Pembunuhan Sepasang Kekasih

2559 Kata
“JANGAN ADA YANG MENDEKAT. CEPAT HUBUNGI AMBULAN DAN POLISI!” pekik Leo. “Tutup hidung kalian!” “Ada apa?” tanya Billy. “Nanti saja, aku jelaskan. Cepat tutup hidungmu. Pastikan, semuanya juga menutup hidung.” Billy menuruti perintah Leo. Ia juga segera menghubungi polisi. “Halo.. Seseorang mati secara tiba-tiba! Di toko buku seberang kampus W. Cepat kemari!” Total ada 7 orang yang ada di dalam toko. Termasuk Senna dan kawan-kawan. “Astaga! Paman itu.. Benar-benar mati?” tanya Clara, dengan nada tak percaya. “Sepertinya, iya,” jawab Leo. “Tetap tutup hidung kalian. Sampai, ada perintah dariku. Aku, akan menunggu polisi di luar.” “Apa kita tak bisa pergi saja?” tanya Clara. “Kita akan jadi tersangka. Kalau tiba-tiba pergi dari sini,” jawab Senna. Leo berjalan keluar. Seperti katanya, ia menunggu polisi datang. Sekitar 20 menit, untuk polisi dan ambulan datang. Leo segera menghadang mereka semua. “Aku harap kalian menggunakan masker dan sarung tangan saat mendekati mayatnya,” kata Leo. “Kenapa?” tanya salah satu petugas ambulan. “Aku akan menjelaskannya kepada petugas yang memimpin investigasi ini.” “Hei, aku orangnya,” kata CID. “Aku rasa.. Paman pemilik toko menghirup racun sianida.” CID mengernyit. “Bagaimana kau bisa tahu?” “Dari baunya. Dia seperti bau almond yang pahit. Atau lebih gampangnya seperti bau sepatu yang apek.” “Kau bisa tahu dari baunya?” “Pamanku seorang profesor peneliti semacam itu. Aku sering membaca buku catatannya.” “Baiklah. Terima kasih atas bantuannya. Kau, jangan pergi kemana-mana dulu. Aku masih membutuhkan keterangan mu sebagai saksi.” Leo mengangguk. “Kau kesini sendiri?” “Tidak. Aku bersama teman-temanku.” ** Garis polisi sudah terpasang. Semua yang berada di dalam toko buku, tak boleh keluar. Mereka bisa menjadi saksi. Pun, bisa menjadi tersangka. Mayat sang pemilik toko buku, masih tetap berada di tempatnya. Clara menatap ngeri. Sisanya biasa saja. Beberapa petugas, menjaga di depan toko. CID dan El segera masuk, setelah menggunakan masker dan sarung tangan. Mereka segera mendekati mayat yang wajahnya sudah memucat. Dengan bibir membiru. “Benar yang di katakan pemuda tadi. Dia mati karena racun,” kata CID. “Iya. Bibirnya membiru.” “El.. Bawa orang-orang yang ada dalam toko ini keluar. Dan, mintai keterangan dari masing-masing mereka.” “Oke.” Setelahnya, El menjelaskan kepada mereka dan terkejut melihat Senna. “Hei, Senna!” pekik El. CID menoleh. “Kenapa kau selalu terlibat hal semacam ini?” lanjut El. “Mungkin, memang sudah takdirku.” “Kita lanjutkan bicaranya di luar. Aku butuh keterangan mu.” Senna mengangguk. “CID! Ada Senna di sini.” “Ya. Aku sudah mendengar mu.” Butuh waktu yang lama, untuk menanyakan beberapa hal kepada para saksi mata. Setelah, tidak ada kecurigaan—el memperbolehkan mereka pergi. Dengan meninggalkan nomor ponsel masing-masing. Senna, Billy, dan Clara juga telah selesai. Kini giliran Leo. “Apa kau melihat pembunuh itu?” “Aku tidak melihat wajahnya. Hanya tahu, jika itu adalah seorang pria. Berjaket hitam. Tingginya... Sekitar 185 senti.” “Kau yang pertama kali, melihat mayat itu, kan?” “Iya. Aku ingin menanyakan stok buku. Namun, kipas angin di belakang paman itu membuatku mencium aroma sianida tersebut. Aku langsung berjalan mundur. Dan, menutup hidungku.” Begitu kata sianida di sebut, Clara dan Billy terkejut. Senna juga. Namun, ekspresinya tidak sama dengan temannya. “Itu refleks yang bagus, kawan,” kata El. “Kau, sudah selesai?” tanya CID, yang baru saja bergabung. “Yap. Sudah semua.” “Senna.. Kau tak mendapat penglihatan mu? Kau, tidak tahu kenapa paman itu mati?” “Tahu. Dari awal aku masuk ke dalam. Sebenarnya, aku sudah melihatnya. Sebelum datang kemari. Aku sudah melihat bayangan kematian paman itu.” Billy dan Clara menatap Senna . “Senna.. Apa maksudmu?” tanya Billy. Senna memilih tak menjawab. “Kau, benar-benar bisa mengetahui hal itu?” tanya Leo. Seolah tak percaya. “Senna.. Apa kau bisa mencium baunya kali ini?” tanya El. “Tu-tunggu. Maksud, kalian, Senna harus mencium aroma dari mayat itu?” timpal Leo. “Sudah biasa. Aku memang, sering membantu paman-paman detektif ini!” “NO! Kau, gila Senna?! Yah, memang biasanya kau membantu mereka! Tapi, kali ini kasusnya berbeda! Masih ada sisa-sisa racun yang menempel di tubuh mayat itu. Kau, bisa saja terluka.” “Benar kata temanmu. Kau, tidak perlu membantu kami untuk yang satu ini. Kau, boleh pulang Senna,” kata CID. “Maafkan aku, paman,” kata Senna. “Tidak perlu begitu, Senna. Keamanan mu yang paling penting.” Senna dan yang lain segera meninggalkan tempat kejadian. Menyeberang jalan. Menjauh dari toko buku. Begitu, sampai di seberang Billy mempercepat langkahnya. Menghadang langkah Senna dan yang lain. “Tak ada yang ingin menjelaskannya padaku?” “Oh, ayolah, Billy. Kita semua lelah. Besok saja ceritanya,” sahut Clara. “Senna.. Kau tak ingin menjelaskannya padaku?” “Kalau aku jelaskan.. Apa, kau akan percaya?” “Para detektif yang selalu berpikiran rasional saja percaya padamu. Kenapa aku tidak?” “Aku bisa mengetahui orang itu mati, hanya dengan mencium aroma parfumnya.” Mata Billy membeku. “Apa yang kau katakan?” “Sebelum mereka mati, aku bisa melihat bayangan kematiannya, berdiri di belakang mereka. Wajah pucat dan cara mereka terbunuh akan terlihat jelas di mataku.” “Senna tunggu.. Jadi, kau bisa melihat wajah pembunuhnya?” timpal Leo. “Seperti katamu tadi, aku tak melihatnya. Aku hanya tahu dia seorang pria. Ciri-cirinya, sama seperti yang kau katakan.” “Itu tidak mungkin,” kata Billy. Senna menyeringai. “Lihat.. Kau tidak percaya padaku. Membuang waktuku saja.” Senna berjalan pergi, setelah itu. ** Pukul 18.00. Senna baru saja tiba di rumah. Grace segera mendekatinya, begitu ia membuka pintu. “Senna! Dari mana saja kau?! Kenapa ponselmu tak bisa di hubungi?!” Senna merogoh kantung jaketnya. Menekan layar ponsel. “Ah.. Maaf. Baterai ku habis.” “Oh, Tuhan! Kau, benar-benar membuat ibu khawatir. Kau, tahu pemilik toko buku di seberang kampusmu mati?” Senna mengangguk. “Kau, melihat bayangan kematian orang itu?” “Ya. Aku juga berada di sana saat dia meregang nyawa.” Grace bernapas gugup. “Senna.. Bisakah kau tidak terlibat dengan hal-hal semacam itu?” “Aku juga ingin tak terlibat, bu. Tapi, mereka sendiri yang mendekatiku.” “Mulai sekarang, kalau sepulang kampus mau pergi kemana pun—harus hubungi ibu. Paham?!” “Iya.” ** Satu Minggu Kemudian Seorang pemuda yang berwajah manis, berjalan menyusuri kampus, siang ini. Di belakangnya, terlihat seorang gadis mengikuti dari belakang dengan pandangan menyelidik. Selama sepersekian menit, ia hanya terus berjalan. Hingga sepasang sepatu birunya, berhenti tepat di ruang kosong. Mengedarkan pandangan sejenak. Kemudian masuk ke dalam. Duduk di atas meja, dengan melipat tangan di d**a. Sementara gadis yang sejak tadi mengikutinya, memasang raut wajah kesal dan segera masuk. "Apa yang kau lakukan disini?!" tanya gadis itu dengan nada membentak. Yang akhirnya, membuat pemuda itu bergelagat bingung dan segera berdiri. "S-sayang.. i-itu-" "Kau akan bertemu dengannya? Kenapa? Kau ingin kembali padanya?" Kecemburuan serta kemarahan tak dapat ia sembunyikan lagi. "Bukan seperti itu, aku—" Kalimatnya tiba-tiba menggantung di udara. Bukan tak ada alasan pemuda tiba-tiba terdiam, ia dikejutkan dengan seseorang berpakaian hitam yang muncul dari sudut ruangan. Seseorang berbalut serba hitam itu mendekati mereka, dengan memainkan pisau lipat yang dipegangnya. Berjalan mendekati pintu dan menguncinya. Entah dari mana ia mendapatkan kunci yang seharusnya hanya dimiliki oleh petugas keamanan kampus, kini berada di tangannya. Tentu saja hal itu membuat pemuda tersebut berjalan mundur, seraya membelalakkan matanya. "Si-si-siapa kau?" tanya pemuda itu. Tanpa basa-basi lagi, seseorang berpakaian hitam menyerangnya. Membuat gadis itu menjerit ketakutan. Dengan tangkas, pemuda itu menangkis pukulannya. Seseorang berpakaian hitam pun melangkah mundur. Untuk sepersekian detik ia memindai tubuh pemuda tersebut, sebelum akhirnya kembali menyerang. Dia memukul pemuda itu berulang kali, hingga jatuh terjerembap ke lantai. Pukulan bertubi-tubi di layangkan pada pemuda itu. Memar memenuhi wajah pemuda itu. Ia mencoba bangkit di antara sisa-sisa tenaga yang di milikinya. Meskipun, kepalanya terasa pusing, akibat pukulan sebelumnya. Saat pemuda itu masih sibuk mengumpulkan tenaga, si penyerang segera mengayunkan pisau. Seakan tak ingin melewatkan kesempatan itu. Tapi, gagal! Pemuda itu menendangnya dengan keras. Sehingga membuat si penyerang bergerak mundur dengan cepat. Menabrak dinding di belakangnya. Pemuda itu segera menghampiri kekasihnya. "Kau, baik-baik saja?" Hanya dijawab dengan anggukan oleh gadis itu. Saking gugupnya. Memar biru mulai memenuhi wajah pemuda tersebut. Juga pelipis yang mengalirkan darah segar. "Ayo pergi." Saat mereka berjalan beberapa langkah, si penyerang kembali melakukan serangan. Melemparkan bangku tepat pada punggung pemuda itu. Dan, membuatnya jatuh tertelungkup. Tentu, hal itu membuat teriakan gadis tersebut kembali menggema. Berlari mendekati pintu untuk melarikan diri. Usaha yang sia-sia tentunya, karena kunci berada di genggaman si penyerang. Ia pun, berlari ke sudut ruangan. Mengeluarkan air mata ketakutan. Sedangkan pemuda itu mengerang kesakitan, sudah tak mampu melawan. Bahkan untuk berdiri pun, ia tak memiliki tenaga. Si penyerang mendekatinya, membungkukkan badan, membalik tubuh pemuda itu. Mendengus kemudian. Dan, segera menancapkan pisau ke dadanya. Pemuda itu mengerang tanpa suara. Wajahnya memerah. Matanya berkerut. Menahan sakit yang teramat luar biasa. Darah tak hanya keluar dari dadanya, tapi, juga mengalir dari mulutnya. Seakan belum puas dengan apa yang dilakukannya, si penyerang mencabut pisau dan menikamnya lagi. Dan, dilakukan berulang-ulang. Membuat gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Setelah puas membantai pemuda itu, Si penyerang mendekati gadis itu. Menyuruhnya diam, dengan gerakan jari telunjuk yang di tempelkan pada mulut. Derap langkah si penyerang, cukup menambah atmosfir kengerian di ruangan itu. Punggung gadis itu semakin menegang, ketika jarak si penyerang semakin dekat. Berusaha untuk melarikan diri dengan merayap ke samping di antara langkah kegugupan. "Tidak.. jangan bunuh aku. Lepaskan aku!" Dia berlari, setelah mengatakan itu. Tapi, langkah si penyerang lebih cepat, ia menarik rambut gadis itu hingga tubuhnya tertarik ke belakang. Meremas kerah baju bagian belakang gadis itu, mencengkeram rambutnya sekencang mungkin dan membenturkan kepala gadis itu di atas meja. Berulang. Hingga wajahnya bertopeng darah. Setelah memastikan, gadis itu tak sadarkan diri, ia menyeret tubuh korbannya. Membawanya lebih dekat ke tubuh pemuda tersebut. Sama halnya dengan yang dilakukan pada pemuda itu—ia menikam d**a gadis yang napasnya sudah tersengal. Dengan pisau kecil, ia mulai membuat tanda segitiga dan di dalam segitiga terdapat tanda 'S |' Tepat pada dahi korban sambil bersiul riang. ** Beberapa Menit Sebelum Sepasang Kekasih Mati Senna merebahkan kepalanya di atas meja. Mengambil kesempatan emas saat ruang kelas sedang sepi, untuk mengistirahatkan matanya. Sementara, Clara sedang pergi ke kantin untuk membeli minuman. Kedua netra cokelat tegasnya, tidak bisa berkompromi. Bukan karena begadang tak jelas, hingga yang ia lakukan hanya menguap sejak tadi. Leo tiba-tiba saja bersikap sok akrab dengannya. Menelepon nya sepanjang malam. Kesempatannya untuk tidur pun hanya beberapa jam saja. Aroma mint segar tercium kemudian. Senna menghela napas panjang. Ia tahu betul aroma ini milik siapa. Membuka mata. Menegakkan punggungnya. Menatap ke arah depan. Di mana seorang pria sedang berdiri. “Kau.. Benar-benar sudah mati?” Sosok pria itu hanya diam dengan wajah pucat nya. Sebilah pisau menancap di dadanya. Senna menggeser bola matanya ke samping pria itu. “Kekasihmu juga?” Gadis yang juga berwajah pucat, namun darah memenuhi wajahnya, menatap Senna. Sebilah pisau juga tertancap di dadanya. “Entahlah.. Apa yang harus aku katakan. Aku tidak bisa membantumu. Ini sudah takdirmu dan kekasihmu.” Sejak kemarin, mendadak sosok bayangan kematian Tara—mantan kekasih yang mengkhianatinya tiba-tiba muncul begitu saja. Namun, kekasih Tara baru terlihat hari ini. Di menit selanjutnya, Clara berlari dengan wajah pucat dan cemas, masuk ke dalam kelas dan berlari ke arah Senna. "Senna! Senna! Ada berita besar!” katanya, dengan napas tersengal. “Tara mati?” Clara tertegun. “Kau, juga melihat bayangan kematiannya?” Senna menunjuk ke arah belakang Clara. Membuat sahabatnya menggelak ludah takut. “Kau, juga melihat bayangan kekasihnya?” Senna mengangguk. Clara mendesah singkat. “Dan, kau diam saja? Setelah tahu, jika ia akan mati?” “Aku baru tahu hari ini.” “Bayangan kematian Tara baru muncul hari ini?” “Tidak. Kekasihnya.” “Lalu, sejak kapan kau melihat bayangan kematian Tara?” “Kemarin.” “Dan, kau tidak mencegahnya? Senna.. Kau, bisa saja menyelamatkannya.” “Sudah aku bilang berkali-kali, kan? Itu-“ “Semua hanya takdir? Senna.. Aku tahu, mungkin bayangan kematian orang lain bisa kau abaikan. Tapi, ini Tara!” “Dia juga orang lain! Bukan begitu? Dia sudah menyakiti hatiku! Dia pantas mendapatkan itu!” “Senna!” “Apa?! Kau merasa kasihan padanya? Tapi, kau tidak kasihan padaku? Huh?!” Clara diam sesaat. “Bukan begitu maksudku.” “Di mana mayatnya?” "Dia ditemukan di ruang kosong. Sepertinya.. Dia menjadi korban dari pembunuh kejam itu.” "Di dahinya.. Juga ada tanda itu?" “Ya.” “Di ruang kosong yang mana?” “Di tempat kau memergokinya dulu.” Senna segera pergi ke ruang kosong, sesaat setelah ia mendapat jawaban pasti—tentang di mana mayat Tara ditemukan. Ia pun mengabaikan ketika Clara memanggilnya. Sementara di depan ruang kosong, sejak tadi sudah dikerumuni oleh para mahasiswa. Tak ada yang berani masuk, mereka hanya berkerumun di sekitar pintu. Sedangkan, Senna baru tiba di lokasi—segera menyelusup di antara mahasiswa itu. Dan, masuk ke dalam. Bau amis menyeruak hebat. Membuat hidung Senna berkerut. Jelas terlihat dua mayat yang tergeletak di lantai dengan posisi saling berpelukan. Hatinya berdebar kencang serta berkeringat dingin. Sekalipun dia tahu jika Tara akan mati— tapi, dia tak percaya jika Tara harus menjadi korban pembunuh berantai di kampusnya. Meski, terlihat masa bodoh. Sebenarnya, rasa penasaran juga ada dalam diri Senna. "Apa motif pembunuhan ini? Kenapa setiap korban selalu terbunuh dengan cara yang sama? Lalu— tanda yang ia tinggalkan.. Apa artinya?" katanya dalam hati. Pikiran dan hati Senna berkecamuk. Keingintahuan mulai merasukinya lebih dalam. Dia ingin mencari tahu, pesan apa yang ingin disampaikan oleh si pembunuh, sembari melihat mayat Tara, nyaris tak berkedip. Meskipun Senna membencinya, tapi ia tidak sampai hati— melihat Tara mati dengan cara ini. Tubuhnya penuh memar, dan disekitarnya terlihat genangan darah. Merasa tak sanggup untuk melihat lebih lama, ia pun melangkah mundur dan meninggalkan ruangan. Saat di luar, para mahasiswa menatapnya sembari berbisik satu sama lain. Bukan tatapan biasa. Melainkan tatapan curiga. "Kenapa mereka menatapku seperti itu?" gumamnya. Sesampainya di kelas, Senna mendekati Clara yang tengah berjalan ke sana kemari. Dengan wajah penuh kecemasan. "Apa yang kau lakukan?" "Senna! Kau baik-baik saja? Hah? Tidak ada yang terluka?" tanyanya cemas, memegang dagu Senna, mengarahkannya kearah kiri lalu ke kanan. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa tatapan mereka seolah mencurigai ku?" "Aku tahu itu sebenarnya—Aku ingin melarang kau untuk pergi ke sana, tapi kau tak mengabaikan panggilanku." "Kau tahu mengapa mereka bersikap seperti itu?" "Saat di sana, aku mendengar salah satu mahasiswa mengatakan, jika sebelum dibunuh, Tara mendapatkan pesan darimu. Kemudian, Cecilia mengetahui itu. Akhirnya, ia mengikuti Tara dan ikut dibunuh." "Ah.. karena itu aku baru melihat bayangan kematiannya hari ini." "Huh?" "Pembunuh itu.. Dia, hanya mengincar Tara. Kebetulan ada Cecilia di sana. Dan, tak mungkin ia membiarkan saksi mata hidup begitu saja." "Bagaimana kau bisa tahu?" "Aku juga baru menyadarinya. Karena, bayangan kematian Cecilia baru saja terlihat. Yang artinya— hari ini sebenarnya bukanlah waktu untuknya mati." "Dia mati, karena Tara." "Kau bilang apa tadi? Tara mendapatkan pesan dariku? Kau yakin itu pesan dariku? Aku, tidak pernah mengirim pesan kepadanya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN