1. DIPECAT
"Kamu dipecat!" tegas seorang pria, mengenakan setelan jas lengkap, kepada gadis mungil yang bekerja di restoran miliknya.
"Apa, Pak? Dipecat?"
Gadis yang akrab dipanggil Amel itu, menganga. Tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, lantaran atasan tempatnya bekerja, secara tiba-tiba memecatnya tanpa alasan yang mendasar.
Ruangan itu menjadi hening. Padahal sudah full AC, tapi rasanya panas membara.
"Tapi kenapa, Pak? Mengapa tiba-tiba saya dipecat? Selama ini, saya sudah berusaha bekerja dengan baik. Bahkan saya tidak pernah terlambat sampai ke sini."
Amel baru mulai bekerja di restoran bintang dua ini, sekitar dua bulan lalu. Rekomendasi dari seorang teman. Selama itu juga, Amel berperilaku baik. Tidak pernah terlambat datang ke tempat kerja. Bahkan dia datang lebih awal dibandingkan yang lain.
"Dia berbohong, Pak! Dia sengaja datang lebih awal ke restoran, supaya bisa mengambil uang yang ada di berangkas!" seru seorang gadis, kira-kira usianya sebaya dengan Amel. Dia teman kerja Amel di restoran ini.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Beberapa waktu lalu, dia menyusup masuk ke ruang penyimpanan. Di sana, dia mencari kunci berangkas yang ada di laci, Pak Agung," tambahnya lebih jauh, sekaligus menyudutkan Amel di hadapan Sang Manager, yang bernama Agung itu.
Bak disambar petir di siang hari. Amel tersentak kaget, matanya melebar sempurna, ketika mendengar teman kerjanya menjatuhkan tuduhan, yang tidak pernah dilakukan seumur hidupnya.
Boro-boro membuka berangkas uang, masuk ke ruangan Manager saja, dalam satu bulan bisa dihitung dengan jari.
Wanita itu baru saja datang ke ruangan ini dan langsung menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan.
"Apa maksud kamu ngomong gitu, Nanda? Aku tidak pernah mengambil uang di berangkas. Sumpah demi, Tuhan. Aku datang lebih awal, biar bisa beres-beres, sebelum yang lain datang."
"Mana buktinya, kalau aku masuk ke ruangan Pak Agung, untuk mengambil kunci berangkasnya? Apa kamu punya buktinya, ah?" sungut Amel, yang tidak terima disudutkan, sekaligus dia menantang Nanda untuk menunjukkan bukti yang dapat membenarkan semua tuduhan itu.
Amel akui, bahwasanya ia memang berasal dari keluarga miskin, bukan berarti, dirinya melakukan hal kotor seperti itu, hanya demi memenuhi kebutuhan dapur.
"Diam kamu, Amel! Sudah cukup kamu berkilah. Saya sudah muak melihat kamu di restoran saya. Mulai hari ini, kamu bukan lagi pelayan di sini!" berang Agung sangat keras. Dia yang semula diam, kini suaranya yang paling kencang.
Agung mengibaskan tangan kanannya, sebagai isyarat kalau restoran ini tidak lagi menerima gadis seperti Amel, yang memiliki reputasi buruk menurutnya.
Amel mematung. Tubuhnya seperti batang kayu yang keras. Dia menatap kosong objek di depannya. Dipecat, artinya setelah ini ia tidak lagi memiliki pemasukan untuk membuat dapur tetap mengebul.
"Sekarang! Kamu pergi, dari restoran saya!" Agung menarik pergelangan tangan Amel, lalu menariknya supaya keluar dari ruangannya.
"Pak! Tolong jangan pecat saya, Pak! Saya sangat memerlukan pekerjaan ini!" teriak Amel memohon histeris. Namun, Agung seolah tidak lagi peduli dengan kesedihan dari gadis yang baru dua bulan bekerja di sini.
Orang-orang yang ada di restoran itu, tidak ada yang tidak menoleh. Semuanya memperhatikan Agung yang menarik Amel tanpa rasa iba sama sekali.
Pria itu sudah muak, menerima laporan hal buruk tentang Amel dari beberapa karyawannya. Amel begini lah, Amel begitulah. Pokoknya hal yang tidak mengenakkan.
Agung tidak mau, restorannya bangkrut dan hancur, hanya karena dia mempertahankan seorang benalu.
BRUK!
"Pergi kamu!"
Agung mengeluarkan Amel layaknya membuang sampah. Tubuh mungil itu jatuh tersungkur membentur aspal.
"Restoran ini, tidak akan mau menerima orang seperti kamu, yang suka mencuri! Bisa-bisa, modal saya habis tanpa tersisa!"
"Seharusnya, kalau kamu mau kerja. Ya, bekerjalah dengan baik! Wajah polos, ternyata seorang pencuri!" cibirnya lagi dan lagi seraya melipat kedua tangan di d**a, tersenyum sinis untuk mantan pelayannya itu.
Amel beranjak bangun. Dia hendak mengatakan sesuatu. Akan tetapi, pintu restoran itu sudah lebih dulu tertutup. Agung telah pergi, tanpa mendengar kalimat penjelasannya.
Kini restoran yang dijadikannya sebagai harapan untuk mengais rezeki, sudah tidak lagi menerima kehadirannya. Kemana lagi langkah kakinya harus pergi? Di mana kah tempat yang nyaman untuknya berteduh? Di rumah pun, ia menjadi b***k bagi wanita yang berstatus ibu di atas kertas.
Setelah berjalan sejauh beberapa ratus meter, Amel pun duduk di bawah pohon rindang. Dia menatap matahari yang hampir terbenam itu.
Ingin rasanya ia pulang. Namun, pulang pun tidaklah ada gunanya, kalau ia tidak membawa pulang uang.
"Bagaimana ini? Bisa-bisa nenek sihir itu, mengutukku dengan berbagai macam kata-kata umpatan." Helaan napas itu lolos begitu saja, sampai berulang kali.
Di tengah-tengah kegundahan hati, perutnya yang memang belum makan apa pun sedari siang tadi, mulai mengeluarkan bunyi nyaring.
Amel memegangi perutnya. Cacing-cacing di sana mulai berdemo, meminta untuk diberi makan. Seandainya memiliki uang, sudah pasti ia akan membeli makan. Sayangnya. Dompetnya saat ini sedang diserang penyakit kanker. Hanya ada pecahan dua ribu rupiah di sana.
Amel melihat ke kiri dan kanannya, mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Bukan menjadi masalah untuknya, jika itu sekedar makanan biasa.
"Ini untuk kamu." Seorang pemuda menyodorkan satu bungkus roti.
Amel mendongak. Matanya mengerjap, memandangi pemuda yang baru saja datang itu.
"Kamu pasti lapar kan? Ini, aku belikan roti untuk kamu. Ambillah!" pinta pemuda itu dengan tulus.
"Kenapa liatinnya kayak gitu?" tanyanya heran.
Mendapati Amel diam saja. Dia pun duduk di samping gadis mungil itu.
"Udah, ambil roti ini. Aku juga beli satu lagi untukku," ungkapnya lagi seraya tersenyum lebar.
"Makasih, Len. Cuma kamu doang yang masih mau bantu aku." Akhirnya Amel mau menerima pemberian dari pemuda tersebut.
Tanpa basa-basi lagi, Amel segera membuka bungkus roti itu, seperti orang yang sudah tidak makan selama tiga hari.
Dia melahapnya, kemudian tersenyum kepada pemuda di sampingnya.
"Suasananya enak ya. Makan roti di pinggir jalan, sambil lihat matahari terbenam," ungkap pemuda bernama Nalendra itu, seraya tersenyum lembut dan menikmati roti rasa coklat itu.
Hal yang membuat rasa roti yang dimakannya semakin nikmat, adanya Amel di sisinya sekarang. Namun, Amel tidak mendengarkan ucapan Nalendra barusan. Dia terlalu fokus menyantap roti itu, guna membuat cacing-cacing di dalam perutnya diam.
"Len ..." Amel sudah menghabiskan sepotong rotinya. Dia baru teringat akan suatu hal.
"Iya, Mel. Kenapa?" Nalendra mengubah posisi duduknya, sehingga tatapannya dan Amel saling bertemu dalam garis lurus.
"Maafin aku ya ..."
"Maaf, untuk hal apa, Mel?" tanya Nalendra penasaran.
"Hari ini, aku dipecat dari restoran yang kamu rekomendasi waktu itu," ungkap Amel ragu.
Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan kebenaran ini sekarang. Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapnya, tapi sepertinya takdir berkata lain. Nalendra sudah berada di hadapannya. Itulah mengapa, dia tidak lagi perlu menyembunyikan masalah ini.
"Dipecat?" Pemuda dua puluh lima tahun itu, tidak basi menyembunyikan keterkejutannya, setelah mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Amel.
"Apa alasannya? Mengapa tiba-tiba begitu?" Dia cukup penasaran dengan cerita selanjutnya.
"Aku juga enggak tahu, Len. Aku dituduh sudah mencuri uang di berangkas, yang ada di ruangan Pak Agung," ungkap Amel dengan nada malas.
"Loh ... Loh ... Bisa gitu tah? Kamu enggak melakukan semua itu kan? Tuduhan itu palsu kan, Mel?"
Amel mengangguk pasrah, "sumpah demi, Tuhan, Len. Aku bukan cewek kayak gitu. Meksipun aku butuh uang yang banyak, bukan berarti harus mencuri juga. Aku enggak segila itu, Len."
"Iya, Mel. Aku percaya kok sama kamu. Kamu bukan pencuri seperti yang mereka tuduhkan itu. Kamu yang sabar ya, Mel. Nanti aku bantu kamu buat cari pekerjaan baru, supaya kamu bisa tetap hasilkan uang."
"Makasih ya, Len. Cuma kamu yang bisa ngertiin aku. Tidak seperti mereka, yang datang ketika aku senang saja. Disaat aku sedang susah seperti sekarang ini, mereka malah tidak ada."
Amel tersenyum kecut. Kata 'Sabar' seolah tidak ada habisnya ia lakukan. Dihina, dituduh segala macam, dicibir sana sini dan lain sebagainya, menjadi makanan sehari-hari yang harus Amel dapatkan.
"Oh iya, Mel. Nanti aku coba tanyain deh ke temanku. Dia kemarin bilang, ada lowongan kerja buat pelayan gitu. Dua hari lagi ada acara di hotel sky blue. Temanku itu, yang menyediakan makanan dan minuman di sana. Nah, kira-kira kamu mau enggak kalau kerja jadi pelayan di sana? Ya, sebenarnya gajinya ..."
"Iya, aku mau kok, Len. Aku mau banget malah," ungkap Amel sangat antusias, sebelum Nalendra bisa menyelesaikan kalimatnya.
Tanpa pikir panjang, Amel langsung menerima tawaran tersebut. Dia memeluk Nalendra sangat kuat, sampai membuat pemuda itu tersentak kaget. Namun, tak berselang lama, dia tersenyum lebar.
'Ini adalah caraku untuk bisa membahagiakan kamu, Mel.' Nalendra membatin.