Berdiri tegap di depan Cyra, sosok Zaffar
sang dosen tercinta yang beberapa hari lalu bermasalah dengannya. Cyra jelas terkejut, ia tak menyangka bisa menemukan gurunya di tempat seperti ini.
"Pak," sapa Cyra.
"Saya lama-lama iba sama kamu. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan selain mendo'akan kamu. Saya harap kamu tidak egois. Demi kepentingan dirimu sendiri kamu sampai tega menyakiti hati anak orang lain. Jangan lakukan itu Cyra." Zaffar menarik napas kemudian menghembuskannya, ia terlihat seperti orang yang tengah putus asa. "Untuk sembuh dari perilaku menyimpang kamu, tidak perlu mengorbankan orang lain, Cyra. Kamu tidak perlu memaksa orang lain masuk ke dunia mu hanya untuk menciptakan dunia yang palsu padanya. Tunjukkan rasa simpatimu, Cyra."
Rasa terkejut tadi berganti dengan kekesalan dan emosi. Cyra ingin meluapkannya, membentak dosen boleh tidak sih? Hah, kedua tangan Cyra pun ikut mengepal di kedua sisi tubuhnya akibat rasa kesal yang telah sampai ke ubun-ubunnya.
Ingat, hari ini moodnya sedang tidak baik. Jangan salahkan dirinya, andai berbuat di luar batas.
"Tolong bela--"
"Stop, Pak!" seru Cyra, ia sudah tak tahan lagi. Entah pikiran Cyra lagi kosong atau apa, ia menarik dosennya sendiri masuk ke dalam kamar mandi perempuan di salah satu bilik di pojok. Tujuannya hanya satu, ia tidak mau menarik perhatian pengunjung toko ini. "Sekarang harus dengan apa saya membuktikan ke Bapak kalau saya ini normal. Saya masih menyukai laki-laki, Pak."
Tidak tahu pula apa yang ada dipikiran Zaffar, pria itu bahkan tidak menolak saat Cyra menarik tangannya.
"Tolong katakan, Pak? Saya tidak mau masalah ini terlalu larut." Cyra mendekati Zaffar, ia sengaja membuat jaraknya dengan sang dosen semakin kecil. "Lihat mata saya, Pak. Apa mata saya senakal itu sampai bisa menunjukkan jika saya tertarik pada perempuan?"
"Lihat bibir saya, apa di sana ada bukti kalau saya pernah mencium seseorang apalagi itu seorang perempuan?"
Cyra semakin memperpendek jaraknya pada Zaffar yang mendadak diam.
"Lihat rambut saya, apa rambut saya berantakan karena telah diacak-acak oleh seorang perempuan yang berhubungan dengan saya?!"
Oke, Cyra tahu ini berlebihan dan tidak ada hubungannya. Tapi biarlah, Cyra tidak peduli. Ia mau menantang dosennya ini saja. Tidak ada bukti kok sukanya nuduh.
"Lihat leher saya, apa di sana ada tanda yang membuktikan saya telah ditandai oleh seorang perempuan?"
"Cyra, hentikan."
"Bapak yang berhenti!" Bantah Cyra, jarak diantara keduanya telah tiada. Cyra sedikit menjijit agar wajahnya bisa langsung bertatap mata dengan Zaffar. ia sengaja melingkarkan satu tangannya pada leher sang dosen. Menggunakannya untuk bertumpu supaya tidak jatuh.
"Terakhir, perhatikan tubuh saya, Pak. Apa tubuh saya pernah bilang ke Bapak, jika pernah disentuh oleh seorang perempuan?"
Seolah tidak takut, Cyra menunjukkan perlawanannya. Ia tersenyum licik ke arah sang dosen seraya menyentuh d**a bidang di balik ke meja putih. Cyra memberi elusan lembut di sana.
"Tolong katakan, Pak. Jangan diam," desaknya dengan suara berat yang sedikit menggoda.
Sayangnya, Zaffar masih tidak berkutik.
"Bapak sangat tampan, saya bisa saja jatuh cinta pada Bapak." Sekarang Cyra memainkan dasi Zaffar, Cyra membuat dasi itu melonggar. "Sayangnya saya tidak mau. Saya tidak suka laki-laki yang suka seenaknya seperti Bapak." Kata Bapak Cyra ucapkan secara sensual dengan menempatkan mulutnya di depan ujung bibir Zaffar.
"Tolong tahan diri anda, Pak Zaff," ujar Cyra di telinga Zaffar saat merasakan sesuatu yang keras menekan perutnya. Tak tertinggal, Cyra melakukan tingkah absurd terakhirnya. Ia tiup telinga sang dosen yang saat ini tengah berdiri kaku bak patung pajangan. "Ingat, saya murid, Bapak," lanjut Cyra kemudian mendorong Zaffar menjauh darinya.
Cyra bersendekap ke arah Zaffar sambil menatap tajam. "Silahkan tuntaskan kebutuhan Bapak dan berhenti membawa-bawa saya untuk kesenangan Bapak sendiri. Imajinasi Bapak terlalu liar, bersihkan dan menikahlah lagi!" Bersamaan dengan kalimat terakhirnya, Cyra keluar bilik toilet lalu membanting pintu itu agar tertutup kembali.
Fix, Cyra telah terpengaruh perkataan Mira kemarin siang. Cyra sadar, ia merasa bodoh sekarang.
"Kak Rio!" Cyra bergegas, menghampiri Rio. "Aku mau pergi dari sini, Kak. Aku takut."
"Takut kenapa?"
Cyra menggeleng, ia bertingkah seakan tidak mau mengatakannya sembari matanya menatap was-was pada posisi kamar mandi nan jauh di ujung sana.
"Nanti aku jelaskan, yang penting kita pergi dari sini dulu, Kak," mohon Cyra.
"Baiklah."
"Ayo, Kak!"
Cyra buru-buru menarik tangan Rio menuruni tangga. Tak peduli akan pandangan orang lain padanya. Cyra terus menarik Rio hingga ke parkiran. Begitu sampai parkiran, Cyra meminta supaya Rio segera membawanya pergi dari tempat ini.
"Cyra mau pulang sekarang?" tanya Rio saat keduanya telah jauh dari tokoh. Andai Cyra minta pulang, Rio akan putar balik dan mengantar gadis diboncengnya kini.
"Mendadak aku lapar, Kak. Boleh kita makan nasi goreng di pinggir jalan dulu?"
Dari kaca spion, Cyra dapat melihat Rio mengukir senyum di wajahnya. Untuk alasan apa itu, Cyra tidak mau tahu, yang pasti ia sedikit lega.
Lega rasanya bisa jauh dari toko itu. Cyra tahu rasa lega ini hanya akan hadir sesaat. Tetapi bagaimana nasibnya di kampus besok? Sial! menuruti emosi malah membuatnya buntung. Dan lagi, kenapa otaknya memerintahkan ia berbuat begitu coba, astaga.
"Boleh."
Tak butuh waktu lama, Cyra dan Rio sampai di sebuah tenda makan yang menyajikan nasi goreng. Keduanya pun memesan makanan kemudian duduk di salah satu kursi pada meja panjang. Keduanya saling berhadapan.
"Jadi ada apa di sana, Cyra?"
"Ada, hantu, Kak. Aku takut," balas Cyra setelah sejenak berpikir. Ia perlu berbohong karena tidak ingin ada orang yang tahu.
"Hantu?"
"Iya, Kak. Badannya hitam tinggi, matanya tajam, mulutnya juga tajam, matanya pun ikut melotot besar. Menyeramkan pokoknya, Kak." Cyra mengekspresikan sosok Zaffar dalam wujud sosok tak kasat mata imajinasinya sendiri.
Rio secara seksama mendengar cerita Cyra. Ia percaya tidak percaya sih. "Jadi itu yang membuat Cyra lama di kamar mandi?"
"Aku lama ya, Kak?" tanya Cyra, ia merasa tidak enak telah membuat Rio harus menunggunya lagi.
"Kalau boleh jujur, iya lama." Rio mengakui dengan gamblang tanpa basa-basi.
"Maafkan aku ya, Kak. Ya, bagaimana lagi namanya juga orang lagi takut, Kak." Cyra meminta maaf, kali ini ia membuat dramatis keadaannya. "Rasanya mau menangis tadi. Untungnya, aku tahu malu. Aku juga tidak mau merusak citra toko seseorang. Aku sendiri tahu kalau membuka usaha tidak gampang. Jadinya, aku di sana cuma diam saja sambil menutup mata. Aku juga berhitung loh, Kak."
"Kok sampai berhitung?"
"Iya, aku mencari waktu yang pas untuk kabur, Kak. Setidaknya dengan waktu yang aku percaya nanti, hantu itu sudah hilang dari hadapanku."
Lancar sekali Cyra berbicara, tidak satu kalimat lagi, kalimatnya sekarang lebih panjang. Tahu saja yang berdalih. Tidak mau terlihat bohong saja.
"Tadi hampir saja aku menyusul ke toilet. Andai aku ke sana, Cyra pasti tidak akan ketakutan seperti ini."
"I-iya, Kak."
Bagus Kak Rio tidak menyusul. Kak Rio menyusul, bisa gawat. Habislah aku nanti, terlalu kelewat malu.
Beda nasib antara Cyra dan Rio dengan seseorang yang saat ini masih terkurung di dalam kamar mandi. Seseorang yang sedari tadi duduk di atas closet sambil menunduk. Eskpresi wajahnya tak dapat dilihat secara jelas. Hal pasti yang perlu diketahui, seseorang itu membutuhkan waktu supaya bisa keluar dari toilet perempuan.
Bisa ditebak siapa orang itu. Ya, dia Zaffar. Malang nasibnya, telah dipermainkan nasibnya oleh mahasiswinya sendiri, sekarang malah ketimpa sial mendengar sesuatu yang tak lazim di luar sana. Hal yang terjadi padanya tadi, kian memburuk akibat tontonan gratis yang ia dapat dari celah pintu kamar mandi yang tadinya ia berniat ingin keluar. Pengunjung di sini banyak tidak sopannya. Bisa-bisanya kamar mandi toko dibuat m***m. Zaffar mendengar jelas, sungguh ia semakin panas.
Zaffar menarik dasinya yang sudah longgar, lalu ia bergumam,
"Cyra Shaqueena."