Bab 4 : Keputusan Besar

2053 Kata
* "Lagi ngapain, cucu oma?" Mendengar suara tersebut, Reval langsung menoleh ke sumber suara. Ada sang nenek yang memangkas jaraknya. "Lagi ngerjain tugas, Oma. Kapan Oma datang? Kok, Reval nggak tau?" Pemuda ini menyalami sang nenek. Sejurus kemudian, wanita yang kulitnya sudah mulai banyak lipatan di wajah dan tangan–bagian yang terlihat–itu tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Reval penuh kasih. "Kamu ini selalu sibuk, sampai nggak sadar kalo Oma ada di rumah ini." Reval terkekeh. Memang dia terlalu sibuk, bahkan sudah lama dia tidak menghubungi omanya. "Oma apa kabar? Maaf, Reval lama nggak nelpon. Tugas kuliah Reval banyak banget soalnya." Pemuda dengan rambut menutupi kening itu menjelaskan seadanya. "Nggak apa-apa. Oma juga udah ada di sini, 'kan?" "Eh, tapi tumben Oma tiba-tiba datang? Ada acarakah?" Reval mulai ingin tahu. "Ada. Papamu nggak ngomong?" tanya wanita yang biasa disapa Oma Wening ini. "Ibu!" Tiba-tiba suara dari luar ruangan membuat Oma Wening dan Reval menoleh bersamaan. Terpaksa perbincangan mereka terputus. Seorang wanita berdiri dengan wajah masam. Hal itu membuat Oma Wening bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Reval memperhatikan oma dan sang mama bergantian. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dua orang terkasihnya itu. Melihat sorot mata sang mama, Reval yakin bahwa ada suatu hal yang dirahasiakan. Begitu juga pada Oma Wening, Reval menangkap keganjalan yang sepertinya sedikit lagi dia tahu. Sayangnya, kehadiran Sonya membuatnya harus menyimpan dulu rasa ingin tahu tersebut. "Bisa Sonya bicara sama Ibu?" Dengan lembut Oma Wening menjawab permintaan yang mengandung kesinisan dari sang menantu. Oma Wening mengalihkan tatapannya pada Reval. Dia tersenyum, lalu mengusap pundak cucu bungsunya tersebut. "Oma keluar dulu, ya. Lanjutkan belajarmu, biar cepet lulus." Reval tersenyum mendapat perhatian dari sang oma tercinta. Sudah lama dia tidak ke tempat Oma Wening. Sebenarnya, akhir tahun nanti dia akan berkunjung ke Jogja. Namun, sang papa memintanya untuk tetap tinggal di Bogor. Lebih mengejutkannya lagi, tiba-tiba sang oma malah datang ke rumah dan membawa teka-teki bagi dirinya. Pemuda berkarisma ini mencoba menepis beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Dia kembali fokus pada laptop dan mengerjakan tugas kampus. Sebentar lagi dia akan mengajukan skripsi. Jadi, mau tak mau dia harus memanfaatkan sisa waktunya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang beberapa waktu lalu terbengkalai. Semua itu karena dia sibuk mengurus distro milik sang kakak yang ditinggal ke luar negri untuk melanjutkan belajar. Reval sangat berbeda dengan abangnya. Ah, tidak juga. Hanya saja, perlakukan sang mama pada kedua anaknya lah yang membuat mereka tampak berbeda. Sang kakak yang bisa melebarkan sayapnya, sedangkan Reval hanya bisa meraih cita-citanya di dalam negri. Sebenarnya tak banyak yang dia tuntut. Hanya saja dia sedikit merasakan sebuah ketidakadilan pada dirinya, tetapi hal itu dia padamkan. Sebab, Reval terlalu menyayangi saudaranya. Dia mencoba berpikir positif, bahwa dengan dia tetap berkiprah di dalam negri, dia bisa menjaga mama dan neneknya. Sementara itu, di teras belakang tengah terjadi perdebatan sengit. Sonya dan Oma Wening selalu saja beradu argumen ketika bertemu. "Kenapa harus Reval yang menerima perjodohan ini, Bu? Pokoknya Sonya nggak rela." Wanita cantik ini selalu mengatakan hal demikian pada ibu mertuanya. Namun, jawaban Oma Wening selalu sama dari bulan lalu. "Karena hanya Reval yang bisa memenuhi wasiat ayahmu. Kamu berharap apa dari Marvin? Bahkan, anak itu tidak bisa diandalkan untuk mengemban tanggung jawab." Tak ada yang bisa mematahkan tuntutan perjodohan yang telah menjadi wasiat dari sang suami. Oma Wening tak berani melanggar wasiat tersebut. Sebab, menurutnya itu permintaan terakhir dari sang suami. Bratha sendiri pun mendengarnya, bahkan dia menjadi saksi ketika itu. "Tapi, Bu ...." "Cukup, Sonya. Selalu ini saja yang kamu bahas. Dan jawaban ibu tetap sama. Ibu akan tetap menjodohkan Reval dengan pilihan ayahmu. Dia anak yang baik, pasti akan menuruti permintaan orang tuanya. Jadi, jangan pernah ganggu gugat keputusan ini. Suami kamu juga udah setuju." Sonya geram. Sedikit saja dia tidak mendapat celah untuk menarik Reval dari perjodohan ini. Entah mengapa, Sonya hanya tidak suka berhubungan dengan keluarga Johan. Ya, walaupun memang keluarga itu sangat akrab dengan suaminya, tetapi tetap saja bila perjodohan itu tidak relevan. Ini zaman modern, bukan masa Siti Nurbaya atau semacamnya. "Ibu, seharusnya Ibu minta pendapat Reval terlebih dahulu. Ini nggak adil buat dia, Bu." Percuma. Apa pun yang dikatakan Sonya tak akan mampu menggetarkan barisan kekukuhan dalam hati Oma Wening. Baginya, satu-satunya cara menebus doa setiap incinya hanyalah dengan menjodohkan Reval sesegera mungkin. Oma Wening beranggapan bahwa setiap wasiat itu harus segera dilaksanakan, agar sang pemberi wasiat pun lebih tenang berada di alam sana. Sonya mengeratkan giginya hingga kemeretak cukup keras ketika Oma Wening meninggalkannya sejak beberapa detik yang lalu. Dia memikirkan bagaimana caranya supaya Reval tidak menuruti omongan sang nenek. Namun, sepertinya akan sia-sia juga ketika Sonya bicara dengan Reval. Pemuda itu akan lebih mendengarkan permintaan sang nenek ketimbang dirinya. Selama ini Reval memang diurus oleh kakek dan neneknya, sehingga mereka begitu dekat. Bahkan, Sonya sendiri yang ibu kandungnya pun merasa tak sedekat itu. Sejak kecil Reval memang tinggal di tempat Oma Wening, karena banyak cerita yang belum dia ketahui tentang Sonya—mamanya. Sonya menyerah, walau terkadang dia merasa tak harus semudah itu menyerah. Entahlah, rasanya cukup sulit untuk menarik Reval dari perjodohan ini. Namun, terkadang Sonya merasa harus mengentas sang anak dari hal yang tak semestinya dia jalani lebih awal. Pernikahan bukanlah sebuah hal main-main–yang kapan saja bisa ditinggalkan pelakunya. Tidak demikian! Sonya tidak ingin meredupkan masa depan sang anak dengan menikahkannya sesegera mungkin. Wanita ini ingin melihat Reval menyandang status wisudanya, menggapai cita-cita, sukses, dan baru setelah itu menikah. Sonya merasa sudah cukup lama dia mengekang Reval, tidak ada salahnya bila saat ini dia lebih memperhatikan kebebasan sang anak. Namun, sayangnya itu seperti sebuah ketidakmungkinan yang hakiki. Semua rencana pernikahan sudah di depan mata. Lebih parahnya lagi, sang suami menyetujui semua wasiat yang diberikan sang papa. * "Kamu belum bicara sama Reval tentang semua ini?" tanya Oma Wening pada Bratha ketika selesai makan malam. Kebetulan Reval tak ada di tempat, dia belum pulang. "Belum sempat, Bu." "Kamu gimana, sih? Ibu ke sini karena mau mengadakan pertemuan dengan keluarga Johan, kalo kamu belum ngomong sama Reval, dia akan terkejut." Oma Wening terlihat serius, ada gurat geram juga di wajahnya. Sebab, sang anak masih saja menunda waktu. "Apa kamu yang melarang suamimu bicara pada Reval?" Kali ini tatapan Oma Wening terarah ke Sonya yang baru saja menyelesaikan suapan terakhirnya. Sonya langsung menatap sang ibu mertua, lalu bergantian ke suaminya. Dia memang tidak setuju dengan perjodohan Reval, tetapi dia juga tidak ada keberanian menentang ini di depan sang suami. "Kalian ini sama aja!" Oma Wening mengakhiri makan malamnya dengan kesal. Dia pergi begitu saja setelah membanting sendok dan garpu ke piring. "Papa belum ngomong sama Reval?" tanya Sonya penuh selidik. Pak Bratha hanya menggeleng pelan. "Kenapa?" "Papa rasa hanya Ibu yang bisa membuat Reval menurut." "Tapi Ibu pasti akan memaksa Reval." "Nggak mungkin." "Nggak mungkin apanya? Ibu memang selalu bisa membuat Reval bertekuk lutut, karena Ibu selalu mendesaknya." "Kamu nggak setuju sama perjodohan ini?" tanya Pak Bratha penuh selidik. Tiba-tiba saja Sonya tergagap, dia berpikir bisa satu server dengan suaminya. "Eng-enggak gitu, Pa. Reval masih kuliah, apa nggak bisa ditunda sampai dia lulus?" "Ibu pasti sudah memikirkan hal ini masak-masak, jadi aku yakin Ibu tidak akan membuat keputusan begitu saja." Sonya sudah tak bisa berkata-kata lagi bila sang suami telah membela sang mama. "Malam, Pah, Mah," sapa Reval yang mulai memangkas jaraknya dengan ruang makan. Dia menyalami kedua orang tuanya takzim. "Kamu baru pulang?" tanya Pak Bratha. Reval mengangguk, kemudian menjelaskan serentetan kegiatannya hari ini di kampus. "Ganti baju dulu, nanti papa mau bicara sama kamu." "Mandi dulu, Val. Terus makan. Kamu kelihatan capek banget hari ini," sela Sonya. Dia sudah mengerti rencana sang suami, pasti akan membicarakan perjodohan tersebut. Setelah selesai dengan rutinitasnya sepulang kuliah, Reval menemui sang papa di teras depan. Ternyata ada Oma Wening juga di sana. Kaca mata baca yang bertengger di wajahnya membuat Oma Wening tampak begitu sederhana. "Oma, di luar dingin lho," kata Reval. Dia turut duduk. Pak Bratha meletakkan ponsel di meja, lalu fokus ke Reval. "Nggak apa-apa, oma udah pakai sweater yang kamu belikan dulu." Oma Wening melepas kaca mata, lalu menaruhnya di meja, dekat teh. Reval tergemap, tak disangka baju itu masih dipakai sang oma. Padahal, Reval ingat betul sweater itu dia beli ketika akan kelas dua SMU, saat study tour ke Malang. "Oma masih menyimpannya? Maaf, Reval belum bisa membelikannya lagi," kata Reval dengan rasa tak enak di hati. Oma Wening tersenyum, dia mengusap lengan atas Reval penuh kasih. "Reval, papa mau bicara sama kamu." Pandangan Pak Bratha beralih ke Oma Wening, pertanda meminta persetujuan. Oma Wening mengangguk. "Tentang apa, Pah?" "Kita dulu pernah bahas hal ini, waktu Kakek meninggal. Ingat?" Reval berpikir, dia agak-agak lupa. "Tentang wasiat Kakek waktu itu." Reval kembali terlempar pada kejadian silam. Dulu, sang kakek pernah memintanya untuk mempererat persaudaraan dengan keluarga sahabatnya semasa masih hidup. Tatapan Reval tiba-tiba meredup. Ingin rasanya dia menentang, tetapi yang dia dengar saat itu bukan hal main-main. Hatinya berontak, masih banyak hal yang ingin dia capai sebelum menentukan pada siapa hatinya berlabuh. Ini artinya, dia juga harus merelakan cintanya pada seorang gadis kandas sebelum terbalas. Namun, Reval tiada daya untuk sekadar untuk mengucap kata "tidak". Semua telah terjalin begitu baik, tidak mungkin dia merusak persahabatan dan silaturrahmi keluarganya. Apalagi dia tahu, bahwa sang papa juga berhubungan baik dengan Pak Johan–calon mertuanya. "Reval, apa kamu menyayangi Kakek?" Pertanyaan itu membuat pandangan Reval terangkat, menatap tepat pada manik Oma Wening yang mengguratkan harapan. Tak ada pilihan lain selain mengangguk. Memang pemuda ini begitu menyayangi sang kakek. Itu adalah janjinya pada diri sendiri ketika sang kakek masih hidup, dan Reval digendong menyusuri sawah demi melihat burung bangau. Masih lekat sekali ingatan itu di benak Reval masa-masa indah bersama sang kakek waktu dia kecil. "Apa Reval boleh meminta waktu sedikit? Reval ingin keputusan ini bisa Reval terima dengan ikhlas. Reval sayang sama Kakek, tapi menikah bukanlah sebuah perkara ringan." Jawaban Reval berhasil membuat Oma Wening dan Pak Bratha saling pandang. "Kakek sangat menyayangimu, Reval. Tidak mungkin dia memaksa kamu menyetujui. Bahkan, Kakek berpesan sama oma supaya kamu tetap meraih cita-cita kamu. Kakek ingin kamu jadi arsitek seperti yang kamu gadang-gadang waktu kecil. Kamu ingat?" Oma Wening bicara sangat lembut pada Reval. Biar bagaimanapun, Reval adalah cucu yang bertahun-tahun bersamanya. Pak Bratha hanya menyimak, dia menyerahkan semuanya pada Oma Wening. Setelah terdiam beberapa saat, Reval berkata, "Ya, Reval setuju, Oma, Pa." Mantap sekali dia berucap. Hal itu membuat Oma Wening dan Pak Bratha terkejut. Padahal Oma Wening mengira Reval akan menolak. "Kamu serius, Reval?" tanya Pak Bratha. Dia mencoba meyakinkan kembali keputusan Reval. Sebab, keputusan tersebut tak akan bisa ditarik bila sudah disampaikan kepada keluarga Pak Johan. "Reval, oma tidak akan memaksa kamu. Oma mau kamu menjalani semua ini tanpa merasa terpaksa." "Tidak, Oma. Reval sudah yakin. Mungkin sudah jalan hidup Reval untuk menikah muda." Meskipun merasa hancur akan cintanya pada Vania yang masih dia perjuangkan harus berakhir, tetapi Reval meyakini keputusannya tersebut benar. "Terima kasih, Reval." Mata Oma Wening berkaca-kaca. Dia terharu akan keputusan sang cucu yang diambil begitu tegas. Reval tak sampai hati melihat Oma Wening mengucurkan air mata, dia memeluk sang oma penuh kasih. Diusapnya punggung Oma Wening lembut. "Oma nggak perlu berterima kasih. Sudah sepatutnya Reval mematuhi setiap perintah Kakek." Pak Bratha merasa tak ada hak mengatur hidup Reval, karena sejak kecil Oma Wening dan Kakek Adi-lah yang merawat Reval. Sebab itulah, Pak Bratha menyerahkan segalanya pada sang ibu. Dia juga yakin, bahwa Oma Wening tak akan pernah membuat hidup Reval sengsara. "Jadi, kapan kita akan bertemu dengan keluarga Johan, Bu?" tanya Pak Bratha. Reval melepaskan pelukannya, Oma Wening pun mengusap air mata yang membasahi pipi. "Aturlah waktunya, kamu pasti lebih sering bertemu dengan Johan dibanding ibu." "Kamu siapnya kapan, Val?" Kali ini, Pak Bratha meminta pendapat sang anak. Sebab, biar bagaimanapun Reval tetap berhak menentukan kapan dirinya siap memulai perjalanan hidupnya. "Tiga hari ke depan Reval masih sibuk di kampus, Pa. Banyak yang belum Reval urus. Bolehkah Reval meminta waktu sampai semua tugas kuliah selesai?" Oma Wening mengangguk, diikuti Pak Bratha. Reval mengulas senyum tipis, dalam hatinya masih meraba akan keputusan yang baru saja dia ambil. Dia pun sama sekali belum mengenal atau bahkan melihat gadis yang akan dijodohkan dengannya. Cantikkah? Baikkah? Atau bagaimana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN