Deduksi Yang Salah

1371 Kata
Leo terhenyak. Mendengus kemudian. "Aku? Kenapa kau menuduhku?” “Aroma parfum mu sama dengan gadis yang mati.” “Maksudnya?” “Bau parfum gadis yang mati itu adalah bunga Lily. Dan, aku mencium yang sama denganmu.” “Lily?” Leo mengangguk paham. “Aaah.” Ia membuka dashboard, dan mengambil setangkai bunga Lily. “Ini?” Senna diam. Menatap Lily itu. Deduksi nya salah kali ini. Terkadang memang sulit untuk membedakan aroma itu. Karena parfum dan bunga—baunya sama menyengat. Sejak ia mendapatkan kemampuan itu, dia sempat kehilangan akal. Berteriak. Menjerit. Membanting segala apa yang di lihatnya. Arwah-arwah dengan wajah mengerikan muncul di mana saja dan kapanpun. Aroma-aroma wangi yang selalu membuatnya bergidik ngeri. Senna selalu bersembunyi di balik selimut. Hidupnya menjadi gelap. Tak lagi penuh warna. Senyumnya pun, sudah hampir tak terlihat. Pernah, suatu hari ia hampir berhadapan dengan meja hijau pengadilan. Hanya karena ia mengatakan pegawai minimarket di dekat kampusnya akan mati. Dan, mayatnya di buang di perkebunan kosong. Senna dengan tampilan mengerikan—rambut kusut. Kantung mata menghitam. Kaus putih yang di bagian bawah ketiak basah—juga punggung. Celana jogger abu yang di sisi kirinya terangkat sampai lutut— pergi ke kantor polisi. Di ceritakan pada petugas semua yang di lihatnya. Pegawai laki-laki minimarket C mati karena tusukan di perut yang bertubi. Mayatnya di buang di perkebunan kosong. Bibir pucat juga terlihat gugup ketika mengatakan itu. Meyakinkan petugas kepolisian untuk segera pergi ke TKP yang di maksud Senna. Setibanya, di sana tidak ada apapun. Tidak ada mayat. Bercak darah. Para petugas pun sempat emosi. Terlebih, ketika ia mengatakan, “Tidak sekarang. Tapi, dia akan mati.” Petugas merasa aneh dengan apa yang di katakan oleh Senna. Kemudian, mengajak Senna untuk pergi ke minimarket C di dekat kampusnya. Pegawai laki-laki yang di katakan mati itu pun masih hidup dan sedang bekerja. Tentu saja, itu membuat para petugas menyia-nyiakan waktu berharga. Hanya meladeni racauan gadis gila, pikirnya. Dua hari kemudian, gempar seluruh kota. Karena di temukan mayat di perkebunan kosong—korban perampokan. Tak lain adalah pegawai minimarket yang tempo hari di laporkan oleh Senna. Penyelidikan pun di buat mudah oleh petugas. Hanya satu tersangka terkuatnya. Adalah Senna. Kedua tangannya di borgol dan di bawa ke kantor. Sang Ibu yang merasa bingung turut menemani. Dan, meyakinkan para petugas jika bukan dia pembunuhnya. Di jelaskan pada mereka, jika Senna memiliki kelebihan itu. Namun, hanya di tertawakan. Dan, Senna berakhir di tahan. Selama beberapa hari ia berada di balik jeruji kantor polisi. Belum di pindahkan ke kejaksaan, karena petugas masih mencari barang bukti. Sang Ibu juga menyewa beberapa pengacara terhebat di Indonesia. Senna yang merasa ketakutan hanya terus meringkuk di sudut ruang kecil dengan pintu jeruji besi. Satu detektif muda menghampirinya. “Kau sungguh bisa mengetahui bagaimana korban di bunuh hanya dari aroma parfumnya?” tanya detektif yang ber-visual lumayan tampan itu. Senna mengangkat kepalanya. Lalu, mengangguk. CID— nama detektif itu, mendengus tak percaya. “Itu memang sulit untuk di terima akal sehat, Nona,” katanya. “Tapi, jika kau bisa membantuku dan tebakan mu benar—maka aku akan membantumu.” Tatapan Senna seolah menaruh harapan besar pada CID. Dan, tanpa kata ia menyetujui itu. Di bawanya Senna ke ruang penyidik. Ruangan semi gelap. Hanya ada 1 meja. Dan 2 kursi yang berhadapan—terpisah oleh meja. CID membeberkan beberapa foto korban pembunuhan di meja. Seorang gadis. Wanita paruh baya. Anak kecil. Dan seorang pria. “Mereka adalah korban pembunuhan berantai. Sekarang, katakan padaku— dengan cara apa si pembunuh membunuh mereka.” “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu saat sebelum mereka terbunuh. Dan, aku juga mencium aroma parfum mereka di sekitarku. Aku juga.. Melihat roh mereka.” “Roh? Tapi, katamu—kau bisa melihat mereka sebelum di bunuh? Lalu bagaimana bisa ada roh sementara mereka masih hidup?” “Entahlah. Mungkin itu memang sebuah petunjuk.” “Baiklah. Kalau kau mencium aroma parfum itu— bagaimana kalau kau mencium baju para korban?” “Tapi, tetap saja. Aku tidak bisa tahu, bagaimana cara mereka terbunuh jika mereka sudah mati.” “Tapi, kau bisa mencari pembunuhnya.” Ada 3 tersangka yang di tangkap karena kejadian ini. Pertama. Residivis yang sudah di cari kepolisian karena membunuh kucing liar. Kedua, mantan narapidana kasus pembunuhan Direktur perusahaan Tekstil. Ketiga, Pria biasa yang mencuri beras karena lapar. Ketiganya berada di ruang penyelidikan. Berbaris menyamping. Baju para korban yang telah di masukkan ke dalam plastik klip besar, di letakkan di atas meja. CID dan Senna juga berada dalam ruangan. Juga dua petugas dengan senjata lengkap. Berjaga-jaga. Kalau saja, salah satu di antara mereka menyerang tiba-tiba. Meski, kedua tangan telah di borgol—tetap saja mereka masih berbahaya. Sementara, Kepala Detektif, beberapa anggota tim CID juga petugas yang menangani kasus Senna—berada di ruangan sebelah. Di balik kaca satu arah yang terpasang di salah satu dinding ruang penyelidikan. Setelah menjelaskan apa saja kejahatan mereka, CID bertanya, “Jika kau bisa menebak, siapa yang menjadi pembunuh berantai?” Mata Senna mengedip takut. Tangannya terangkat perlahan. Menunjuk pria 1—residivis yang membunuh kucing liar. “Benar, kan? Aku juga berpikir dia pembunuhnya. Tapi, alibinya sangat kuat. Dia juga bisa membuktikan alibinya itu. Dan, memang tepat. Jadi, bukan dia. Jadi, ada dua kandidat. Si pembunuh Tekstil. Atau si pencuri beras.” Senna menatap sejenak Si pencuri beras. Tampak, ia ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar. CID mengenakan sarung tangan karet. Mengambil satu plastik dari meja. Menarik penutupnya ke samping. Menarik keluar gaun dengan motif bunga berbagai warna. Milik korban perempuan. “Saatnya kau menebak.” Senna mengendus gaun tersebut. Aroma bunga freesia tercium. Kemudian berganti kerudung merah. Milik wanita paruh baya. Kali ini bau citrus segar. Lalu, celana cokelat milik Sang Pria. Aroma seperti kayu segar dominan dengan buah-buahan tercium. Kemudian, Senna berjalan mendekati ketiga pria itu. Mulai mengendus singkat. Melangkah hingga ujung. Dan, kembali pada CID. “Bagaimana? Kau sudah tahu?” Senna mengangguk. Kembali tangannya terangkat. Dan, menunjuk. “Pria pencuri beras itu pembunuhnya,” kata Senna. “Benar, kan? Dugaan ku benar!” CID melakukan tinju kemenangan. “Tapi, aku hanya mencuri beras. Aku tidak mungkin membunuh mereka!” elak Si pencuri beras. “Kau, gugup bukan karena takut di tuduh sebagai pembunuh. Tapi, kau takut karena di hantui mereka yang kau bunuh. Benar, bukan?” kata Senna. Si pencuri beras diam. Di detik selanjutnya, ia berteriak. Menjambak rambutnya sendiri. Dua petugas segera memegangnya erat. “Mereka selalu berbisik kepadaku. Mereka ada di sini. Mereka juga akan membunuhku,” racau nya, di selingi tawa gila. “Ya. Mereka ada di belakangmu,” ucap Senna. Si pencuri beras melirik ke belakang. Lalu, menjerit seperti orang gila. CID memberi instruksi untuk membawanya keluar. “Terima kasih, Senna. Berkatmu, kami dapat menemukan pembunuh gadis, anak kecil, wanita tua—dan pria itu.” “Bunga Freesia. Citrus. Dan Kayu segar dominan buah-buahan.” “Huh?” “Hanya itu yang tercium dari Si pencuri beras tadi. Dia hanya membunuh gadis, wanita tua dan pria itu.” “Lalu, siapa yang membunuh anak kecil itu?” Senna tak segan kali ini—menunjuk Si pembunuh kucing liar. “Jaket kecil milik anak itu— tercium wewangian floral dari penyegar pakaian. Dan, itu sama dengan yang tercium darinya.” CID tertegun dengan mulut setengah terbuka. Sedangkan, Si pembunuh kucing menundukkan kepala. Terkekeh ngeri. “Sudah aku katakan untuk pergi. Tapi, anak kecil itu terus saja bicara, jika akan melaporkanku ke polisi jika aku sudah membunuh kucing-kucing itu. Ah.. Seharusnya tidak hanya ku gorok lehernya—tapi juga ku kuliti hidup-hidup.” CID mendengus. “Kau akan menerima bayaran yang setimpal untuk itu.” Setelah kejadian itu, Senna di bebaskan dari tuduhannya. Tentu, juga karena pelaku aslinya sudah di temukan oleh CID dan anggotanya. Keduanya pun bersahabat. Senna juga sering membantu CID dalam kasus-kasus sulit. *** “Mmm.. Maaf. Aku sudah menuduh mu.” “Hei, aku baru saja tiba di sini. Dan, memilihmu jadi temanku, tega sekali kau menuduhku sebagai pembunuh.” Senna diam. “Tapi, penciuman mu luar biasa sekali. Bagaimana kau bisa tahu aroma parfum gadis itu? Di sana tadi, aku hanya mencium bau amis dari darah.” “Karena aku tahu di akan mati.” “Wait.. Kau cenayang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN