Satu jam lebih Revan dan Nadia akhirnya keluar dari teater setelah menonton film horor, tapi bukannya ketakutan layaknya gadis-gadis yang keluar dari tempat sama, Nadia malah tertawa dan sambil ia sedang menceritakan apa yang terjadi di film yang ia tonton tadi.
"Lucu banget muka hantunya, gak ada serem-seremnya," kata Nadia sambil terus dibarengi tawa.
"Lo kesurupan hantu tadi ya? Ketawa mulu," tanya Revan saat melihat tingkah Nadia.
"Sembarang, lucu banget kak, masa ada setan mukanya penuh sama bedak putih sama kantung mata hitam kayak kurang tidur," ucap Nadia lagi.
"Namanya buat kesan seram. Emang bukan cewek gue rasa lu," ujar Revan.
"Gue cewek yak, 100 persen cewek. Asli dari lahir, mau lihat?" tawar Nadia.
"Lihat apa? Jangan sembarang ini tempat umum. Dah mending kita makan aja," ajak Revan pada Nadia.
"Ide yang bagus, aku juga udah lapar banget."
Kemudian keduanya berniat pergi meninggalkan bioskop saat mata Nadia tak sengaja melihat sesuatu yang tak asing bagi pikirannya. Seseorang yang hampir setiap hari bersama dengannya, siapa lagi kalau bukan salah satu anggota gangnya, meskipun gang tak bernama.
"Inces, ngapain lo?!" seru Nadia, Roby yang ditegur sedikit kaget.
"Nadnad, lo ya, ngagetin aja. Kalau jantung gue copot gimana, gak bisa dipasang balik nih." Begitu kata Roby dengan gaya sedikit bancinya yang ia jaga.
"Copot paling nyangkut di lambung. Ngapain di sini dan sama siapa ini om, g***n lo ya?" tanya Nadia.
"Mulut lo ya, indah banget kalau ngomong," kata Roby kemudian ia sedikit berbisik di dekat telinga Nadia. "Jangan kenceng-kenceng Wak, takut dese maluku."
"Jauhnya si g***n dari Maluku."
"Malu maksud gue," perjelas Roby.
"Begitu, dah lah gue mau pergi. Lo kencan aja sana Om ganteng itu," kata Nadia. "Bye-bye inces, ketemu di sekolah besok. Kalau gue masuk. "
Setelah mengatakan hal itu Nadia menarik tangan Revan untuk pergi menjauh dan benar-benar keluar dari bioskop. Tak jauh dari sana ada tempat makanan yang masih di sekitaran mall di mana mereka berada.
Nadia dan Revan berhenti di tempat makan cepat saji, kemudian memesan beberapa makanan. Sambil makan mereka pun kembali mengobrol.
"Itu tadi temen lo?" tanya Revan.
"Siapa?" tanya balik Nadia.
"Itu tadi yang lo panggil inces apa inces, yang kayak bandeng presto tanpa tulang," kata Revan.
"Temen sekelas dan juga teman senggang. Kenapa? Kakak suka?"
Revan keselek kulit ayam mendengar itu. "Gue gak doyan makhluk begituan. Tapi kalau Omnya boleh juga."
Revan sedikit tertawa tapi tertahan dengan makanan yang ada di mulutnya.
"Dih, belok lo."
"Ke kiri apa ke kanan? Tapi ini ke kanan kok beloknya."
"Apaan tuh?"
"Lampu sen emak-emak."
Keduanya tertawa karena pembicaraan itu, hingga terdengar beberapa pengunjung di sana tapi mereka seolah tak peduli malah sibuk dengan dunia yang mereka miliki saat ini.
Saat ini rasanya Nadia begitu bahagia, bukan karena pembicaraan yang penuh tawa itu, tapi karena bisa bersama dengan Revan orang yang selama ini sudah ia anggap seperti sahabat sendiri baginya, sedangkan Revan menganggapnya seorang adik kecil yang mungkin baginya nakal.
Namun, sebenarnya Nadia memikirkan jauh dari itu. Dengan sikap Revan yang begitu baik, perhatian dan juga selalu ada, ia berharap Revan menyimpan satu perasaan lain padanya. Perasaan lebih dari adik-adikan atau sahabat.
Meskipun bisa diakui bahwa sebenarnya Nadia sudah menyukai Revan cukup lama sejak masih kecil, Nadia menyukai Revan karena banyak hal yang membuatnya suka, tapi ia tak yakin tentang Revan yang bisa ia lakukan hanya berharap.
Kadang ia pikir untuk mengatakan secara langsung tanpa bercanda tapi ia belum sanggup menerima respon dari Revan. Ia tak bisa membayangkan jika nanti setelah ia mengatakan dengan jujur dan serius Revan malah berubah sikap, walaupun itu seperti hal yang sedikit mustahil.
Setelah makan dan mengobrol cukup lama dengan tawa yang mengganggu pengunjung lainnya mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana. Sebelum ada pengusiran paksa dari pengunjung lainnya, karena mereka membuat rusuh.
"Mau langsung gue antar pulang?" tanya Revan begitu mereka berada di dalam motor. Dan membawa motor itu keluar daerah gedung mall.
"Langsung aja kak, gue udah ngantuk banget, lagian besok sekolah, meskipun pastinya gue gak masuk kelas," kata Nadia.
"Baiklah Tuan Putri, mari kita kembali ke istana."
Setelah itu Revan pun membawa mobil itu dengan kecepatan sedikit naik agar tak terlalu lama di jalanan. Sementara itu tanpa mereka sadari ada sebuah mobil lain yang terus mengikuti mereka sejak keluar dari mall, sebenarnya sudah mengikuti mereka dari menuju bioskop, menonton di teater yang sama dan memperhatikan mereka makan.
Siapa lagi kalau bukan Gery, guru dari Nadia. Atas permintaan orang tua Nadia untuk mengikuti dan menjaga Nadia selama bersama dengan Revan.
Padahal beberapa jam sebelumnya, ia sedang berada di panti asuhan melihat anak-anak seperti biasa yang ia lakukan, tapi karena ia tak bisa menolak permintaan itu jadi mau tak mau ia pun harus pergi. Lagi pula ia tak keberatan atas apa yang orangtua Nadia inginkan.
Orangtua Nadia sudah begitu percaya padanya, menitipkan pada dirinya. Gery pun berpikir bahwa itu pun mungkin tugas guru untuk mengurus anak-anak muridnya di mana pun berada.
Setelah beberapa saat mengikuti Nadia dan Revan akhirnya mereka pun sampai di rumah Nadia. Gery sedikit legi mengetahui bahwa keduanya tak melakukan apapun dan memutuskan untuk pulang. Setelah melambai pelan Revan pun pergi dari sana. Begitu juga dengan Gery yang memutuskan untuk pulang ke apartemen miliknya. Sebab besok ia harus mengajar cukup pagi.
Namun, ketika berada di jalan pulang Gery menyadari seseorang dengan menggunakan motor mengikutinya dari belakang. Ia pun menghentikan mobilnya dan motor itu berhenti di depan mobil miliknya.
Pengendara yang tak lain Revan turun dan melepaskan helmnya kemudian berjalan mendekati mobil Gery.
"Turun lo!!" teriak Revan sambil menggedor kaca mobil Gery.
Dengan tenang Gery membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana, mereka berdiri sejajar.
"Siapa lo?! Dari tadi lo ngikutin gue kan?! Mau apa lo?!" sambung Revan sambil berteriak dan bertanya.
"Sory-sory, gue gak maksud ngikutin. Cuma gue gak hapal jalanan sini, keluar dari mall tadi yang barengan sama gue cuma motor lo, gue ikutin siapa tau sejalur. Ternyata enggak," kata Gery jelas sekali ia berbohong soal itu.
"Alasan, kenapa lo gak gunain maps atau GPS di mobil keren lo?"
"Gak kepikiran, baru kepikiran barusan. Sorry gue gak maksud apa-apa," ucap Gery lagi. Ia tak ingin mencari masalah saat ini.
"Oke, awas kalau sampai lo macem-macem. Abis lo sama gue." Revan mengancam kemudian membawa menuju motornya dan berlalu pergi.
Gery hanya bisa menarik napasnya, ia masih bersikap tenang kemudian berlalu pergi dari sana. Ia tak ingin mencari masalah dengan siapa pun, bukan ia takut tapi sepertinya hal itu tak perlu dan tak penting untuk dilakukan. Lebih baik ia fokus hanya untuk menjaga Nadia saja, jika terjadi hal-hal yang diperlukan baru ia bertindak.
Lagi pula orangtua Nadia meminta merahasiakan hubungan mereka sampai Nadia bisa menerima semua itu, ia tak boleh gegabah dengan mencari masalah dan kemudian membuat semuanya jadi berantakan.