“Telah di temukan sesosok mayat wanita yang terbakar bersama mobilnya di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Dugaan sementara adalah Sang wanita korban pembunuhan. Selain terdapat bekas penganiayaan di wajah dan bagian tubuh lainnya—pada dahi korban terukir tanda segitiga yang sepertinya di tinggalkan oleh pelaku. Sampai sekarang, pihak kepolisian masih mendalami kasus dan mengumpulkan bukti untuk mencari pelakunya.”
Berita yang menjadi Eksklusif di pagi hari itu, membuat CID dan Tim-nya turun ke lapangan. Garis kuning melingkar di sekitar mobil yang sudah hangus terbakar itu. Seorang petugas masih mengambil gambar TKP juga mayat wanita yang belum teridentifikasi. Beberapa jurnalis telah berdesakan di luar garis kuning.
CID menggunakan masker dan sarung tangan karet—mendekati mayat tersebut. Hitam. Seluruh tubuhnya hitam terbakar. Mulutnya menganga. Seolah menahan sakit yang luar biasa.
“Tanda apa itu di dahinya?” tanya El—rekan kerja yang satu tim dengannya.
CID mengerutkan kening. Mendekatkan wajahnya pada dahi korban. Mengusap-usap sedikit dahinya.
“Itu tanda segitiga?”
CID meluruskan punggung, dengan raut wajah tegang.
“Kumpulkan semua data pembunuh berantai.”
**
Pukul 14.00. Kuliah Senna dan Clara usai. Keduanya berjalan beriringan. Di susul oleh Billy yang berlari kecil mengejar mereka. Dan, menyamakan langkah, ketika di samping Senna.
“Kalian mau pulang?” tanya Billy.
“Tidak. Kami mau pergi ke toko buku. Kau mau ikut?” ajak Clara.
“Mmm.. Boleh. Kebetulan, aku sedang mencari sebuah buku.”
“Aku boleh ikut?”
Leo mengejutkan Clara—tiba-tiba menyembul dari sampingnya.
“Semakin banyak orang. Semakin seru!” kata Clara.
“Kenapa tidak sekalian kau ajak orang sekampus.” Senna menutup kepalanya dengan tudung jaket. Dan, berjalan cepat. Meninggalkan mereka.
Toko buku terlengkap ada di seberang kampus mereka. Senna dan Clara seringkali mengunjungi tempat itu. Di samping, menjual dan menyewakan buku— toko itu juga memiliki kafe yang berada tepat di sebelahnya. Cara terbaik untuk membunuh waktu di saat senja menjelang.
Setelah lampu berubah hijau, mereka menyeberang. Belok ke kiri, begitu sampai di ujung yang lain. Berjalan sekitar 10 meter dari tempat penyeberangan. Mendorong pintu kaca, begitu sampai di depan toko.
Di sambut oleh rak-rak memanjang ke samping juga ke atas—yang berdiri dengan jarak 2 langkah. Adapula rak-rak kecil di urutan paling depan. Tempat buku-buku best seller di pajang. Novel. Majalah. Pelajaran. Kitab. Dan, masih banyak kategori yang lain, di tata berkelompok sesuai jenis buku masing-masing. Sehingga, memudahkan para pengunjung untuk tidak membuang waktu mereka, hanya dengan mencari buku yang di inginkan. Kasir ada di sebelah kanan. Rak yang di sandarkan pada dinding juga tak kalah besarnya. Toko ini memang terlihat kecil dari luar. Tapi, di dalam sangat luas.
Mereka kemudian berpencar. Billy ke rak buku pelajaran. Clara pergi ke rak buku dongeng anak-anak. Membelikan keponakannya yang akan berulang tahun.
Senna menjelajah di rak Novel. Matanya meneliti satu persatu novel karya Alan J. Penulis favoritnya. Happiness—judul novel yang di ambilnya, bersamaan dengan Leo yang juga akan mengambil buku tersebut.
“Oh.. Kau juga suka novel ini?” tanya Leo.
Senna mengangguk. “Kau juga mau membelinya?”
“Yap. Sebenarnya, aku pernah memilikinya dulu. Tapi, saat aku pindah rumah— novelnya hilang.”
“Aku juga punya dulu. Milik temanku. Tapi, sudah aku kembalikan. Akhir-akhir ini, aku ingin membacanya lagi.”
Leo mendesis. Mencoba mengingat sesuatu.
“Ada satu kutipan kalimat yang aku suka dari novel itu,” kata Leo.
“Kebahagiaan milik semua orang. Tidak peduli orang itu jelek, tampan, kurus, gemuk, miskin, ataupun kaya. Jika mereka dapat menikmati apa yang di berikan oleh Tuhan— kebahagiaan akan menjadi milik mereka,” sahut Senna.
“That’s Right! Setiap membaca itu, rasanya aku mendapatkan kekuatan untuk hidupku.”
Senna mengangguk. “Aku juga.”
“Ngomong-ngomong, siapa teman yang meminjamkan mu buku itu? Pasti seseorang yang spesial?” goda Leo.
“Hanya teman.”
“Teman baik?”
“Sangat. Berteman dengannya, aku menjadi tahu— jika masih ada seseorang yang berhati tulus.”
“Kau juga. Hatimu sangat tulus,” puji Leo.
“Jangan terburu-buru menilai ku. Kita baru saja kenal.”
“Aku tidak pernah salah menilai seseorang. Kau memang sangat baik. Pasti beruntung, pria yang menjadi kekasihmu sekarang.”
“Ck. Ck. Kau salah, Leo,” timpal Clara, datang dari arah belakang Leo.
“Apanya?”
“Senna.. Mmm, dia tak punya kekasih.”
“Benarkah?”
“Yaps. Entah, apa yang di pikirkan nya.”
“Jadi, kau tak pernah memiliki kekasih?” tanya Leo pada Senna.
Di jawab oleh Clara. Seolah dia adalah juru bicara Senna.
“Tentu saja, punya. Tapi, dulu. Tapi, sayangnya pria itu b******k. Tega-teganya dia menduakan Senna.”
“Oh.. Pria yang buruk. Satu kampus dengan kita?”
“Tara Putra. Mahasiswa senior kita. Sepertinya, ia masih berpacaran dengan gadis perebut kekasih orang itu!”
“Wah, aku tak tahu— jika toko buku itu tempat untuk bergosip.” skakmat dari Billy, yang berjalan pelan dari samping Clara.
Senna memang bisa di katakan Introvert. Pun, tidak berarti ia tak bisa jatuh cinta. Meski, bukan cinta yang mendalam— setidaknya, ia menyukai seseorang. Tara Putra. Pemuda manis yang menjadi seniornya di SMA. Tara sangat menyukai Senna karena kepolosannya. Sementara, Senna menyukai Tara karena ia merasakan sosok hangat Sang Ayah ada pada diri Tara. Keduanya menjalin hubungan untuk waktu yang lama. Bahkan, saat Tara lulus SMA lebih dulu, hubungan mereka masih berjalan dengan baik. Hingga, Senna juga memilih kampus yang sama dengan Sang kekasih. Tanpa terpikirkan olehnya, jika Tara telah mengkhianati kepercayaannya.
Cuaca yang panas siang itu. Suhunya mencapai 34 derajat. Senna baru saja menyelesaikan kuliahnya. Menuruni anak tangga. Dan, berjalan melewati ruang kosong yang berada tepat di sebelah tangga. Langkahnya terhenti. Ketika melihat siluet dua orang di ruangan itu. Rasa penasaran menghampirinya. Ia berjalan mundur. Mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Matanya berkerut. Sekejap melebar. Melihat Tara tengah b******u mesra dengan seorang gadis.
Senna bimbang sesaat. Matanya berkedip gugup. Lebih baik pergi, pikirnya. Kaki kanannya akan melangkah, tapi di urungkan. Ia membuka pintu ruangan dengan kasar. Membuat Tara dan gadis itu berjengit kaget.
“Senna!”
“Kau.. Benar-benar sampah!”
“Senna, dengarkan aku-“
“Jangan pernah lagi mengejar ku. Jika tidak, darahmu akan mengalir di tanganku.”
Senna keluar dari ruangan. Berjalan cepat dengan langkah kesal. Duduk di bangku lapangan basket kampus. Helaan napas panjang terdengar. Menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan kedua tangan. Membenamkan kepala di antaranya.
“Cuacanya sedang panas. Kenapa kau di sini?” tanya seorang pemuda gemuk, berkacamata Harry Potter.
Senna mendongak perlahan. Pemuda tersebut tersenyum. Memberikan sekaleng soda dingin untuk Senna. Di terima oleh Senna.
“Aku boleh duduk?”
Senna mengangguk. Menurunkan kedua kakinya. Ronald— nama pemuda itu duduk dan meletakkan novel yang di bawanya di pangkuan.
“Terima kasih,” kata Senna.
“Aku tidak tahu apa masalahmu. Tapi, Senna.. Jangan membuat dirimu tersiksa. Sekali-kali kau harus tersenyum.”
Senna mendengus.
“Itu kata-katamu, kan? Setiap kali, kau menolongku ketika di rundung oleh mereka. Aku.. Selalu mengingat kata-kata itu. Menjadi penguat ku. Meski, sebenarnya aku tak sanggup menjalani semuanya. Jika saja tak ada kau, mungkin aku.. Yeah, kau tahu bukan?”
Senna mendesah singkat. “Jangan pernah kalah dari mereka. Kau harus tetap bertahan.”
“Tentu saja. Selama ada kau, aku akan baik-baik saja.”
“Buku apa itu?” Senna menunjuk novel Ronald dengan kepalanya.
“Happiness. Karya Alan J. Bercerita tentang kehidupan beberapa orang yang mencari kebahagiaan dalam hidupnya.”
“Lalu.. Pada akhirnya mereka menemukan bahagianya?”
“Tentu. Kebahagiaan milik semua orang, tidak peduli orang itu jelek, tampan, kurus, gemuk, miskin, ataupun kaya. Jika mereka dapat menikmati apa yang diberikan oleh Tuhan, kebahagiaan akan menjadi milik mereka. Salah satu kutipan kalimat yang aku suka dari novel ini.”
“Kau juga harus seperti itu.”
“Kita,” kata Ronald.
“Huh?”
“Kita harus sama-sama bahagia.”
Senna tersenyum kecil.
“Ini untukmu.” Ronald memberikan bukunya. “Bacalah. Setelah selesai kembalikan padaku.”
**
“Sepertinya, tinggal 1 bukunya,” kata Senna.
“Benarkah? Sebentar, aku tanya dulu.”
Leo berjalan ke arah kasir—yang mana penjaganya adalah pemilik toko buku. Menunggu seorang pria yang membayar bukunya. Setelah pria itu pergi, ia segera bertanya,
“Permisi-“
Leo tak melanjutkan kata-katanya. Ia justeru terbelalak. Mundur dengan cepat. Menutup hidungnya. Pemilik toko tiba-tiba kejang. Tubuhnya jatuh tertelungkup di atas meja.
“JANGAN ADA YANG MENDEKAT. CEPAT HUBUNGI AMBULAN DAN POLISI!”
**
Di ruangan gelap dan kotor, seseorang berpakaian hitam—duduk di atas meja. Kemudian, ia mengambil laptop di sebelahnya. Membuka internet. Masuk ke akun sosial medianya. Dalam kolom pencarian, di ketiknya nama Tara Putra. Foto profil Tara bersama kekasihnya terpampang. Setelah itu, di letakkan nya laptop di atas meja. Mengambil pistol di sebelah laptop.
Ia berjalan mundur. Menarik pelatuk. Dan,
DOR!
Di lepaskan nya peluru pada layar laptop. Lalu, bersiul ngeri.