Revan mengetuk pintu rumah Nadia beberapa kali, tak ada jawaban malah ponselnya berdering. Nadia mengirimnya pesan mengatakan untuk menunggu sebentar karena ia sedang mandi.
Gadis menyebalkan, kenapa tak membiarkannya masuk dan duduk dengan tenang di dalam. Apa Nadia takut jika Revan akan mencuri sesuatu di dalam sana, lagi pula itu seperti hal yang mustahil. Revan banyak uang, keluarganya kaya raya mencuri bukan kebiasaannya.
Lima belas menit kemudian pintu terbuka, Nadia menampakkan dirinya dengan wangi yang semerbak, rasanya ia habis mandi dengan kembang tujuh rupa-rupa warnanya, tapi ini bunga bukan balon.
"Ngapain jongkok di depan situ?" tanya Nadia begitu melihat Revan jongkok di sana, karena ia sudah lelah berdiri.
"Capek berdiri terus." Revan bangkit dan menyodorkan satu plastik berisi sekotak martabak manis pada Nadia.
"Lah-lah, itu di pojok ada kursi yak, kakak bisa duduk di sana." Nadia menunjuk sebuah kumpulan kursi dengan satu meja di teras tak jauh dari pintu utama.
"Jalan ke sana butuh tenaga, lagian bawel banget sih, mau duduk nih cepetan suruh masuk," rungut.
"Iya, silakan masuk Tuan Pangeran," kata Nadia mempersilakan Revan masuk.
Tanpa pikir panjang Revan masuk, Nadia mengikuti dari belakang dan akhirnya Revan duduk di sofa ruang tamu sedangkan Nadia membawa kotak itu ke belakang untuk menaruhnya di wadah.
Tak berapa lama Nadia membawa wadah berisi martabak manis berisi full keju, terlihat begitu enak, mewah dan menggugah selera makan. Nadia menyukainya, tepat seperti yang Revan duga. Meskipun Revan tak perlu menduga karena ia sudah tahu sejak lama, belasan tahun saat mereka berkenalan dan menjadi sahabat.
Dulu awal pertemuan mereka adalah ketika sekolah dasar. Revan kala itu kelas lima sedangkan Nadia kelas dua. Nadia sudah sangat nakal sejak kecil bahkan di usianya itu ia berani bertengkar dengan teman sekelas Revan. Revan yang melihatnya tertarik dan mereka pun bersahabat sejak saat itu. Terkesan konyol memang tapi begitulah adanya.
"Om Hexa sama Tante Hera gak ada di rumah?" tanya Revan sambil ikut memakan martabak meskipun beberapa kali Nadia menepis tangan Revan.
"Mata lo buta ya kak, jelas-jelas gue sendirian di rumah," jawab ketus Nadia.
"Sewot amat, lagi PMS ya lo, kebiasaan. Dasar semua cewek sama aja."
"Merasa jadi korban lo?"
"Enggak sih, tapi kayaknya lo masih gak suka ya kalau gue tanya soal Om sama Tante, gak pernah akrab lo sama orangtua sendiri," kata Revan.
"Orangtua gue gak kayak orangtua kakak, jadi kakak gak bisa bilang gitu. Its different you know."
"I know," ujar Revan lagi.
"Udah ah gue mau nyimpan nih martabak di kulkas bentar, habis nanti lo makan," ucap Nadia sambil membawa martabak manisnya ke dapur.
"Heh, pelit banget sih lo. Nanti kalau abis gue beliin lagi gerobaknya, borong-borong, karena murah banget!" Revan berteriak saat Nadia sudah berjalan menuju dapur.
"Bacot!" Terdengar teriakan Nadia dari dapur.
Revan sedikit mengulas senyum pada ucapan Nadia itu, kemudian ia pun berdiri dan melihat sekeliling ruang tamu yang cukup besar itu. Lebih besar dari rumah miliknya di luar kota, bayangkan saja ruang tamu milik keluarga Nadia sudah seperti indekos murah jika dipisah bisa jadi lima pintu harga lima ratus ribu.
Revan memandang semuanya, padahal sudah puluhan kali ia mampir ke sana. Sejak ia dan Nadia masih SD. Sejak SD hingga lulus SMP ia bersama dengan Nadia, begitu lulus ia keluar kota karena orangtua pindah kantor jadi terpaksa ikut.
Namun, setelah lulus SMA ia kembali ke Ibukota untuk kuliah dan memilih tinggal di apartemen seorang diri, hal itu lebih membuatnya bahagia. Terlebih lagi ia bisa bertemu kembali dengan Nadia yang sudah ia anggap seperti adik sendiri, Nadia juga begitu bahagia mendapati dirinya kembali ke ibukota.
Saat Revan sibuk memandangi ruang tamu itu, dua orang datang, mereka adalah orang tua dari Nadia.
"Lho Kak Revan, udah lama di sini?" Tanya Hexa begitu melihat Revan.
"Baru aja kok Om-Tante, tadi mau ngajak Nadia jalan-jalan," jawab Revan begitu ramah.
"Begitu, gimana kabar Mama sama Papa di sana? Betah tinggal di dekat pedesaan ya?"
"Kabar baik Om. Papa sama Mama betah banget, tiap berangkat ke kantor bisa lihat sawah udaranya juga sejuk di sana," kata Revan.
"Kalau sudah waktunya pensiun nanti Om sama Tante nyusul kesana," kata Hexa lagi. "Kalau gitu Om sama Tante masuk dulu ya, Jalan-jalan saja sama Nadia, tapi jangan ketempat aneh-aneh."
"Siap Om." Setelah Revan mengatakan itu. Hexa dan Hera pun berlalu pergi menuju kamar mereka, ketika mereka berjalan tanpa sengaja berpapasan dengan Nadia yang kembali dari dapur.
"Tiba-tiba males di rumah," ucap Nadia.
"Kenapa? Emak sama Bapak lo dah balik tuh," ujar Revan.
"Justru itu yang bikin males, kita pergi aja yok, kenapa gitu. Clubbing, ngerokok, atau judi sekalian." Nadia berucap sekenanya.
"Gila lo. Kita jalan-jalan aja keliling kota sambil melihat-lihat keramaian yang ada." Revan berbicara sambil sedikit menyanyi.
"Freak banget sih lo kak. Udah ayok." Nadia menarik tangan Revan untuk keluar dari sana dan kemudian Revan membawa motornya keluar dari area rumah Nadia.
Ketika berada di jalan, Nadia memeluk erat Revan dari belakang, Revan sama sekali tak marah atau menyingkirkan tangan Nadia karena hal itu sudah biasa terjadi, Nadia melakukannya berulang kali setiap naik motor bersama.
Saat ini Revan tahu bahwa Nadia sedikit kesal dengan kedatangan orang tuanya karena mereka tak akrab. Ketidak akraban mereka itu terjadi karena beberapa hal yang Revan sendiri tak bisa memikirkannya.
Dulu Nadia masih bisa bahagia karena adanya sang nenek tapi kemudian neneknya meninggal hal yang membuat Nadia pasti sangat sedih sekali. Orang yang sangat menyayangi Nadia pergi untuk selamanya.
Keduanya terus berkeliling kota, kemudian Revan memutuskan untuk mengajak Nadia menonton film di bioskop. Biasanya Nadia suka film horor dan pembunuhan, memang Nadia berbeda dengan perempuan kebanyakan bahkan soal genre film.
Ketika Nadia dan Revan sedang menikmati malam yang tidak indah-indah banget, Hexa dan Hera sudah selesai membersihkan diri mereka.
"Revan sama Nadia akrab banget, Pa." Begitu kata Hera yang saat ini tengah mengeringkan rambutnya dengan Hairdryer di meja rias.
"Mereka kan sudah temenan sejak kecil. Mama juga tahu itu kan," kata Hexa sambil memasang celana kolornya pakaian untuk tidur.
"Emang sih Pa, tapi kan kita sudah menjodohkan Nadia dengan pria lain, gimana kalau Nadia sama Revan saling suka, bukannya itu masalah" ujar Hera.
"Papa jamin gak bakalan terjadi, lagian Revan itu idealis sama kayak Papanya mana mungkin ia menyukai Nadia anak nakal dan urakan kayak gitu." Meskipun Hexa mengatakan seperti itu tapi ia sendiri ragu. Namun, ia yakin pria yang dijodohkan dengan Nadia pasti pilihan terbaik.
Hexa sudah memikirkan perjodohan itu sejak lama, dengan pikiran yang begitu matang tak mungkin ia salah. Lagi pula pria yang ia jodohkan dengan Nadia adalah pria yang memiliki latar belakang yang baik dan tak akan menjadi masalah nantinya. Buktinya sampai saat ini pria itu masih sabar menghadapi sikap nakal Nadia. Jika tak sabar mungkin sudah sejak lama pria itu menyerah dengan mengibarkan bendera putih.