Bunga Lily Di Kampus

3099 Kata
S I (Beberapa bulan sebelum kejadian) Senna Rosemary. Gadis 19 tahun itu terlahir dengan sendok perak di mulut. Segala kebutuhannya terpenuhi. Uang, Kendaraan, Baju, apapun itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa menikmati itu semua. Dia lebih memilih menjalani kehidupan yang suram. Selalu menyembunyikan wajahnya di balik tudung jaket. Jemarinya selalu menutupi lubang hidungnya. Kemanapun ia pergi. Semuanya berawal saat ia kecil. Sebagai anak tunggal, dia sangat dekat sekali dengan sang Ayah. Setiap kali, Ayahnya libur bekerja, keduanya selalu menghabiskan waktu bersama. Berkemah. Pergi ke Taman Ria. Memancing. Bisa di katakan, Senna adalah gadis kecil yang amat sangat beruntung. Hingga kecelakaan itu terjadi. Keduanya akan pergi ke Taman Ria seperti biasa. Tidak ada yang aneh di awal. Hingga, pada satu turunan jalan. Rem mobil tiba-tiba tidak berfungsi. Sang Ayah mulai gugup. Senna yang saat itu baru berusia 10 tahun, dan baru saja terbangun hanya menatap wajah sang Ayah, yang sudah mulai pucat. "Ayah sakit?" "Senna... Kau sudah pakai sabuk pengaman mu, kan?!" "Ya, sudah." "Dengarkan Ayah.. Mobil ini akan segera menabrak dan terguling. Jadi, saat mobil ini sudah berhenti.. Kau harus segera keluar dari mobil. Apapun yang terjadi. Jangan hiraukan Ayah. Kau mengerti?" Senna mulai menangis. "Kita akan mati?" "Tidak.. Tidak. Ayah, tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Mobil semakin tidak terkendali. Belok ke sana-kemari. Dan pada akhirnya, mobil menabrak pembatas jalan. Berputar-putar. Kembali menabrak pembatas di sisi lain. Dan berhenti. Kaca mobil berserakan dimana-mana. Asap keluar dari kap mobil yang terbuka. Badan mobil bentuknya sudah tidak karuan. Wajah Senna terdiam menempel pada Dasboard mobil. Sedangkan Sang Ayah berlumuran darah. Bersandar pada kursi. Keduanya tak sadarkan diri untuk beberapa waktu. Tidak ada bantuan. Tidak ada mobil lewat. Sepi. "A-ayah..." Senna mulai tersadar. Mengangkat kepalanya sekuat tenaga. Hidungnya bengkok. Dia menangis menatap Ayahnya. "Ayah... Jangan mati." Senna mengguncang tubuh sang Ayah. Sang Ayah menggeram kesakitan. "Senna... Kau baik-baik saja?" tanya Sang Ayah, dengan tetap pada posisinya. Senna hanya mengangguk. Tangisannya menjadi. "Berhenti menangis. Cepat lepaskan sabuk pengaman mu. Dan, segera keluar dari mobil." "Ayo.. Keluar bersama-sama, Yah.." "Tidak bisa.. Ayah tidak bisa bergerak. Kau keluar saja dulu. Nanti cari bantuan." "Tidak. Aku tidak mau meninggalkan Ayah." "Ayah tidak akan meninggalkanmu. Percayalah." Api kecil tiba-tiba keluar dari kap mobil. Steve, nama Sang Ayah, membelalakkan mata. "Senna! Cepat keluar! Cepat!" "TIDAK! AKU TIDAK MAU!" "Senna! K-kau ingat? Saat kita bermain "Tangkap Penjahat" saat itu Ibu yang menjadi penjahat, kan? Dan Ibu menyandera Ayah. Lalu, yang Senna lakukan apa?" "Menyelamatkan Ayah." "Bagaimana caranya?" "Panggil bibi untuk minta bantuan." "Benar! Ini sama dengan permainan itu. Senna cukup keluar dari mobil. Dan, lari lah sejauh mungkin. Cari bantuan. Dengan begitu kita bisa selamat. Kau bisa, kan?" Senna mengangguk gugup. Melepaskan sabuk pengaman. Dan membuka pintu mobil. Api mulai membesar. Percikan-percikan seolah mobil akan meledak, sudah terjadi. "Senna! Begitu keluar dari mobil.. Kau harus berlari sekencang mungkin! Dan, jangan menengok ke belakang. Kau mengerti?" Senna mengangguk dengan tangisan. Dia sudah di luar mobil. Dan berlari kencang seperti perintah Ayahnya. Satu. Dua. Tiga. Mobil meledak. Senna berhenti menangis untuk sesaat. Dan menengok. "AYAH!!" Dia kembali berlari ke arah mobil. Ledakan kedua terjadi. Tubuh kecil Senna melayang ke belakang. Dan jatuh menghantam tanah. Dia tak sadarkan diri. Setelah beberapa pengendara melintas, Senna pun di larikan ke Rumah Sakit. Dia koma selama beberapa hari, karena benturan yang terjadi saat ledakan itu. Juga mendapatkan operasi di hidung karena patah. Sang Ibu, yang hanya bisa menangis, mulai memeluk Senna dengan rasa syukur, karena dia sudah mulai membuka mata. Hari demi hari di lewati Senna di Rumah Sakit. Dia menjadi pendiam. Sebentar-sebentar menangis. Demi melihat senyum sang anak kembali. Sang Ibu membawakan kue kering cokelat kesukaannya. Senna mengambil satu dan mencium aromanya. "Bu... Kenapa tidak bau wangi seperti biasa?" Ibunya terdiam sejenak. "Kau.. Benar-benar tidak bisa mencium harumnya?" Senna menggeleng. Di menit selanjutnya, Dokter membawa beberapa makanan yang memiliki bau yang sangat kuat. "Senna, tidak bisa mencium harumnya?" tanya Dokter. Sekali lagi dia menggeleng. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" "Hal seperti ini sulit untuk di sembuhkan. Karena saraf pembau hidung Senna sudah tidak berfungsi. Ini biasa di sebut Anosmia. Hilangnya Indera Penciuman." "Apa karena hidungnya patah?" "Tidak. Bisa jadi karena trauma kepala. Merusak saraf penghidu milik Senna. Saraf ini berperan penting dalam Indera penciuman. Jika saraf itu rusak, maka hidung akan kehilangan fungsi untuk mencium sesuatu." Sang Ibu hanya menghela nafas panjang. "Senna.. Kau benar-benar tidak bisa mencium bau durian ini?" tanya Dokter. Senna menggelengkan kepala. "Nanti kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." "Terima kasih, Dokter." Hari berikutnya. Sang Ibu kembali membawakan masakan kesukaan Senna. Kali ini nasi goreng pasta udang. Seperti yang di sarankan Dokter, agar membawa makanan dengan bau yang menyengat. "Senna.. Kau tahu apa yang ada di dalam kotak makanan ini?" Senna diam. Menatap kotak makanan berwarna merah muda itu. Ia menggeleng di detik selanjutnya. "Ibu.. Membawakan mu-" "Bau jeruk segar," kata Senna. "Jeruk? Kau mau makan jeruk?" "Tidak. Aku mencium bau jeruk segar." Senyum sang Ibu mengembang. "Benarkah? Kau mencium sesuatu?" Senna mengangguk pasti. "Oh, syukurlah.. Hidungmu kembali normal. Tunggu sebentar, Ibu akan memanggil Dokter." Sepersekian menit, Dokter datang. Dan segera memeriksa Senna. Dia kembali membawa durian. "Kau bisa mencium bau buah ini?" tanya Dokter. "Bau Jeruk Segar," jawab Senna. "Ini bukan jeruk. Ini durian, Senna. Kau tidak bisa mencium baunya?" "Bau Jeruk segar." Sang Ibu dan Dokter saling menatap heran. "Dokter.. Apa mungkin yang di maksud adalah bau parfum Anda? Baunya seperti jeruk segar," jelas perawat. "Ah.. Benar. Ini bau parfum Dokter. Wah, Senna.. Sepertinya kau sudah sembuh, ya?" kata Dokter. "Tapi.. Sebelumnya dia juga mengatakan mencium bau jeruk segar. Sebelum Dokter datang." "Benar juga. Apa mungkin parfum saya yang terlalu menyengat?" Sang Ibu tersenyum kikuk. "Mungkin saja." "Bu.. Aku takut," kata Senna. Tiba-tiba saja, tubuhnya mengkerut. "Kenapa? Takut apa?" Senna menunjuk ke arah Dokter. "Tidak apa-apa, Senna. Dokter tidak akan menyakitimu." "Apa.. Senna takut Dokter akan menyuntik mu?" goda sang Dokter. "Tidak. Aku takut dengan paman yang berwajah sama dengan Dokter. Berdiri di belakang Dokter. Wajahnya pucat. Bajunya penuh darah. Pisau menancap di dadanya." Kata-kata aneh yang terucap dari Senna, membuat mereka bergidik ngeri. Dan, keesokan harinya Sang Dokter yang merawat Senna di temukan tewas di atap gedung. Karena di tusuk oleh keluarga pasien yang meninggal setelah di operasi oleh Dokter tersebut. Pisau menancap tepat di dadanya. Setelah kejadian itu, Sang Ibu menatap Senna dengan penuh kengerian juga heran. Apa yang sudah terjadi dengan anak semata wayangnya itu. "Bu.. Aku sudah tidak mencium bau jeruk segar lagi." *** "Senna! Senna! Hei, Senna Rosemary!" Seorang gadis berteriak memanggil berulang kali, ketika Senna berjalan cepat di koridor kampus. Ia menghentikan langkah, menengok ke belakang. Seorang gadis mengenakan mini dress biru pendek, berhenti di depannya dengan nafas tersengal-sengal. "Kau mau pergi kemana? kenapa terburu-buru?" ucapnya, sambil mengatur napas. "Kuliah pertama Bahasa Jerman." Gadis itu mengangguk pasti. " Iya tahu. Kenapa?" "Kau ingin dapat nilai F?" "Ah, iya! Mr. Darel selalu menyebalkan! Kalau begitu ayo kita lari!" "Aku tidak suka lari." kata Senna. "Dan aku tidak suka jika kau menyentuhku." Clara adalah satu-satunya gadis yang berani mendekati Senna. Semenjak kecil mereka sudah bersahabat. Setidaknya, Clara tahu. Bagaimana sifat asli Senna. Well, memang Senna tidak sedingin ini sewaktu kecil. Dia gadis yang periang. Suka bercanda. Senna yang sekarang, dia sudah seperti sudut kota yang tidak terpasang lampu jalan. Gelap. Misterius. Menakutkan. Dia selalu saja menutupi wajahnya dengan tudung jaket hitamnya. "Ya.. Ya.. Aku paham. Kau tidak suka di sentuh. Tidak suka di dekati. Tidak suka keramaian. Tidak suka tersenyum. Tapi.. Bagaimana jika aku gelitiki kau?" Senna hanya menatap dingin Clara. "Ayo cepat jalan. Aku tidak ingin ada 2 nilai F nanti," kata Clara. Setibanya di depan ruang kuliah, Clara bernafas lega. Sang profesor belum ada di tempat. Melenggang santai setelah itu. "Untungnya, dosen belum datang," kata Clara. Senna memilih duduk di bangku paling belakang, yang kemudian diikuti Clara, duduk di depannya. "Eh, kau tahu?" kata Clara, memutar setengah tubuhnya. "Apa?" "Aku dengar, saat ini ada mahasiswa baru dari Thailand. Katanya dia tampan dan tinggi." Senna tidak merespon. "Mungkin dia cocok untukmu, semenjak kau putus dengan Tara. Kau selalu mengabaikan orang-orang yang ingin memintamu berkencan. Sudah setahun, sejak kejadian itu. Sampai kapan kau ingin mempertahankannya? Berapa banyak orang yang kau tolak? Bahkan orang yang paling tampan di kampus kita saja kau abaikan." Senna memang dingin. Tidak bisa tersenyum. Tapi, dia masih bisa jatuh cinta. Pada orang yang bisa meluluhkan hatinya. "Siapa?" Alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, Clara hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah samping Senna. "Pagi Senna," Suara maskulin dari belakang mengejutkannya. Yang akhirnya membuat Senna menoleh kearah samping kirinya. Senna hanya mengangguk. Kemudian kembali menatap Clara. "Billy," panggil Senna. "Ada apa?" "Kau menyukaiku? Clara mengatakan hal itu." Clara terbelalak. "Kau gila? Kenapa kau langsung bertanya?!" bisik nya. "Clara bilang aku gila. Karena menanyakan hal itu. Jadi, kau menyukaiku?" Billy yang semula tertegun, kini tertawa canggung. "Wah.. Kau benar-benar gadis yang unik. Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu tanpa ekspresi?" "Tidak. Aku sedang tersenyum." Clara dan Billy saling menatap heran. "Ini wajah tersenyum mu?" tanya Clara. Senna hanya menatap Clara. "Well, kita teman. Bagaimana bisa seorang teman saling membenci?" jawab Billy. "Mereka semua membenciku. Kata mereka aku orang aneh." Billy tersenyum. "Karena wajah cantikmu tertutup oleh tudung jaket yang lusuh ini. Coba lepaskan. Dan, menatap dunia dengan berani." "Tidak. Aku nyaman seperti ini." "Selamat pagi!" sapa Mr. Darel. Mereka segera duduk di kursi masing-masing. "Hari ini, kita mendapatkan teman baru. Satu bulan yang lalu, ia mulai menetap di Indonesia. Jadi.. saya harap kalian bisa menjadi teman yang baik baginya," Jelas Dosen. "Mahasiswa baru, silakan masuk." Dari pintu, datang seorang pria dengan hidung setengah mancung, memiliki gaya rambut Mohawk, tubuh atletis, kulit putih langsat, mata agak sipit. Dan yang paling menonjol adalah alis hitamnya yang tebal. Mengenakan kemeja biru yang tidak dikancingkan, tampak kaos putih dibalik kemeja yang dikenakannya. Dia berjalan mendekati dosen. "Perkenalkan dirimu." "Nama saya Leo Inveldt. Sebulan yang lalu saya menginjakkan kaki di Indonesia. Di sini, saya tidak memiliki kerabat ataupun teman, jadi saya harap kalian bisa akrab dengan saya," Jelas Leo, dengan aksen bicara kurang sempurna. "Sekarang kau ingin duduk di sebelah mana? Cepat pilih dan kelas akan segera kita mulai." Dia mengedarkan pandangan sejenak. "Saya ingin duduk di kursi belakang." "Baiklah." Leo pun bergegas melangkahkan kaki menuju kursi belakang. Berhenti di samping Senna dan mengulurkan tangan. "Aku Leo. Kau?" Senna tak merespon . "Jadilah temanku," kata Leo. Permintaan yang secara tiba-tiba dari Leo, membuat Senna mengangkat satu alisnya. "Leo Inveldt? Silakan segera duduk. Jika kau ingin merayu Senna, lakukan setelah kelas berakhir!" Leo berakhir dengan tersenyum kikuk. *** Satu jam penuh kebosanan berakhir. Para mahasiswa keluar untuk memanjakan cacing-cacing di perut mereka yang telah bergerilya sepanjang kelas berlangsung. Senna mengeluarkan kotak makanan. Yah, seperti biasa. Dia makan sendiri di dalam kelas. "Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu makan sendirian. Lihat!" Clara memamerkan kotak makanannya. "Aku juga," sahut Billy. Ketiganya makan di meja berbeda, namun saling berdekatan. Seperti biasa lagi. Senna hanya diam dan makan. Dan, tiba-tiba saja hidungnya menghirup aroma parfum yang menyengat. Dia memejam kesal. Menutup hidungnya erat-erat. "Kenapa? Kau mencium sesuatu lagi?" tanya Clara. Di kampus ini, satu-satunya orang yang mengetahui kondisi Senna adalah Clara. Seringkali, Clara membantunya untuk keluar dari masalah itu. Bau parfum yang semakin kuat, membuat Senna memejam kesal. "Baunya seperti bunga lily," kata Senna dalam hati. Angin berhembus sangat dingin tiba-tiba. Muncul sesosok wanita di belakang Clara. "Di ruangan ini.. Ada berapa orang?" tanya Senna. "Tentu saja 3. Kau, Aku, dan Clara." Tiba-tiba Billy menjawab. "Kenapa? Kau melihat hantu?" Senna melirik Billy. "Haha. Aku hanya bercanda. Lagipula, siapa yang masih percaya hal mistis di tahun Milenial ini?" "Aku percaya," jawab Senna singkat. Membuat Billy terdiam. Dan kembali makan. "Kenapa? Kau melihat sesuatu lagi?" "Di belakangmu." Clara terbelalak. Tubuhnya menjadi kaku. Tergelak takut. "Jangan khawatir. Dia hanya ingin menemui ku saja." "Kali ini, kau tidak ingin mencegahnya?" "Itu sudah takdirnya. Semua orang hidup pasti akan mati juga." "Kata-katamu.. Lebih menakutkan di banding hantu itu." "Tolong aku... Dadaku sakit.." Senna mencoba mengabaikan. Yang membuat sosok itu, semakin mendekati Senna. Seorang gadis. Dengan pisau menancap di dadanya. Nafas Senna menggebu. Teringat kejadian saat ia kecil. Ketika Dokter itu terbunuh dengan cara yang sama. "Tolong aku.. Pria itu..." Suaranya semakin jelas terdengar. Dan terus menerus. Senna menundukkan kepala. Merapatkan tudung jaketnya. "DIAAAAAAAM!" Senna tiba-tiba berteriak. "Aku hanya ingin memberimu soda," kata Leo, yang tiba-tiba ada di depannya. Senna mendongak. Menatap Leo. Sosok sebelumnya sudah menghilang. "Maaf.. Apa aku mengganggumu?" tanya Leo. Senna bangkit dari kursi dan berlari keluar. *** Di belakang gedung kampus, seorang wanita tengah berdiri dengan mengedarkan pandangan. Sedang menunggu seseorang. "Kenapa harus bertemu disini? Tempat ini sedikit menyeramkan," gumamnya. Sedangkan dari balik pohon yang berada beberapa meter di depan gadis itu, seseorang yang berpakaian serba hitam, sarung tangan hitam dan memakai masker serta topi, mengawasi wanita itu. Tangannya menggenggam sebilah pisau tajam. Sementara sang wanita mulai gundah, seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang. Seakan tak ingin mensia-siakan kesempatan, seseorang yang telah membuntutinya itu berjalan cepat ke arahnya dengan membawa seonggok kayu. Wanita itu mengerutkan kening dan merasa gugup, melihat kearah seseorang tersebut. "S-siapa kau?" Tapi seseorang tersebut hanya diam dan terus berjalan. "A-apa yang akan kau lakukan?" wanita itu kembali bertanya. Alih-alih menjawab pertanyaan gadis itu, justru seseorang tersebut semakin mempererat genggamannya pada kayu. Dan semakin membuat gadis itu gemetar hebat. Perlahan-lahan ia melangkah mundur. Lalu berbalik dan akan berlari. Namun langkah kaki seseorang tersebut lebih cepat darinya. Kayu pun mengayun kearah wanita itu begitu keras. Tubuhnya tersentak, sebelum akhirnya jatuh tersungkur. Seseorang itu mendesah lega dan membuang kayu yang dipegangnya. Lalu membalikkan tubuh wanita tersebut. Sepersekian menit kemudian, wanita itu tersadar dan perlahan membuka mata. Mata yang sebelumnya sayu, sekarang melebar melihat seseorang itu sedang memegang pisau dengan kedua tangannya, berniat akan menikam gadis itu. Dia menggeleng lemas seraya menangi s. "Aku mohon.. jangan." Tetapi seseorang itu tidak memperdulikannya. Dengan cepat, ia mengayunkan pisau dan! "Kyaaa!" Teriakan wanita itu cukup kencang, sehingga membuat burung-burung senja terbang berhamburan dari pohon. Pisau pun telah terjebak tepat di dadanya. Darah menyembur keluar dari tubuhnya. Seseorang itu menyeka darah yang tercecer di pakaian gadis yang telah dibunuhnya, kemudian melumuri wajah gadis itu seraya menyeringai. Lalu beralih pada kepala sang gadis. Di dahi gadis itu ia mengukir sebuah tanda dengan pisaunya. *** Matahari kini perlahan turun ke permukaan bumi. Warnanya mulai berubah. Semburat oranye. Tiga mata kuliah telah usai. Meskipun menjelang malam, tapi aktivitas di kampus ini masih padat. Senna saat ini tengah berjalan berdampingan dengan Clara, di waktu yang sama dengan mahasiswa berlarian panik ke arah yang berlawanan dengannya. Rasa penasaran pun dengan segera menghampiri Clara. Ia pun menarik salah satu mahasiswa yang tengah berlari. "Ada apa?" "Ada mayat di belakang gedung!" "Lagi?" Setelah mahasiswa itu pergi, Clara menahan langkah Senna yang hendak pergi. "Kau tidak ingin melihatnya? Mungkin saja itu gadis yang beraroma lily tadi siang." "Sudah jelas pasti dia. Aku tidak mau melihatnya." "Ayolah. Kita lihat sebentar." Dengan terpaksa, Senna mengikuti Clara. Para mahasiswa dan dosen telah berkumpul di belakang gedung. Dari balik punggung beberapa mahasiswa, sekilas Senna melihat jasad tersebut. Seorang gadis. Dengan pisau menancap di dadanya. Darah segar menggenang di sekitar. "Ini tidak bisa di biarkan lagi, Pak! Ini sudah yang ke 25 kali dalam dua tahun! Dulu Anda membiarkannya begitu saja. Setelah satu tahun tak terjadi apapun— namun kini terulang lagi. Saya menduga akan lebih banyak lagi mahasiswa yang akan jadi korban. Dan juga saya sangat yakin, pelakunya adalah orang yang sama!" Seorang dosen tampak berbicara dengan menahan amarah. Sekaligus keprihatinan. Karena rentetan insiden pembunuhan di kampus tempatnya mengajar, tanpa ada tindakan dari pihak rektor yang lebih terkesan menutup-nutupi. "Jangan ambil keputusan yang terburu-buru. Jika orang luar tahu ini maka nama kampus akan menjadi buruk! Dan tidak ada yang akan memilih kampus ini. Juga, dari mana Anda tahu jika pelakunya sama?" Rektor memicingkan mata menatap dosen yang tengah berdiri dihadapannya. "Anda tidak melihat tanda yang terukir di dahinya? Lalu! Cara membunuhnya selalu sama! Dia ditikam di bagian d**a! Sudah banyak siswa yang gelisah atas kejadian ini. Jadi sampai kapan kita akan membiarkan hal buruk ini terus berulang?" "Kita bicarakan ini nanti," pungkas rektor, meninggalkan tempat kejadian. S I. Di dalam segitiga. Ciri khas pembunuh berantai itu. Tidak ada yang tahu. Siapa dan apa tujuan si pembunuh tersebut. Dan, juga.. Arti dari tanda yang di tinggalkannya. Di balik gedungnya yang megah, Kampus W ini menyimpan banyak misteri. Salah satunya pembunuhan berantai ini. Kasus ini tidak pernah terendus pihak luar. Rektor selalu menutup kasus ini dengan cara yang tidak bermartabat. Tidak ingin nama Kampus tercoreng, dalihnya. Sejumlah uang yang nominal cukup besar di berikan kepada keluarga korban. Entah kenapa, kebanyakan dari mereka memilih bungkam. Seolah nyawa anak yang melayang itu setara dengan kertas-kertas yang mudah terbakar itu. "Senna.. Maaf, aku pulang dulu. Rasanya isi perutku mau keluar lihat mayat itu." Clara mengirim pesan. Setelah mengantongi kembali ponselnya, Senna meninggalkan lokasi. Aroma bunga lily dari parfum gadis yang meninggal itu sudah menghilang. "Senna!" sapa Leo. "Kau, belum pulang?" Senna tidak merespon. Terus berjalan. "Ah, kau pasti dari gedung belakang, ya? Mengerikan, ya? Kenapa tega membunuh gadis itu." Senna mempercepat langkahnya. Tak ingin berlama-lama dengan Leo. "Kenapa kau diam saja? Kau tidak suka denganku?" Leo berjalan lebih cepat dari Senna dan menghalangi langkahnya. "Minggir." "Akhirnya, kau bicara juga." "Aku tidak suka dekat dengan orang asing." "Siapa? Aku? Hei, kita kan satu kelas. Bagaimana bisa kau mengatakan aku orang asing?" "Aku tidak mengenalmu. Dan, aku tidak ingin dekat denganmu." Senna menggeser kaki ke samping, dan berjalan lagi. "Sepertinya kau harus dekat denganku sore ini." Leo menarik tas selempang Senna ke depan. Menunjukkan pada sang pemilik, jika bagian bawahnya robek. Dompetnya hilang. Senna mengerutkan kening. "Sial! Siapa yang melakukan ini?!" "Kita tidak bisa mencari dompetmu. Hari sudah mulai gelap. Lebih baik kau menumpang mobilku." Senna diam. "Apa kau lebih suka jalan kaki? Aku yakin rumahmu jauh dari sini." Senna tetap diam. "Baiklah. Selamat berjalan kaki." "Tunggu. Aku ikut." Leo tersenyum. *** Mobil hitam milik Leo akhirnya berhenti di salah satu rumah dengan bentuk bangunan kuno, dan dilindungi pagar yang secara keseluruhan memiliki struktur bangunan Belanda. Bangunan putih yang masih tampak kokoh tersebut, saksi bisu pergantian masa dengan seabrek riwayat yang pernah terekam dan tersimpan rapat. "I-ini rumahmu?" "Iya." "Rumah kuno itu selalu terlihat estetik. Hehe." "Ini peninggalan kakek. Karena ibuku anak tunggal, kakek memberikannya pada kami." "Ah, begitu." Kening Senna tiba-tiba mengkerut. "Aroma parfum ini..." Senna menatap curiga pada Leo. "Kenapa kau melihatku seperti itu?" "Bunga Lily." "Bunga Lily? Kau suka bunga itu?" "Ini bau parfum bunga Lily.." Berganti Leo yang mengerutkan kening. "Kau tadi bertanya.. Kenapa seseorang tega membunuh gadis itu." "Lalu?" "Kenapa kau melakukannya?" "Melakukan apa?" "Kenapa kau membunuh gadis di Kampus kita?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN