mas?” “Saya pesen Dalgona coffee matcha latte sama air aquanya satu, mbak” pesanku. “Saya pesen teh botol aja, mbak” ujar Adam cepat. Ia memang tidak terlalu suka minum yang aneh-aneh kalau memakan nasi, tidak sepertiku yang ingin selalu mencoba minuman asing setelah selesai menyantap nasi. Setelah kepergian waiters tadi, aku memajukan tubuhku “Mas, tadi aku lihat ada snack baru, nanti habis makan kita pesen ya” ujarku. “Iya, terserah kamu ajalah mau makan apa aja. Mas cuma ikut nyicip” “Nyicip apaan? Waktu aku bilang beli sosis lapis mie keju mayones, Mas bilangnya nggak usah, eh malah Mas sendiri yang minta bungkus buat dimakan di rumah” ujarku membahas kejadian lalu. Ia terkekeh dan mengangguk pasrah “Iya, iya, Mas yang salah deh” akunya. “Mas, nanti kalau kita udah nikah, aku masih boleh kerja nggak?” tanyaku saat teringat pertanyaan Cahaya tadi. “Boleh-boleh aja. Mas nggak keberatan sama sekali sih, dari pada kamu suntuk juga di rumah, nggak ada kerjaan. Lagian biar bisa bantuin Mas buat ngasih makan kamu” “Ihh, Mas kok gitu rih?” ringisku kesal. Ia tertawa dan mengacak rambutku sejenak “Ya enggaklah, bercanda doang yaelah. Dasar baperan” “Ya abisnya Mas secara nggak langsung kayak bilang biar Mas nggak perlu nafkahin kamu, gitu” “Ya enggaklah, Nay. Mau kemana coba uang hasil jerih payah Mas yang bikin kerja pagi pulang pagi, kalau bukan untuk nafkahin anak istri nantinya” Aku terkekeh lalu mengangguk “Iya, Mas harus bayarkan kesabaran aku nanti nungguin Mas pulang kerja dengan uang hasil keringat Mas yang sampai malam itu” desisku. “Harus itu” ujarnya setuju. “Eh, tapi bener kan, aku masih boleh kerja, Mas?” aku sekali lagi menanyakannya agar bisa merasa yakin bahwa Adam benar-benar mengizinkanku untuk bekerja. “Iyalah. Itu terserah kamu aja, selagi kamu seneng dengan pekerjaan kamu, Mas dukung” “Walaupun nanti aku hamil, masih bisa tetep kerja?” “Masih, Sayang. Yang penting kamu selalu ikut batasan yang Mas tentuin” “Siap” aku memberikan hormat padanya sambil terkekeh. *** "Mau pulang ke kontrakan atau ke rumah calon papa mertua kamu?" tanya Adam ketika kami sudah keluar dari restoran. "Segan ah ke rumah Om Sandi mulu" jawabku jujur. "Loh, kenapa sih sayang, lagipula terakhir kamu ke rumah itu, dua minggu yang lalu" "Ihhh, Mas, Naya malu ahh sama Om dan tante" "Kenapa sih? Udah biasa juga kan sebelumnya" "Bedalah. Kalo sebelumnya aku kesana karena temenan sama Vio, sedangkan sekarang karena jadi calon istri kamu, nanti Om sama Tante curiga kalau aku niat kegenitan lagi sama kamu" “Dasar, pikiranmu negatif banget” ujarnya menoyor kepalaku hingga aku memajukan bibirku beberapa centi. "Ehhh, Anaya" Aku dan Adam menoleh ketika seseorang menyerukan namaku dengan jelas. Dengan ragu aku mengangkat kepala melihat si pemanggil dan aku sangat menyesali pertemuan kesekian ini. Kulihat Adam melihatku dan aku dapat merasakan bahwa Adam dapat mengetahui perubahan raut wajah ku yang sangat kentara dan tubuh ku menegang terlebih saat aku tiba-tiba menggenggam tangannya dengan erat. Aku berusaha merapatkan diri dengan Adam hingga Adam menundukkan wajahnya dan melihatku “Kenapa?” tanyanya lembut. “Ayo pulang, Mas” ajakku. “Buru-buru amat sih Nay, sombong” desisnya sok ramah karena ia mengucapkannya sambil menampilkan tawa yang dimataku sangat menyeramkan. "Gi..io.." ujar ku terbata “Maaf, kami harus pulang sekarang” Gio  melirik tangan ku yang bertautan dengan pria di sampingku ini dengan tatapan sinis. Ia juga mendelik sinis saat melihat Adam tampak tenang disamping mantannya. Aku merasakan ada niat buruk yang tampak dari matanya yang licik itu, terlebih seringai dibibirnya yang membuatku harus waspada. "Udah punya gandengan? Dia udah tau rahasia lo belum? Kalo lo nggak berani biar gue bantu bilang" kata pria itu sambil terkekeh. Jantungku berdegup kencang tanpa bisa ku kendalikan. Adam melepas tangannya dari ku dan mengulurkan tangan pada pria yang ia tidak tau siapa, namun ia mengerti bahwa pria itu pasti mengenal calon istrinya ini. Aku sungguh menyayangkan Adam yang justru mengulurkan tangan dengan ramah. Pria itu benar-benar tak mengerti situasi. "Gue Adam, calon suami Anaya" Sudah mengenal Gio dua tahun membuatku dapat melihat Gio menatap remeh tangan di depannya namun tetap membalas dengan mengulurkan tangannya pada Adam "Gue Gio, mantan pacar calon istri lo" jelasnya dengan menekan setiap kata dalam kalimatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN