Aku pergi membenahi diri ke kamar mandi setelah selesai makan malam dengan para nyonya-nyonya besar pengusaha itu.
Kucuci tanganku lalu kuberikan sentuhan tipis bedak dan pemulas bibir untuk menyempurnakan tampilan muka.
Tiba-tiba wanita berdada besar dan bergaun marun tadi datang dan mencekal lenganku dengan kasar lalu menarikku ke sudut rest room mewah tersebut.
"Kamu sengaja ya, menyindirku?" katanya dengan wajah merah padam.
"Loh, situ merasa tersindir, Jeng erika pelakor?" tanyaku cuek dan santai.
"Kamu ya ...." Ia mengangkat tangan dan siap memukulku.
"Hei, hei ... Turunkan tangan dan jaga batasanmu, ingat kita sedang di ruang publik dan member arisan hadir semua, kamu gila?" tanyaku.
"Kamu jangan macam-macam sama aku ya, kalo mau, aku bisa matikan bisnis kamu semuanya!" Ancamnya dengan mata membeliak ditambah garis eyeliner tegas yang memperseram tampilan wajahnya.
"Dengar ya, kalo gak merasa menjadi duri dalam rumah tangga orang ngapaian mesti emosi dan menabrak orang seperti ini," ucapku.
"Kamu yang keterlaluan, kamu mempermalukanku," desisnya.
"Ngapaian malu, kecuali kamu benaran pelakor dan semau benda yang kamu pakai ini adalah benda dari hasil memeras sebagai pelakor."
Plak!
Ia menamparku, hingga aku oleng dan nyaris terjatuh, kusentuh pipiku yang terasa panas dan perih bekas Tamparan kerasnya.
"Jangan ulangi lagi!" Ia bersiap pergi namun dengan sigap kutarik rambut model gelombang sepunggung miliknya dan kupelintir dengan keras sehingga ia terkejut dan gelagapan karena aku mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat.
"Lepaskan!" jeritnya.
Namun karena ruang rest room mewah ini kedap suara dan tidak dipasang cctv demi privasi nyonya-nyonya akhirnya kutarik rambutnya dan kuseret dia ke bilik toilet dengan memelintir rambut panjangnya dari belakang dengan kasar.
"Lepaskan aku, dasar licik, berani main belakang," ujarnya sambil menahan rambutnya yang makin kencang kutarik.
.
Kusentak dia dengan kasar hingga terjatuh dalam posisi telentang di bilik toilet kududuki perutnya lalu,
Bugh ...
Bugh ...
Tinjuan dan pukulan mendarat di wajahnya.
"Ah ... Auw ... kurang ajar!" teriaknya, namun dia tak bisa berbuat apa-apa, karena bukan saja kududuki perutnya, tapi juga kedua tangannya sehingga dia tak berdaya bangkit atau membalas pukulanku.
"Lepaskan ... Lepas," napasnya sesak karena berat badanku menekan perutnya.
Setelah puas memberinya bogem mentah aku bangkit dan kuinjak dadanya dengan sepatu heel yang kukenakan.
"Kau pikir aku tak tahu kelakuanmu rubah tua? dasar p*****r!" Amarahku tak bisa lagi kendalikan.
Ia terlihat tak berdaya melawan, ingin memukulku namun kemudian kutendang lengannya dengan moncong sepatu sehingga dia meraung kesakitan.
"Arrgg .... s**l! Dasar hewan!" jeritnya.
"Yang hewan siapa? Kamu atau aku?"
"Apa yang kamu ketahui tentangku," jawabnya masih tak mau kalah.
"Kebusukanmu!"
"Jangan asal bicara aku akan melaporkan perbuatanmu ini," ancamnya sambil berusaha duduk.
.
"Lakukan saja aku tidak takut."
"Dasar wanita tak berguna, hanya menumpang hidup pada laki-laki dan berfoya-foya. Danu sangat terhimpit punya istri tak berguna sepertimu," desisnya.
"Jangan memancing emosiku!" Bentakku yang sudah tak tahan lagi dengan letupan amarah ini, telingaku bahkan berdenging-denging saking membuncahnya rasa emosi.
"Dasar miskin!"ucapnya.
Prak!
Kutendang wajahnya dengan lututku hingga ia tersungkur, kuraih alat pengering tangan lalu kusiram wajahnya dengan selang dari air keran, dan kutarik rambut poninya dan kuarahkan sensor pengering itu ke wajah penuh make up wanita itu sehingga otomatis pengering itu langsung bekerja menghasikan hawa panas.
"Panas ... Awh ... panaaaass ... dasar setan, jauhkan benda itu dariku," teriaknya sambil terus meronta dan berusaha menggigit pahaku.
Namun dengan sigap kuinjak punggung tangannya hingga ia kembali menjerit kesakitan.
"Siaaaal ...." Lenguhannya mengudara.
Wajahnya memerah dan terbakar karena gelombang panas dari handdryer. Kuhempas benda itu lalu kuhempas kasar wanita itu.
"Aku menunggu kau melaporkanku, aku lihat Mas Danu perpihak pada simpanan atau istri sah."
"A-apa kau tahu?" Ia terlihat gemetar.
"Tentu saja, aku tahu, aku tahu dengan detail."
"Kau licik." Ia menggeram.
"Untuk menghadapi kelicikan kita pun harus menjadi lebih licik, kau paham," kataku lalu berlalu meninggalkannya yang terkapar di lantai basah.
"Tunggu saja ... Akan kuberi kau pelajaran!"
Aku tak peduli, kutinggalkan dia di toilet kemudian kuhampiri teman teman arisan kuraih tasku dan bersiap pergi.
"Eh, kamu kenapa, Jeng Sarah?"
Tanya salah satu dari mereka yang melihat cara dan penampilanku yang garang.
"Berantakan kayak habis bergulat," timpal yang lain.
"Memang. Aku habis menggulati pelakor yang menghabiskan harta suami orang dan mengkhianati teman sendiri," kataku sambil melangkah pergi.
Entah apa yang mereka perbincangkan setelahnya aku sudah tak peduli, meski aku akan disanksi secara hukum dan materi serta dikucilkan dari pergaulan tersebut, aku sudah puas menghajar wanita serakah itu.
Tentang suamiku, aku menunggu juga responnya atas kejadian ini.