Begitu sampai rumah makan, Cyra bergegas menuju ruangannya. Kali ini ia tidak langsung membantu urusan di rumah makan, ada hal yang harus ia kerjakan di ruangannya sekarang juga. Karena ia lihat, truk pemasok barang sudah datang tadi. Ia harus mengeceknya.
Begitu membuka pintu ruang kerjanya, jantung Cyra seakan mau copot saat melihat seseorang yang tak asing dengannya. Dibanding Dosennya tadi, Cyra lebih ingin menghindari orang ini. Orang yang dulunya sangat ia kagumi justru sekarang menjadi orang yang sangat ingin ia jauhi.
"Sudah pulang, Cyra?"
Andai orang itu tidak melihatnya, Cyra pasti akan langsung menutup pintu dan pergi entah kemana. Ia akan membolos kerja sehari kemudian bersenang-senang di luar sana tanpa beban dan pikiran. Dia juga, orang yang membuat Cyra tidak bisa tidur dengan tenang.
"Sudah, Mas Rendi." Jika ada yang menebak orang itu Rendi, suami Kak Mira, selamat kalian benar. "Mas Rendi ada apa ke sini? Apa Kak Mira yang minta?" Dalam posisi ini, Cyra berusaha untuk tidak terlihat canggung. Ia mencoba bersikap biasa saja.
Cyra masuk ke dalam ruangan lalu meletakkan tas ransel miliknya di atas meja kerjanya.
"Tidak, hanya sekedar lewat," balas Rendi. Ia beranjak dari kursi utama. "Mau kerja? duduk saja."
"Tidak perlu, Mas. Kalau Mas Rendi mau duduk, duduk saja. Cyra hanya mau ambil ini kok." Cyra mengambil papan tulis yang di atasnya sudah ada beberapa kertas untuk mendata barang-barang yang datang. "Cyra mau memeriksa stok barang yang datang."
"Stok barang cepat sekali habis ya." Di telinganya Cyra, kalimat itu terasa tidak enak dengar. Cyra hanya mengangguk dan dan melempar senyum, walau tidak dibalas sama sekali. "Saya dengar banyak anak kuliah dari tempatmu makan di sini."
Cyra langsung teringat pada Rio beserta teman-temannya, mereka memang sering berkunjung ke sini. Sekedar mampir makan atau mengerjakan tugas kelompok. Terkadang Cyra ikut bergabung bersama mereka saat pelanggan tidak banyak. Cyra merasa ia cukup membaur dengan anak-anak dari jurusan kedokteran itu.
"Ah, Mas Rendi benar."
"Kamu yang minta?" pertanyaan yang terlontar dari Rendi, sekejap menusuk hati Cyra. Ia tidak perlu mengemis untuk membuat seseorang datang ke rumah makan ini bukan?
"Mereka datang sendiri kok, Mas. Mungkin karena makanan di sini enak, jadi mereka sering datang." Cyra membalas seadanya.
"Bukan karena kenal kamu?"
Suasana di ruangan ini mendadak membuat Cyra tidak nyaman, terlebih adanya orang lain yang Cyra tidak harapkan di sini.
"Cyra baru mengenal mereka saat mereka berkunjung kok." Menyaut pena di tempat alat tulis, Cyra segera pamit pergi. "Cyra ke gudang dulu ya, Mas. Cyra harus segera melihat mereka."
Mengambil langkah kaki seribu, tanpa menunggu jawaban Rendi, Cyra keluar ruangan begitu saja. Lega rasanya, terbebas dari hawa penuh sesak di dalam sana. Ia harap Mas Rendi segera pergi.
Menuju gudang, Cyra sempat menyapa beberapa pekerja yang menyapanya. Sampai di gudang, Cyra melihat seorang pekerja laki-laki membantu para pemasok barang memasukan barang ke gudang.
"Bagaimana, Jak?" tanya Cyra pada pekerja bernama Jaka.
Jaka melempar senyum sebelum berkata, "barang yang baru datang ada di sebelah kanan gudang ya, Mbak. Yang ada di kiri barang-barang lama. Tolong di periksa di pendingin juga, Jaka lihat ada barang sisa. Tapi tidak tahu masih layak digunakan atau tidak." Jaka menjelaskan dengan cukup banyak.
"Baiklah, kalau sudah selesai kamu boleh kembali bekerja."
"Siap, Mbak," kata Jaka seraya memberi hormat. Tingkah kecil Jaka mampu mengundang tawa dari bibir Cyra. "Hati-hati masuk ke dalam pendingin ya, Mbak. Jangan sampai pintunya di tutup. Pintunya masih rusak meski sering diperbaiki beberapa kali," tambah Jaka memberi peringatan pada Cyra.
"Astaga, biar nanti aku minta Kak Mira mengganti pintu dengan yang baru."
"Minta yang paling mahal juga, Mbak. Biar awet," canda Jaka.
"Siap, kamu tenang saja." Cyra menanggapi candaan itu dengan santai. "Kalau begitu saya pergi periksa dulu ya," pamit Cyra.
Cyra masuk lebih dalam lagi ke dalam gudang makanan. Ia akan memeriksa barang baru dari yang paling belakang dulu.
Di tengah fokus Cyra memeriksa barang. Dari arah depan, Cyra mendengar suara Jaka berteriak memanggilnya, "Mbak, saya kerja dulu. Semua barang sudah di turunkan!"
"Iya, terima kasih, Jaka!" balas Cyra dengan teriakan juga.
Entah sudah berapa lama Cyra berada di gudang, yang pasti Cyra hampir menyelesaikan pekerjaannya. Baik memeriksa barang lama ataupun barang baru. Tinggal masuk ke dalam ruang pendingin saja dan memeriksa barang makanan di sana.
Jujur memeriksa ruang pendingin bukanlah pekerjaan yang disukai oleh Cyra. Ia tidak suka dingin, sejuk boleh tapi dingin sekali big no. Namun, mau bagaimana lagi, meminta pekerja lain mengerjakan hanya buang-buang waktu saja. Mereka juga pasti sibuk di luar sana.
Bicara soal gudang, gudang ini berada di paling belakang sebelum ruang ganti pegawai bahkan tempatnya terpisah dari tempat utama. Di pisah untuk memudahkan akses truk barang. Truk tidak akan lewat depan melainkan lewat jalan umum belakang. Jalanan di belakang lebih sempit karena terletak di perkampungan yang padat penduduk. Meski begitu, masih aman di lewati truk pengirim barang.
Banyaknya minat pada rumah makan ini adalah hasil tak terduga. Padahal rumah makannya kecil tetapi pengunjungnya banyak. Sehingga Kak Mira berinisiatif menambah lebih banyak stok barang dibanding Minggu lalu. Ya, semoga bisa terus ramai dan barang-barang ini cepat habis dalam kondisi masih segar.
Cyra terus berusaha fokus dan menahan dinginnya ruang pendingin ini. Sesekali ia mengusap-usap tubuhnya. Mau keluar dulu ambil jaket, ia ingat tidak bawa jaket, mau pinjam pekerja lain juga tidak mungkin mereka pasti sibuk. Lagipula ia masih belum mau kembali ke ruangannya. Takut suami Kak Mira masih di sana.
Cyra punya alasan sendiri menjauh dari suami Kak Mira alias Mas Rendi. Ia tak hanya takut pada Rendi tetapi pada dirinya sendiri juga. Ia takut terbawa perasaan dan menyebabkan kehancuran. Cyra tidak mau itu terjadi. Kejadian malam itu jelas membekas di hati Cyra. Setiap perlakuan pria tersebut padanya sangat-sangat membekas dan tidak bisa Cyra lupakan. Kekagumannya pada sosok itu membuatnya hilang akal. Tega-teganya perasaan terlarang ini hadir. Bukankah ini awal dari bencana? Cyra tak mau memulai bencana itu.
Terlalu fokus memeriksa barang, Cyra sampai tidak sadar ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruang pendingin.
Orang tersebut datang dan langsung menuju ke tempat Cyra berada.
"Belum selesai, Cyra?"
Suara itu jelas mengejutkan bagi Cyra. Ia sampai menjatuhkan papan tulis beserta pena yang ia bawa.
"Mas Rendi," gumam Cyra.
"Saya tunggu kamu."
Cyra tidak menyangka, pria ini belum pergi-pergi juga. Ia kemudian menunduk mengambil kedua barangnya yang jatuh seraya berkata, "masih banyak yang harus Cy ...." ucapan Cyra terhenti.
Dari ujung matanya, Cyra melihat pintu ruang pendingin tertutup. Ia syok seketika.
"Mas Rendi tutup pintunya?" tanya Cyra sedikit keras. Ia lalu berlari mendekati pintu.
Cyra berniat membuka pintu pendingin itu, sayangnya usahanya sia-sia. Pintunya tetap tidak bisa dibuka. Ia terkurung di sini.