PROLOG
"Senna..."
"Senna..."
"SENNA! KELUAR DARI RUMAH INI!"
Senna terbangun. Dengan nafas tersengal. Melepaskan pelantang telinga. Hidungnya mengendus bau wangi khas bunga mawar.
"Bau ini.. Seperti-"
Kalimatnya terhenti. Saat melihat bayangan hitam berdiri di samping ranjang.
"Siapa kau?"
Bayangan hitam itu perlahan menoleh. Wajah memelas dan penuh darah, membuat Senna membelalak. Dia segera berlari ke luar kamar. Turun ke lantai bawah.
Dilihat kamar sang ibu setengah terbuka dengan cahaya lampu yang menerobos celah pintu kayu bercat putih itu.
"Tidak mungkin," Mulutnya bergetar. "B-bu?"
Tidak ada jawaban dari ibunya. Senna mulai menelan ludah gugup. Entah untuk alasan apa, langkahnya berubah pelan. Mendekati kamar. Berhenti sejenak. Kakinya menginjak sesuatu yang basah. Seperti genangan air. Bau amis yang menyeruak, membuat hidungnya berkerut. Senna membungkukkan badan. Menyentuh genangan itu dan kembali berdiri tegak. Jari-jarinya berubah merah. Matanya kini terbuka lebar. Darah. Ia pun kembali tergelak. Dadanya berdegup kencang. Nafasnya keluar gugup.
Senna kembali berjalan ke arah kamar sang ibu. Sepasang kaki putih pucat, teronggok di lantai begitu saja. Genangan merah semakin banyak di sekitarnya. Seolah tahu apa yang terjadi, matanya mulai memerah. Tangannya dingin. Satu. Dua. Tiga. Tubuh ibunya tergeletak di lantai. Gaun putih yang di pakai ibunya, berubah merah. Luka menganga ada di bagian lehernya. Nafas Senna semakin cepat. Air matanya terbit begitu saja. Bibirnya bergetar memanggil sang ibu.
"B-bu.. I-ni tidak mungkin, kan?"
Mencoba menyangkal apa yang terjadi, ia membuat argumen sendiri. Mulut setengah terbuka ibunya, tak bergerak sama sekali.
Kini ia berlutut, di samping sang ibu. Menggoyangkan tubuh sang ibu perlahan. Masih tetap memanggilnya. Tangisan sunyi mulai di lakukan nya. Air matanya keluar tanpa di perintah.
"Bu! Bangun! Belum saatnya kau mati."
Bahu Senna mulai berguncang.
Menunduk. Menangis hebat. Sedetik kemudian, kembali menatap sang ibu. Terlihat luka lebam di pipinya.
Sebenarnya siapa yang mengincar Ibu? Apa mungkin pencuri yang mengincar harta kami? Persepsinya mulai terbentuk. Ketika melihat alat rias ibunya, berserakan ke berbagai arah.
Sementara itu, dari ruang tengah yang baru saja di lewati Senna, seseorang mengenakan setelan hitam lengkap dengan topi dan masker yang juga berwarna hitam, berjalan perlahan mendekati kamar ibu Senna. Derap langkah seseorang itu menggema, Senna yang mendengarnya, mulai merasa gugup. Rasa takut mulai menghampirinya, nafasnya terasa berat, keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya. Dia menelan ludah berat, lalu menatap ke depan. Terlihat dari pantulan cermin di meja rias, ia melihat seseorang itu. Berdiri di depannya. Tangannya membawa pisau yang berlumuran darah.
Senna terpaku, bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan. Dan tiba-tiba! Pisau diayunkan ke arah Senna. Dia mencoba untuk menyerang Senna. Senna terkesiap dan mencoba menghindar.
Senna berteriak sekeras mungkin, kemudian berbalik dan mendorong keras kaki seseorang itu, sehingga tubuhnya menghantam pintu dengan keras, saat orang itu berniat menikamnya. Ia pun berlari ke ruang tengah, yang saat itu sedang gelap dan bersembunyi di balik sofa. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Orang itu berteriak di sisi meja,
"Tidak usah bersembunyi! Aku— pasti menemukanmu. Kau tak perlu takut, pisau ini tidak akan menyakiti tubuh indah mu."
"Suara itu? Terlihat begitu akrab di telingaku?" hatinya berargumen seraya mengernyitkan dahi.
Senna pun menangis dalam diam, membungkam mulutnya dengan kedua tangan, untuk menjaga isak tangisnya tidak terdengar oleh seseorang itu.
Tiba-tiba suasana menjadi tenang. Tak lagi terdengar derap langkah seseorang itu. Dia melongokkan kepala untuk melihat situasi, dengan tangan meremas erat bibir sofa. Kepalanya menengok ke kanan lalu ke kiri. Namun, seseorang tersebut tak tampak. Dia pun berbalik, melihat kearah belakang. Seseorang itu telah berdiri di belakangnya. Dengan cepat ia menjambak rambut Senna, dan memukul kepalanya dengan gagang pisau. Yang akhirnya membuat Senna terpelanting ke kiri. Darah mengalir di pelipisnya. Tak puas dengan itu, ia mendekati Senna kembali dengan langkah cepat, dan menarik bajunya seraya memukul pipi Senna, sehingga tersungkur ke lantai. Namun hal itu tak membuat seseorang tersebut berhenti menganiaya Senna. Ia kembali mendekati Senna, tapi kali ini ia berjuang. Dengan tubuhnya yang hanya 157 senti, Senna mendorongnya dengan kuat dan meraih sebuah patung kecil yang berada di atas meja, di samping tv. Menghantamkan pada kepala seseorang itu, sehingga patung tersebut pecah. Dia mengerang kesakitan, memegang kepalanya.
Senna mengambil kesempatan ini untuk lari ke lantai atas, dan berniat akan menghubungi polisi. Ketika melangkah pada anak tangga kedua, seseorang itu memeluk perutnya, lalu mengangkat dan melemparkan ia ke lantai. Senna mengerang kesakitan, tertelungkup di lantai. Dia mencoba bangkit dengan tubuh yang telah gemetar hebat, meraih sofa di sampingnya.
Seseorang itu berjalan cepat mendekati Senna, membalikkan tubuhnya dan mencekik leher Senna dengan kuat. Wajah Senna berubah semu, otot pelipisnya kini tampak. Mulutnya terbuka, seakan ingin berteriak tapi tak mampu. Ia pun dengan erat meremas pergelangan tangan orang yang tengah mencekiknya. Berusaha melepaskan tangannya dari leher.
Namun sayangnya, dengan tubuhnya yang kurus, Senna tidak mampu melawan. Penglihatannya menjadi kabur dan nafasnya perlahan habis. Tapi, Senna tak menyerah, dengan sisa tenaganya, ia mencoba menarik masker yang menutupi wajah seseorang itu.Usahanya pun tak sia-sia. Masker itu terlepas. Wajah pembunuh terlihat jelas. Dan membuat Senna membuka mata lebar-lebar.
Dengan suara parau ia berkata, "Kau?"