“Tidak. Aku hanya mencium bau parfumnya saja. Lalu, aku tahu dia akan mati dan bagaimana dia akan terbunuh.”
Leo ternganga. “Kau serius?”
“Terserah kalau tidak percaya. Terima kasih tumpangannya.”
Senna turun dari mobil.
Senna tak butuh orang untuk percaya padanya. Dia hanya yakin dengan diri sendiri dan apa yang sudah di lihatnya. Setidaknya, kepercayaan dari Ibunya cukup membuatnya kuat. Pun, dia juga tak asal bicara lagi. Seperti pesan CID.
Keseharian Senna tidak seperti gadis 19 tahun pada umumnya. Mereka yang suka hangout dengan temannya. Belanja. Berlibur. Pergi berkencan. Tidak pernah di lakukan nya.
Satu kali. Hanya satu kali ia memiliki kekasih. Itu pun karena Sang pria memohon karena sangat menyukai Senna. Namun, selalu saja. Pria itu hanya manis di depan. Pahit di kemudian hari. Dia memergoki kekasihnya sedang bermesraan dengan gadis lain. Sakit hati tentu saja. Sekalipun, Senna tidak begitu mencintainya. Jelas, yang di namakan pengkhianatan selalu terasa pedih.
***
Pukul 07.00 pagi saat ini. Alarm Senna menggema di seluruh sudut kamar—yang tidak seperti kamar seorang perempuan. Semua serba minimalis. Korden berwarna abu yang tak pernah di sibak. Di sebelah korden ada meja komputer berwarna cokelat tortila. Berlaci 3 di bagian samping. Dan sisi lainnya di letakkan CPU. Ranjang yang cukup lebar untuk 1 orang. Dengan selimut yang lagi-lagi berwarna abu. Di samping ranjang, di letakkan sebuah nakas putih tulang. Dengan 2 laci. Lampu tidur yang masih menyala dan ponsel berada di atasnya. Beberapa langkah dari ranjang, agak ke sudut ada sebuah pintu yang di baliknya adalah kamar mandi. Tepat di sebelah pintu itu berdiri almari cokelat 2 pintu yang dapat dibuka 2 sisi.
Tangan Senna mengulur dari dalam selimut. Meraba-raba nakas dan mengambil ponsel. Membawanya masuk ke dalam selimut. Alarm berhenti berbunyi kemudian.
TOK! TOK!
Kini berganti ketukan ringan di pintunya terdengar. Selimutnya bergerak. Lalu, berhenti.
“Senna... Kau belum bangun? Bukankah kau ada kuliah pagi hari ini?”
Selimut kembali bergerak. Senna menyibakkan-nya. Kepala dan rambut yang menutupi wajah menyembul keluar.
“Senna.. Cepat bangun.”
“Ya, bu. Aku sudah bangun,” sahutnya dengan nada yang tidak tinggi juga tak rendah.
“Ibu tunggu di ruang makan.”
Senna terkadang sulit untuk di bangunkan. Saat beberapa perampok masuk ke rumahnya, pun ia masih bisa tidur dengan nyenyak. Meski, suara bising dari perampok yang memporak-porandakan rumahnya itu terdengar seperti angin tornado yang melemparkan benda-benda di sekitarnya. Beruntungnya, mereka tak pergi ke lantai atas—di mana kamar Senna berada. Juga, Grace—Ibu Senna pulang pagi setelah pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Begitu tahu, jika pintu depan terbuka, ia segera masuk dan mendapati seisi rumah sudah berantakan. Grace pun berteriak memanggil Senna dan berlari ke lantai atas. Dan, Senna masih di balik selimutnya. Tidur seperti bayi.
**
Rumah tingkat dua dengan banyak kamar—juga ruang tamu yang luas itu hanya di tinggali Grace dan Senna saja. Seluruhnya adalah warisan dari nenek Senna. Terlahir dengan sendok perak di mulut—tak membuatnya bahagia. Jika saja kondisinya normal seperti orang kebanyakan, mungkin dia bisa menikmati hidupnya. Well, memang di dunia ini tak ada yang sempurna. Semua bisa sempurna, jika kita mampu bersyukur.
Aroma wangi yang dapat menggelitik perut dan membuatnya bergemuruh menyeruak di seluruh lantai bawah. s**u hangat, air putih dan beberapa telor mata sapi sudah tersedia di meja makan. Kini Grace tengah menggoreng nasi. Di gulung nya rambut golden brown-nya. Riasan telah di pakainya sejak pagi. Selain berperan menjadi seorang Ibu— dia juga Direktur di Perusahaan kosmetik—yang juga warisan dari Nenek Senna.
Grace bukan tipe orang tua yang kolot. Ia justeru sangat senang jika Senna pulang membawa kekasihnya. Atau dia pulang larut malam karena nongkrong bersama teman. Setidaknya, hal itu akan membuat hidupnya terlihat seperti orang biasa.
Setelah mandi dan melakukan persiapan, Senna turun. Tas ransel hitam—jaket tudung biru danau. Celana denim yang pas dengan kaki. Serta topi hitam—ia pilih sebagai pakaian untuk pergi ke kampus.
“Kau pasti mencium aroma wangi makanan kesukaanmu, kan? Ibu membuat nasi goreng pasta udang.”
“Ibu meledekku?”
“Huh? Kenapa?”
Grace menengok sejenak pada Senna yang sudah duduk di depan meja makan. Hidung Grace mengerut. Mengucap kata Ah tanpa suara. Menyadari sesuatu.
“Maaf. Ibu sudah mulai tua. Jadi, terkadang lupa. Hehe.”
Senna diam. Menyeruput s**u. Mengambil sendok dan garpu dari tempatnya—di tengah meja. Di detik selanjutnya, Grace memberikan sepiring nasi goreng pada Senna. Lalu, mengambil miliknya. Dan, duduk di samping Senna.
“Bagaimana? Enak?”
“Aku ingin mengatakan ini enak. Tapi, semua sama rasanya. Hambar.”
Grace melupakan hal penting lagi. Jika Senna juga tak dapat lagi merasakan gurih, manis, pedas ataupun rasa yang lain— karena indera penciumannya tak berfungsi.
“Jangan khawatir. Kau, akan segera pulih. Ibu mendengar, di Inggris ada Dokter yang bisa mengoperasi mu. Dan, mengembalikan fungsi hidungmu.”
“Tak usah. Sudah berapa Dokter dari berbagai Negara yang kita kunjungi? Toh, hasilnya tetap sama.”
“Setidaknya, kita harus berusaha.”
“Paranormal. Herbal. Ratusan obat. Puluhan Dokter. Semua sudah kita jalani. Tapi, tetap sama hasilnya. Anggap saja, ini hukumanku. Karena tak dapat menolong Ayah ketika itu.”
“Itu bukan salahmu. Kau masih kecil. Wajar, kau tak bisa membantu. Cepat makan. Aku antar ke kampus.”
“Bukannya, Ibu ada rapat pagi hari ini? Tidak usah. Aku berangkat sendiri saja.”
“Ah, iya! Aduh, kenapa Ibu jadi pelupa seperti ini. Uang saku mu masih ada?”
Senna mengangguk. Memasukkan sendok penuh nasi ke mulutnya.
“Kalau begitu, selesaikan sarapan mu. Ibu pergi dulu.”
**
Usai mencuci piring dan peralatan masak yang kotor—ia berjalan ke pintu depan. Mengenakan sneaker putihnya. Lalu, mendorong keluar pintu. Tak lupa, ia menguncinya. Berjalan menjauh dari pintu. Mendekati pagar. Begitu keluar dari halaman rumahnya, langkahnya berhenti.
"Kau?"
“Leo. Namaku Leo.”
“Kenapa kau di sini?”
“Menjemputmu tentu saja.”
“Kenapa?”
“Mmm.. Karena aku temanmu?”
“Tidak perlu. Aku bisa naik bis.”
“Hei, ayolah. Aku sudah jauh-jauh datang kemari. Ikut saja denganku.”
Perdebatan kecil yang akhirnya di menangkan oleh Leo. Keduanya pergi bersama—menembus kerumunan Kota Jakarta. Setiap hari Jakarta selalu ramai, dipadati dengan besi yang bergerak menggunakan mesin dari kecil hingga ukuran terbesar. Apalagi di jam-jam ini. Mahasiswa serta para karyawan, selalu berlomba-lomba untuk memperebutkan jalan. Membuat lalu lintas di kota ini menjadi semakin macet. Seperti deretan rongsokan besi jika dilihat dari udara.
Di dalam mobil, Senna menyembunyikan wajahnya di tudung jaket. Menunduk.
"Kenapa kau selalu menyembunyikan wajahmu? Padahal kau cantik.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau Introvert?”
“Tidak.”
“Lalu, kenapa?”
“Apa kau tidak merasa terlalu banyak pertanyaan? Aku tidak begitu mengenalmu. Kenapa aku harus menjelaskan semua padamu?”
“Ah.. Maaf. Sepertinya, kau tidak suka padaku.”
“Aku tidak suka semua orang.”
“Wow. Kenapa? Ah, iya. Aku terlalu banyak pertanyaan. Maaf.”
“Aku tidak suka cara mereka memandangku. Mereka selalu seenaknya menilai orang.”
“Oke.. Jadi, kau benci semua orang hanya karena pandanganmu terhadap mereka sama?”
“Tapi, memang begitu kenyataannya.”
“Well, begini, Nona. Mungkin, sebagian orang memang seperti itu. Tapi, sebagian lagi? No. Rubah lah sudut pandang mu. Tidak semua orang seperti itu. Coba lihat mereka lebih dalam lagi.”
Untuk pertama kalinya, Senna mengangkat kepala. Memandang Leo. Cukup lama. Untuk pertama kalinya.