Bab 5

2094 Kata
Shinta Aulia hanya bisa menahan tangisan sedih. Sedih karena lapar. Ah, bukan menahan lapar, tapi sedih karena udang madu dari Amis Amis Asup kini telah berpindah ke perut orang lain. Dia melihat sekali lagi ke arah pesan yang dibalas oleh pemilik restoran Amis Amis Asup. 'Bukankah tadi Anda sudah menerima makanannya? saya melihat Anda dengan seorang pria di lantai 20.' Lantai 20. Lantai milik bos dan ada dua sekretaris bos. Mana berani dia naik ke lantai di atas lalu menuntut makanannya? Lima temannya hanya bisa memandang iba satu sama lain. Sedangkan Bu Sari yang adalah manager Departemen Marketing itu hanya bisa mengigit jari. Dia sudah terlanjur menghalu memakan udang madu dari Amis Amis Asup. "Shinta, mungkin besok kita bisa pesan lagi. Ini bukan salah pengantar makanan. Kamu lupa memberi tahu dia di mana lantai marketing. Jadi dia tersesat. Lagian sekarang ini siapa sih yang tidak mau makan makanan dari Amis Amis Asup? semua pasti mau, Pak Sandi dan Ibu Linda juga mau," ujar salah satu teman Shinta Aulia bername tag Farida. Farida juga cukup sedih karena tidak dapat makan makanan Amis Amis Asup hari ini. "Tidak mungkin juga kamu bilang ke Amis Amis Asup kalau yang menerima makanan hari ini bukan Shinta, tapi Pak Sandi dan Ibu Linda. Jika pemilik Amis Amis Asup tahu, maka dia akan menilai buruk Pak Sandi dan Ibu Linda. Kan tidak mungkin juga kita karyawan yang baru bekerja dua tiga tahun bersitegang dengan sekretaris bos," lanjut Farida. "Hum …." Bu Sari menghembuskan napas susah. Susah makan. "Ikhlaskan saja, ayo, kembali bekerja," ujar Bu Sari. Lima teman Shinta dan Shinta kembali bekerja dengan perasaan sedih menahan lapar. Sementara itu di lantai 20. Dua sekretaris bos menarik dan menghembuskan napas lega. Lega karena sudah kenyang. "Benar-benar enak makanan dari Amis Amis Asup ini, tidak rugi. Malah harga segitu tidak mahal untuk makanan se-enak ini," ujar Sandi puas setelah makan empat porsi udang madu. Sekretaris Linda hanya mendapatkan dua porsi saja, itupun satu porsi tambahan udang madu dengan enggan diberikan oleh sekretaris Sandi. Linda yang kenyang tapi belum puas kenyang hanya mengangguk. "Hum, aku menjadi pengikutnya di insta, tapi sayang sekali, tidak pernah menduduki tempat komentar pertama," sekretaris Sandi menggeleng sedih. Jelas saja dia tidak pernah menduduki tempat komentar pertama, sebab dia sibuk mengurusi berkas yang masuk untuk diberikan ke bos mereka. *** Campak melihat lagi pesan yang dia terima dari pelanggan hari ini. 'Maaf, apakah Anda sudah sampai di perusahaan?' Pesan itu dia terima sudah dari empat puluh menit yang lalu. Dan empat puluh menit itu dia berada di perjalanan pulang dari tempat pelanggan ke rumah. Seharusnya dia tidak menerima lagi pesan itu. Pikir Cempaka. "Ah, mungkin saja signal kurang bagus, jadi pesan yang dikirim tertunda. Akhir-akhir ini kan hujan terus." Bruuukk! Proook! "Uh!" wajah Cempaka menahan sakit. Dua bunyi dahsyat terdengar berturut-turut dari bagian bawah. "Hiiss! aing teh sakit perut." Cempaka cepat-cepat berjalan masuk ke toilet. *** Cahaya lampu gantung menyinari wajah pria berkulit putih, alis tebal, mata setengah sipit, hidung mancung dan bibir merah muda alami tanpa adanya efek hitam merokok. Tangan pria bernama Akbar itu terlihat serius menggaris-garis sesuatu di sebuah kertas. Bukan lukisan melainkan rancangan–gedung bergambar matahari dengan keterangan yang rinci. Jarum jam menunjukan pukul sepuluh malam, namun Akbar masih terlihat serius. Beberapa menit kemudian setelah dia menuliskan beberapa nama atau detail dari ruangan yang terdapat dari gedung itu, tangan Akbar berhenti. Pensil premium di letakan di atas kertas yang ditampung di atas meja kerja kaca berkayu. Akbar berdiri dari kursi duduk lalu melirik ke arah jam. Dia tidak berniat pulang lagi. Akbar berjalan mendekat ke arah dinding lalu pintu kaca bergeser terbuka dengan sendirinya. Dia berjalan ke arah dapur kecil nan mewah yang berada di gedung perusahaan utama miliknya. Buka kulkas lalu mengambil beberapa makanan jadi yang sehat untuk dimakan. Masukkan ke dalam microwave dan tunggu beberapa menit untuk siap dimakan. Saat makanan dihangatkan, Akbar mengambil sendok lalu mulai makan malamnya yang terlambat. Saat beberapa suap dia melihat piring yang menampung makanannya. Tiba-tiba Akbar merasa bahwa makanan yang sedang dia makan terasa hambar. Akbar berhenti mengunyah, dia meletakkan kembali piring dan sendok lalu berjalan ke arah ruang kerja dan mengambil ponsel. 'Bawa kepiting Soka ke gedung utama sekarang.' Klik. Pesan terkirim. Ya, makanan terasa hambar dan tidak enak karena hal enak yang dia rasakan dua minggu lalu adalah kepiting Soka. *** Tok tok tok. "Campak! Campak! buka!" Suara teriakan Marsudi terdengar di depan pintu restoran kecil milik Cempaka Jayanti. Lampu di dalam restoran padam, tanda bahwa tidak ada aktivitas apapun di dalam restoran. Jelas sekali, sebab ini jam dua belas tengah malam Marsudi berteriak. Tok tok tok. "Campak, buka! buka!" Marsudi berusaha untuk memanggil sang keponakan. Namun, sang keponakan yang sekaligus pemilik restoran itu sudah terlelap di dunia mimpi. "Ck! tidur awal sekali! masa jam segini sudah tidur." Marsudi terlihat kesal. "Tidak bisa tidur awal begini, urusanku hari ini belum selesai." "Campak! Campak! buka pintu! Emang mau bicara!" Marsudi memanggil Cempaka lagi. Marsudi terlihat sangat kesal. Dia berjalan mengambil beberapa langkah menjauh dari arah restoran yang bertuliskan Amis Amis Asup. Marsudi melihat ke arah balkon, di lantai atas ada beberapa pot bunga, ada beberapa tanaman herbal milik Cempaka yang nantinya tanaman itu dipakai untuk masakannya. Seperti, Rosemary, Thyme, daun perilla, kemangi, dan beberapa tanaman sayur yang sulit dijumpai di Indonesia. "Ck! tidak mau bangun, yah. Ok." Marsudi mengambil benda apapun yang ada di sekitar restoran. Dia berjalan ke tempat sampah di dekat restoran lalu mengambil minuman kaleng kosong. Marsudi berjalan ke tempat tadi, tempat di mana dia bisa melihat balkon dan tanaman sang keponakan perempuan. Plang! Kaleng minuman itu Marsudi lemparkan ke arah balkon lalu menabrak pintu balkon. Di lantai atas, Cempaka yang sedang bermimpi dikejar wortel kini terbangun. "Saha lempar-lempar jendela?" suara serak Cempaka terdengar. (Siapa.) Plang! Suara kedua terdengar. Campak bangun dari kasur satu setengah badan miliknya. Dia berjalan ke arah jendela lalu melirik ke arah luar. Dia kenal sosok itu, pria 50 tahun yang sedang melempar sesuatu ke arah pintu balkonnya. Plang! Suara lemparan kaleng minuman ketiga. "Emang teh ada-ada saja, ini sudah tengah malam masih mau bangunkan orang," ujar Cempaka sedikit mencebik. Cempaka membuka pintu kamar lalu turun ke lantai satu. Dari jendela kaca, Cempaka melihat sang paman masih berusaha untuk melempar ke arah pintu balkonnya, kali ini dengan botol minuman plastik. Klik klik! Ceklek. Pintu restoran terbuka. "Aya naon, Mang? ini teh sudah jam setengah satu malam." (Ada apa, Paman?) Melihat keponakan perempuannya membuka pintu, Marsudi cepat-cepat berjalan mendekat. "Campak, kasih Emang tiga juta, cepat!" Marsudi buru-buru menengadahkan dua tangannya ke arah Cempaka. Cempaka melihat penuh kaget ke arah sang paman. Tiga juta. Bukan nominal sedikit. "Mang, mau buat apa uang tiga juta itu? bukan sedikit atuh," ujar Cempak. "Sudah, kasih saja, jangan pelit! cepat!" Marsudi ngotot minta cepat diberikan uang. Menyesal sekali Cempaka bangun dan membuka pintu malam ini. "Kenapa masih berdiri? ayo ambil uang!" Marsudi membalikkan badan Cempaka ke dalam restoran. Dia mendorong Cempaka naik tangga lalu dia dengan tidak sabar menunggu di pinggir tangga. *** Cempaka yang mengunci pintu kamar itu duduk di depan pintu kamarnya. Dia menghadap ke arah jendela yang berdampingan dengan ranjang kasur. Tengah malam begini sang paman minta uang dadakan begitu, pasti karena …. Kalah judi lagi. Cempaka mengusap wajahnya, dia menyembunyikan wajahnya di lekukan lutut dan paha. Semenjak usaha rentenir sang paman bangkrut empat tahun lalu. Dia datang tinggal dan membuka bisnis makanan unik. Sang paman yang sudah kecanduan judi dari lama itu terus menerus memerasnya. *** 'Ayam kari utuh ekstra kuah, gratis nasi, sambal bawang, satu juta lima ratus ribu rupiah. Harga obral menolak ditawar.' Klik. Postingan terkirim. Satu detik kemudian. 'Saya.' Lalu beberapa detik kemudian pesan masuk ke kotak pesan insta. 'Penerima atas nama Shinta Aulia, lantai tujuh Departemen Marketing–ArchiBigJen Enterprise Tower, jam 12 siang. Saya tunggu.' Nama pelanggan ini adalah pelanggan yang satu minggu lalu pernah memesan di restoran miliknya. Di lantai tujuh Departemen Marketing ArchiBigJen Tower. Namun, lantai marketing yang dia naik waktu itu adalah lantai 20. Apa sudah berganti lantai? pikir Cempaka. Di Departemen Marketing, ArchiBigJen Enterprise Tower. "Hari ini harus dapat!" Shinta berseru gemas. "Sst! jangan keras-keras." Farida menoel sang teman. Shinta melirik ke arah Manager yang sedang berdiri dengan asistennya. "Ayo, hari ini kita rapat. Jodi, jangan lupakan berkas apapun, Bos akan menanyakan perihal detail rencana marketing kita," ujar Bu Sari. "Baik, Bu." Jodi–Asisten Manager berusia 30 tahun itu mengangguk serius. Di dua tangannya memegang beberapa kertas. *** Kali ini Sinta menunggu di depan pos satpam. Dia tidak ingin kecolongan lagi. Ada rapat besar yang diadakan oleh pimpinan perusahaan, jadi dia punya waktu untuk menunggu, meski sudah lewat jam makan. Ya, sudah lewat jam makan, sebab ini telah jam dua siang. Jangan sampai kejadian satu minggu lalu terulang lagi. Shinta tidak mau! Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya seorang gadis rambut pendek ber-blus coklat berjalan buru-buru ke arah palang pintu. Wajahnya penuh dengan keringat, blus itu basah karena keringat yang keluar sangat banyak. Shinta melihat Cempaka memegang rantang besar makanan bertuliskan Amis Amis Asup. Matanya menyala seratus watt. "Saya penerimanya!" Shinta berseru lalu berlari kecil ke arah Cempaka. Cempaka melihat pelanggannya. "Mbak Shinta Aulia?" tanya Cempaka. "Ya, benar itu saya. Saya yang memesan ayam kari ekstra kuah," jawab Shinta. Cempaka melihat serius ke arah Shinta. "Anda terlihat … lebih muda … untuk sekarang ini." Shinta, "...." jadi pemilik restoran Amis Amis Asup telah benar-benar salah mengira. Ingin jujur, namun tak bisa. Shinta Aulia hanya tersenyum, "Ya … um, saya bayar sekarang makanannya." Shinta buru-buru membuka dompet. "Maaf sekali, Mbak Shinta. Saya telat dua jam. Begini, akhir-akhir ini hujan, jalan banjir, tapi tadi panas, saya terjebak di jalan karena lumpur bawaan banjir mengering," ujar Cempaka. "Ah, tidak apa-apa kok Mbak Campak." Shinta tersenyum. "Ini Mbak Campak. Saya baru lihat wajah Mbak Campak, manis." Puji Shinta. "Terimakasih, Mbak Shinta. Mbak Shinta malah lebih cantik dan manis atuh," balas Cempaka. Dia mengambil uang lalu memberikan rantang makanan. *** "Bulan depan akan dijadwalkan pertemuan besar antara seluruh cabang dan bidang bisnis milik ArchiBigJen di sini, rapat kerja selama satu minggu, semua akan difasilitasi menginap di hotel milik ArchiBihJen. Sampai di sini." Tutup Akbar dalam rapat. Dia melirik jam digital yang menunjukan pukul dua siang. Akbar mengambil kertas desain yang dia desain satu minggu lalu, dan berjalan keluar ruang rapat yang berada di lantai 13 dengan dua sekretarisnya–Sandi dan Linda. Akbar memasuki lift pribadi miliknya, dia berpisah dengan dua sekretaris. Jemari Akbar menekan pesan. 'Siapkan mobil.' Dalam satu menit, pintu lift terbuka. Akbar keluar dari lift. Anti dan Ria buru-buru memperbaiki penampilan mereka. "Selamat siang, Pak Akbar." Akbar melewati, pintu terbuka lalu masuk ke mobil. "Archi's Taste." Suara Akbar terdengar datar. Sang supir mengerti. Mobil berjalan. "Baik, Pak." Cuaca yang tadinya cerah kini berubah lagi. Kali ini angin mulai kencang lalu turun rintik demi rintik air dari langit. Tik tik tik. Hujan mulai turun sedikit demi sedikit. Campak melindungi kepalanya dengan telapak tangan agar hujan tidak menerpa kepalanya, namun apa daya, angin bulan November sangat kuat. Blus yang dia pakai bahkan tersingkap. Untung saja dia memakai baju kutang kaos. Cempaka berlari cepat mencari perlindungan. Angin kencang. Ciiit. Mobil hitam berhenti. Pintu terbuka. Cempaka melirik ke arah samping trotoar, dia yang sedang berdiri di trotoar melihat ke dalam mobil yang terbuka. Seorang pria berkata, "Hujan, masuklah." Cempaka melihat baik-baik orang yang menawarinya tumpangan. Dia tidak biasa naik tumpahan orang. Namun, saat melihat wajah pria itu, Cempaka sempat menutup mulut tak percaya dan terlihat agak kikuk. Sebab, pria itu adalah pria yang dia temui di dalam lift. Pria yang mendengar suara kentutnya. Namun, fokusnya bukan kentut, melainkan sifat orang yang dia nilai baik itu. Karena orang baik, maka Cempaka memutuskan untuk masuk. Toh, pria di dalam mobil memang baik, buktinya saja saat dia kentut, pria itu tidak memarahinya. Cempaka masuk lalu menutup pintu mobil. Sang supir hanya bisa menuruti apa yang disuruh oleh sang bos. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba bos berbaik hati untuk memberi tumpangan pada 'orang asing', sangat jarang sekali. Ah, bahkan tidak pernah selama dia bekerja menjadi supir selama 19 tahun. Mobil melanjutkan perjalanan, terasa sunyi dan sepi, tidak ada yang berani bersuara. Akbar pun tak berniat membuka suara lagi. Dalam pertengahan perjalanan. Brruuuk! Proooook! Buk buk buk! Lima suara terdengar sangat jelas di dalam mobil mewah itu. Sang supir terkaget, dia ingin menjerit, pikirnya itu adalah bom, namun dia berusaha membungkam mulutnya. Matanya melirik ke kaca spion depan. Ini …. Kentut. Bunyi kentut. Dan …. Bunyi kentut itu berada di sebelah bos mereka. Tidak ada yang berani bersuara baik sang supir maupun pelaku kentut. Lalu sebuah suara terdengar. "Makan apa?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN