7. Tidak Perlu

1135 Kata
Cyra tak habis pikir apa yang terjadi padanya tadi malam. Ia sampai tak bisa tidur, bahkan saat pria itu mendadak pergi di pagi-pagi buta, ia masih terjaga dari tidurnya. Lelah sudah tak Cyra rasa lagi, ingatannya masih tertuju pada kejadian tadi malam ditambah pula dengan sebuah note yang terdapat di dekat tas kampusnya. Note dari pria yang sama, berisi : Mas pergi dulu, Cyra. Ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Cyra menepuk wajahnya berulang kali, ia harap semua kejadian itu hanya mimpi, sayangnya, harapannya dipupuskan oleh ingatan tentang note tersebut. Memang sungguhan nyata, astaga. Dengan kondisinya yang begini, Cyra bersyukur bisa kuliah lancar tanpa gangguan yang aneh-aneh. Bekerja pun tak ada yang perlu dirisaukan. Lebih baik ia fokus agar cepat pulang ke rumah untuk mengistirahatkan mata serta badannya yang remuk setengah mati. Dan tentang Mas Rendi, Cyra rasa perlu menjauh dari pria itu. Cyra takut, takut pada Rendi juga pada dirinya sendiri. Manusia tak luput dari khilaf, ia harus menghindarinya. Demi dirinya dan demi orang lain. Di sini tekad Cyra bulat, ia kedepannya akan lebih berani lagi menolak. Jika tidak akan habis dirinya. Ah, pikirannya sudah kemana-mana, jelas ini tak baik. "Cyra!" Baru saja keluar rumah makan, Cyra langsung mendapat sambutan dari Rio. "Kak Rio," sapa balik Cyra. "Tidak lupa sama janji kita, 'kan?" Cyra tersenyum kaku lalu menggelengkan kepalanya. Jujur ia lupa, sama sekali tidak ingat malah. Baru ingat sekarang ini, keterlaluan tidak sih? tidaklah ya, dirinya 'kan manusia biasa. "Tidak, Kak Rio," bohong Cyra agar tak menyakiti. "Kalau gitu, ayo naik!" pinta Rio sambil melirik boncengan motor di belakangnya yang kosong. "Iya, Kak." Diawali dengan tawa ringan, Cyra mengiyakan. Mau menolak, ia tidak tega. Jelas laki-laki ini sengaja menunggunya di sini. Mana tega mau nolak. Hah, mana lelah sekali, semoga tidak lama. Ketika sedang dalam perjalanan, Rio aktif mengajak Cyra berbicara. Entah itu tentang kampus ataupun pekerjaan. Obrolan singkat-singkat saja, lebih banyak diamnya. Cyra pun tak menjawab panjang, ia menjawab semampunya dan sebisa telinganya mendengarkan. Sampai ditempat es krim yang dimaksudkan oleh Rio kemarin, keduanya turun kemudian memesan. Cyra asal pesan saja, yang penting ia tahu itu coklat. Urusan toping, campuran atau apalah itu, ia tidak peduli. Cyra memandang sekitar, tempat ini benar-benar ramai meski baru buka. Semuanya juga masih bersih dan rapi. Pelayanannya cepat, ramah juga, tidak terlalu buruk untuk memberi kesan. Tinggal rasanya saja. "Mau di lantai atas atau di bawah?" tanya Rio, kedua tangannya sedang memegang nampan berisi pesanannya dan juga Cyra. Gadis yang ia ajak ke sini. Cyra melihat sekeliling, di bawah terlalu ramai cenderung full padahal hampir pukul setengah sepuluh malam. Kebanyakan anak muda yang lagi nongkrong bersama teman-temannya. Cyra akui tempat ini memang asik dibuat nongkrong. Suasananya pas, mendukung pula. "Di lantai atas saja. Semoga di sana sepi." "Sekarang kita ke atas saja," ajak Rio. Ia jalan mendahului Cyra sementara Cyra mengikuti di belakang. "Cyra tidak suka keramaian?" "Bukan tidak suka, Kak. Di bawah sana hampir tidak ada tempat duduk. Masa kita mau duduk di lantai." Tawa Rio meluncur. "Tidak harus di lantai, Cyra." "Terus di mana?" "Di teras depan." "Yak, kalau begitu sekalian saja jadi penjaga." "Tidak apa-apa, asal bayarannya makan es krim gratis tiap bulan," balas Rio. "Kita duduk di sini saja ya." "Boleh." Mereka berdua memilih duduk di pojok dekat tangga yang mereka lalui. Tidak terlalu masuk ke dalam. Capai yang ada saja. "Ternyata tak hanya jual es krim saja di sini. Ada mie juga." "Kak Rio baru pertama kali ke sini?" tanya Cyra seraya mencicipi es krim pesanannya. Tadinya Rio menawarkannya mie untuk di pesan juga. Tapi Cyra tidak mau, jadinya Rio hanya memesan es krim dan camilan ringan saja. Rio menganggukkan kepalanya. "Aku diberi tahu temanku. Dia hanya menyebut toko es krim. Aku kira jual es krim saja. Ternyata tidak." "Memang Kak Rio suka es krim?" "Tidak terlalu, aku pikir perempuan suka es krim. Aku ajak Cyra ke sini." Oh begitu awalnya ia diajak ke sini. Modus-modus para lelaki memang begini. Mencari tahu tempat atau makanan yang disukai cewek-cewek padahal tidak semua cewek suka. Tetapi tidak ada salahnya juga, namanya usaha, apapun pasti dilalui. "Cyra suka es krim." "Tidak terlalu suka." "Cyra tidak menyukai ini?" Dari wajah Rio, Cyra dapat melihat raut panik di sana. Cyra lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Tetapi aku suka es krim ini. Tidak terlalu manis dan membuat enek." Wajah Rio berubah lega. "Cyra suka apa?" "Makanan apapun asal tidak manis." Jawaban yang mudah untuk ditebak bukan? ya, lebih baik daripada kata terserah. "Lain kali aku ajak ke suatu tempat, pasti kamu bakal suka." Cyra menanggapi dengan senyuman kecil, dari pertemuan di parkiran kemarin Cyra sudah tahu niat awal kakak tingkatnya ini padanya. Setidaknya Cyra tidak bodoh akan maksud ajakan ini. Tentu saja untuk pendekatan, saling mengenal lalu ... ya begitulah. Makan es krim malam ini tidak terlalu buruk, Cyra merasa lebih baik. Perasaan campur aduknya perlahan hilang. Memang benar, mood buruk jika disatukan dengan sesuatu yang manis bisa menyembuhkan, ajaib sekali. "Terima kasih mau mengajak Cyra ke sini, Kak Rio." "Sama-sama, Cyra. Emm, jika boleh ..." sejenak Rio berhenti berbicara, ia menunjukkan keraguan "... mau berbagi nomor ponsel denganku, Cyra?" Tebakan Cyra benar. Namun bukan berarti Cyra tak mau memberikannya. Karena hari ini ia dibuat baik, tidak ada salahnya memberi. "Boleh, Kak." Cyra mengeluarkan ponselnya. Ia ingin langsung menyimpan nomor kakak tingkatnya ini kemudian mengirimi pesan singkat. Jujur, ia sendiri lupa nomor ponselnya. Tentang menghafal nomor telepon ia tidak pernah bisa melakukannya. Inilah kekurangan Cyra yang orang lain tidak tahu. Tidak mudah menghafal angka. "Kakak sebutkan saja nomor telepon Kakak, biar Cyra yang--" ucapan Cyra berhenti saat ini melihat pantulan dirinya di atas layar ponselnya sendiri. Astaga, berantakan sekali. Ia perlu ke kamar mandi. Malu sekali, muka kucel dan rambut berantakan. Kenapa Kak Rio tidak bilang coba? tidak malu apa pergi dengan orang mukanya begini. "Kak, Cyra mau ke toilet dulu ya." Cyra bergegas berdiri dari duduknya dengan tas yang masih tersampir apik di punggungnya. Ia pergi meninggalkan Rio, lalu mendekati seorang pegawai perempuan bertanya perihal letak toilet, tidak menyadari seseorang melihat tingkahnya itu dalam diam. Pegawai tersebut menunjukkan letak toilet pada Cyra. Di lantai ini ada, cuma ada dipojok dan perlu sedikit berbelok. Tidak lupa Cyra mengucapkan terima kasih sebelum berjalan cepat ke toilet. Masuk ke dalam toilet Cyra langsung mencuci muka hanya dengan air. Tak ada make up yang perlu dihapus karena memang Cyra tidak pernah menggunakan riasan. Ia pun merapikan rambutnya yang mencuat di sana-sini lalu menguncirnya dengan rapi. Tak ketinggalan, ia menyemprotkan sedikit minyak wangi di pakaiannya meski belum mandi setidaknya ia harus wangi. Merasa cukup, Cyra pun keluar dari toilet. Baru menginjakkan kaki diambang pintu keluar masuk toilet, belum benar-benar keluar, mata Cyra tiba-tiba membeliak terkejut melihat sosok yang tak ia duga berdiri bersandar di depan pintu toilet perempuan. "Pak Zaff!" "Tidak perlu membuktikan diri baik jika memang tidak baik, Cyra Shaqueena."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN