Sore itu, Rayhan memacu mobilnya menuju AR Bakery. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menemui Aisha. Sudah cukup satu tahun ini dia menanggung kerinduan pada wanita yang dicintainya itu. Rayhan selama ini menahan untuk tidak menemui Aisha karena menghormati permintaan Aisha sendiri. Rayhan berpikir, dia hanya akan menambah wanita itu terluka jika menampakkan diri di hadapannya. Tapi akhir-akhir ini dia merasa tidak lagi bisa menahan rindu yang menggelegak di seluruh organ tubuhnya.
Saat melangkahkan kaki ke dalam AR Bakery, Rayhan termenung sejenak. Dia takjub melihat suasana toko ini sangat berbeda sekarang. Rayhan tersenyum tipis, dia senang usaha milik mantan istrinya ini bisa berkembang dengan baik.
“Aisha ada, Mba?” tanya Rayhan pada Bunga.
“Maaf, Mba Aisha nya lagi keluar sama Radit. Bapak ada janji sebelumnya? Atau mau order kue? Bisa langsung sama saya, Pak.” jawab Bunga ramah. Bunga memang baru beberapa bulan ini bekerja di AR Bakery jadi dia tidak mengenali Rayhan.
Dari sekian kalimat yang keluar dari mulut Bunga, hanya satu kata yang terekam di otak Rayhan yang seketika membeku.
“Radit? Siapa dia?” suara Rayhan mendadak serak.
“Radit, anaknya Mba Aisha, Pak. Mungkin lagi jalan-jalan dekat sini. Kalau mau menunggu, bapak bisa duduk dulu, silahkan.”
“ANAK?” Rayhan terkejut dengan apa yang di dengarnya barusan.
Ting…
Suara lonceng pintu yang selalu berbunyi otomatis ketika ada orang masuk, mengalihkan pandangan Rayhan dan Bunga.
Aisha yang belum menyadari kehadiran Rayhan, masih dengan santainya menggandeng Radit yang berjalan dengan sempoyongan karena belum seimbang membawa tubuhnya sendiri.
“Mmaa… Mmaa...” kedua tangan Radit terjulur minta digendong.
“Capek ya, Sayang? Gak pa pa.. Olahraga, biar berkurang ndut nya. Hiihiii… ” sahut Aisha sambil memainkan perut Radit dengan telunjuknya. Radit tertawa karena geli. Aisha lalu menggendong Radit, dan berjalan menuju tangga, ingin ke kamarnya di atas.
Namun langkahnya terhenti seketika saat melihat Rayhan menatap ke arahnya.Rayhan melangkahkan kakinya dengan cepat mendekat, namun entah kenapa seperti yang terjadi sebelumnya, Aisha melangkah mundur. Kepalanya menggeleng pelahan, mencoba memahami apakah ini mimpi atau nyata. Kakinya terasa lemas, keringat dingin keluar dari tubuhnya.
“Nga, tolong bawa Radit ke atas, ,minta tolong Mba Rya mandiin Radit.” seru Aisha pada Bunga.
“Radit sama Mba Rya dulu ya, tunggu Mama di atas.” ucap Aisha pada Radit sambil mengecup pipi putranya sebelum Bunga mengambil alih Radit dari pelukannya.
Aisha dan Rayhan masih berdiri berhadapan, hening. Rayhan masih belum bisa mencerna dengan kenyataan di hadapannya. Bagaimana bisa Aisha memiliki seorang anak yang usianya dia perkirakan sekitar satu tahun. Sementara saat bercerai dulu, Radit tau Aisha tidak dalam kondisi hamil. Apakah Aisha sudah menikah? Bagaimana bisa dia menikah dan punya anak sebesar itu dalam waktu satu tahun? Semua tidak masuk akal bagi Rayhan, otaknya mendadak buntu memikirkan berbagai kemungkinan yang hinggap di kepalanya.
“Sha…” panggil Rayhan pada Aisha yang sedari tadi hanya menunduk.
Aisha lalu mendongakkan kepalanya, menatap Rayhan. Kepala Aisha memang hanya sebatas bahu Rayhan, jadi dia harus mengdongak jika berbicara dengan Rayhan. Begitu juga sebaliknya, Rayhan harus menunduk jika menatap Aisha.
“Sha, aku…” belum selesai Rayhan berbicara Aisha limbung. Pandangannya berkunang-kunang. Aisha memejamkan matanya karena pusing dan sesaat kemudian tubuhnya terkulai jatuh ke belakang. Namun seseorang di belakangnya dengan sigap menangkap tubuh mungilnya sehingga Aisha tidak jatuh terhempas ke lantai.
“MBA AISHA…” pekik lelaki di belakang Aisha terkejut karena tiba-tiba Aisha pingsan. Lelaki itu dengan cepat membaringkan Aisha di sofa terdekat. Bunga terkesiap melihat bos nya pingsan. Dia lalu memanggil Yuli yang kemudian terkejut melihat Rayhan ada di sana masih berdiri dengan pandangan bingung.
“Mba… Mba Aisha…” Yuli menepuk pipi Aisha dengan lembut sambil mendekatkan minyak aromatherapy ke hidung Aisha.
Aisha membuka matanya perlahan, tangannya lalu memijit keningnya. Tiga orang di hadapannya menatap dengan khawatir.
“Mba nggak pa-pa? Perlu ku antar ke dokter?” tanya Yusuf, yang membuat Rayhan mendelik galak ke arahnya.
Yuli yang melihat tatapan Rayhan lalu bersuara, “Nggak pa-pa, Mba Aisha kayaknya cuma perlu istrirahat aja. Ayo mba, aku bantu ke kamar.”
“Kamu mau ambil pesanan ya, Suf?” tanya Aisha setelah kesadarannya mulai pulih dan posisinya sudah berubah dari berbaring menjadi duduk. Yusuf mengangguk.
“Sama Bunga, ya. Sudah aku siapin tadi pesanan kamu.” ujar Aisha lagi.
“Oke, cepat sembuh ya Mba. Aku pergi dulu. Sampe ketemu lagi” Yusuf lalu beranjak menuju meja kasir dan mengambil pesanannya. Meninggalkan Aisha bersama Yuli dan Rayhan. Yuli lalu membantu memapah Aisha untuk naik ke lantai dua, diikuti oleh Rayhan di belakang mereka. Yuli diam, dia membiarkan saja Rayhan mengikutinya.
Ketika mereka tiba di kamar,Aisha disambut oleh Radit.
“Mama… Mama…” Radit memeluk kaki Aisha.
“Sayang, mama lagi sakit. Radit sama mba Rya dulu ya.” ucap Yuli.
“Sha… Kamu nggak pa-pa?” tanya Rayhan khawatir.
Aisha memberi isyarat pada Yuli yang langsung dimengerti, dia pun pergi meninggalkan Aisha dan Rayhan dengan membiarkan pintu kamar terbuka lebar.
“Ada apa kamu kesini… Ray?” tanya Aisha canggung. Dia masih merasa aneh memanggil Rayhan dengan menyebut namanya langsung.
Rayhan menatap Aisha dalam diam, dia lalu menarik nafas dan menghembuskan perlahan.
“Aku kangen kamu, Sha.”
Hati Aisha serasa tercubit mendengar ucapan rindu dari Rayhan. Bukan hanya lelaki itu sebenarnya yang menanggung rindu mendalam selama satu tahun ini, Dirinya pun tersiksa menahan rindu pada lelaki di depannya ini. Namun Aisha masih bisa menahan diri untuk tetap diam karena dia sadar Rayhan bukan lagi suaminya, melainkan suami wanita lain.
“Apa kabar kamu, Sha? Kayaknya banyak hal yang nggak aku tahu tentang kamu selama satu tahun ini.”
Aisha menunduk, menghindari tatapan mata Rayhan, karena takut tidak bisa menahan diri untuk menghambur ke dalam pelukan Rayhan.
“Aku baik, Ray. Seperti yang kamu lihat.”
“Anak kecil tadi, yang panggil kamu mama, dia siapa Sha?”
“Anak aku.” jawab Aisha singkat.
Rayhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Maksud kamu gimana? Aku bisa menghitung lho, Sha. Kita berpisah baru satu tahun, dan sekarang kamu punya anak yang usianya sekitaran satu tahun. Berarti anak itu lahirnya nggak lama setelah kita pisah kan?”
“Dan lagi, dulu waktu kita pisah, kamu nggak lagi hamil kan.” sambung Rayhan.
Aisha menarik nafas dalam, “Iya, aku nggak lagi hamil waktu itu. Aku memang nggak bisa hamil, nggak perlu kamu perjelas aku juga tahu, Rayhan.”
Rayhan tersadar dengan ucapannya, “Maaf, Sha. Aku nggak bermaksud gitu.”
“Maafin aku, Sha.”
Aisha mengangguk pelan.
“Radit itu anak aku. Aku nggak ada kewajiban buat cerita ke kamu tentang anak aku, karena sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu.”
“Oke… Oke… Maaf, Sha. Lalu, siapa lelaki tadi?”
“Siapa?” tanya Aisha bingung.
“Yang tadi di bawah.”
Aisha mengerutkan alisnya bingung, “Yusuf, maksud kamu?”
“Dia customer aku, kamu lihat sendiri kan dia tadi cuma mau ambil pesanan.”
“Sha, aku ini lelaki, Aku bisa liat cara dia menatap kamu, dia suka sama kamu, Sha…”
Aisha sedikit terkejut mendengar ucapan Rayhan barusan.
“Kamu salah lihat, kali. Lagian bukan urusan kamu juga kan.” sahut Aisha sambil mengangkat bahu.
Suara Rayhan meninggi, “Akan jadi urusan aku karena aku mau kamu kembali sama aku, Sha.”
“Hah?” mata Aisha terbelalak.
“Kamu nggak salah? Apa nggak cukup kamu lihat aku terluka karena harus berbagi suami? Nggak. Aku nggak mau. Enak aja.” tolak Aisha tegas.
“Nggak, Sha. Kali ini aku nggak akan nyakitin kamu lagi, Sayang. Aku udah lama pisah sama Nala. Aku cuma mau kamu yang jadi istriku.” tegas Rayhan.
3 September 2020
23.02 WIB