bc

I Love U Dokterku

book_age16+
12.4K
IKUTI
149.3K
BACA
possessive
arranged marriage
goodgirl
doctor
drama
bxg
like
intro-logo
Uraian

Cover by Dreame

Nadine putri wicaksana, dokter muda yang mendedikasikan hidupnya untuk orang-orang yang membutuhkan. Hingga suatu hari sang ayah meminta dirinya untuk menikah dengan anak temannya guna menstabilkan perusahaan yang tengah goyah, Nadine tak kuasa menolak kendati hatinya masih menyebut nama pemuda yang lain.

Meski tanpa cinta Nadine menjalankan pernikahannya layaknya pasangan normal, namun semuanya hanyalah sandiwara, mengikuti keinginan sang suami, Daniel. Daniel yang terbiasa akan adanya nadine disisinya merasa kehilangan saat ia menyuruh nadine keluar dari kehidupannya.

Perjuangan Daniel dalam merebut Nadine kembali tidaklah muda karena banyak hal yang telah terlewatkan dalam waktu tiga tahun, ibarat puzzle banyak yang harus dilengkapai agar menjadi sebuah gambar yang utuh.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian 1
Nadine Putri Wicaksana, seorang dokter muda yang memiliki dedikasi tinggi pada semua pasiennya tanpa mengenal lelah. Menyembuhkan, mengobati, merupakan hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Sekalipun sang ayah menawarkan hidup perlente, tak sekalipun ia tertarik menukar itu semua. Tak banyak orang mengenalnya sebagai putri dari Masyu Wicaksana Dimitri, salah satu pengusaha termasyur dari tanah melayu. Tak seperti adiknya yang sering wara-wiri diberbagai media dengan segudang prestasi, tampaknya jiwa sosial sang ayah menurun pada kedua putrinya. Jika Nadine bergerak dibidang kesehatan, maka Raisya lebih suka pada kegiatan sosial, salah satunya mendirikan komunitas peduli lingkungan serta turut aktif dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan yayasan pendidikan gratis untuk anak-anak kurang mampu di daerah terpencil, masih banyak lagi citra positif keluarga Dimitri. Meski begitu, bukan hal yang muda bagi Nadine untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Sejak awal ayahnya menaruh harapan besar pada dirinya kelak menjadi penerus perusahaan, menggantikannya. Sehingga Nadine mengambil kuliah kedokterannya tanpa sepengatahuan sang ayah, hingga pada suatu hari Masyu mengetahui kalau Nadine tidak jujur dengan pilihannya. “Pah ... maafin Nadine. Nadine salah udah bohong sama papa, Nadine janji bakalan keluar dari sekolah kedokteran asalkan papa gak marah lagi sama Nadine,” ucapnya dengan air mata sudah berlinang, bagaimana pun Nadine lebih takut papanya kecewa. “Kenapa kamu tidak jujur dari awal sama papa, sayang?” “Nadine takut papa nggak bolehin Nadine jadi dokter.” mendengar pernyataan putrinya, Masyu memijit kepalanya. “Papa kira kamu memang dari hati mengambil jurusan manajemen, ternyata diam-diam kamu mengambil kedokteran, kamu tidak robot sayang.Sekarang lihat, kamu masuk rumah sakit dan harus diopname.” “Nadine minta maaf pa,” ucap Nadine semakin terisak, tidak ada yang lebih menyesakkan dari pada melihat kekecewaan dari orang yang kita sayangi. “Bu dokter tolongin anak saya bu, anak saya demam, dari tadi dia bicara yang tidak jelas bu.” Panggilan ibu itu menyadarkan Nadine dari alam mimpinya. Ia melihat jam di pergelangan tangannya,"pukul dua," ucap Nadine dalam hatinya. “Baringkan di sini bu,” tunjuk Nadine pada brankar yang tersedia. Meski kantuk masih menguasai, Nadine tetap memeriksa pasiennya dengan ikhlas. Tubuhnya benar-benar lelah saat ini, dari tadi siang, ia disibukkan dengan pasien korban tanah longsor di salah satu desa yang tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja. Ia baru terlelap 2 jam, tapi tugasnya sudah memanggil. “Sejak kapan demamnya bu?” tanya Nadine, sembari memeriksa pasiennya. “Dua hari yang lalu dok, kemarin anak saya ini berenang di sungai dari siang sampai Maghrib, mungkin penunggu sungai itu marah bu dokter.” "Demamnya tinggi sekali hampir 40°. Untung daya tahan anak ibu kuat kalau tidak mungkin anak ibu sudah mengalami step, saya infus dulu yah, apa sering muntah bu?" “Iya bu dokter setiap makanan masuk selalu keluar bu, walaupun hanya air putih.” “Yah sudah biarkan anak ibu tidur dulu nanti kalau sudah bangun baru kita periksa lagi yah bu, ibu bisa istirahat di ruang tunggu saja, di sini terlalu ramai dengan pasien korban longsor.” “Tidak apa bu dokter saya di sini saja, biar suami saya saja yang di ruang tunggu, saya tidak tenang meninggalkan dia sendiri.” “Baiklah, kalau gitu saya pamit yah Bu.” “Sekali lagi terimakasih yah bu dokter saya sering merepotkan ibu.” “Sama-sama bu, itu sudah jadi tugas saya.” Rasa kantuk yang sedari tadi tidak tertahan, kini menguap entah kemana. Nadine memutuskan untuk ke kantin mencari air hangat karena cuaca kali ini cukup membuat nya kedinginan, sepertinya Insomnia nya tak pernah hilang semenjak ia mengambil jurusan kedokteran saat yang sama menjalankan studi lainnya. Nadine teringat bagaimana awalnya ia mengambil jurusan manajemen permintaan papa, disaat bersamaan dirinya mencoba peruntungan dengan mendaftar kedokteran di Universitas swasta ternyata ia lulus tentunya tanpa pengetahuan keluarga besar. Semua waktu yang Nadine miliki hanya untuk belajar, bagaimanapun ia telah mengambil tanggung jawab tersebut, berbagai jenis suplemen sudah menjadi kebutuhan dalam mengimbangi pola hidup yang sangat kacau balau. Puncaknya, saat Nadine akan mengikuti ujian skripsi ia dilarikan ke rumah sakit, tekanan darah nya rendah terkena tipus dan gejala DBD dan saat itu juga semua nya terbongkar. Kala itu Nadine merasa bersalah melihat raut kekecewaan ayahnya.Tapi akhirnya Masyu mengalah membiarkan Nadine memilih pilihannya. Meski begitu, Nadine memutuskan untuk tetap menyelesaikan apa yang telah ia mulai setidaknya hal itu yang bisa ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya, menuruti keinginan papanya agar ia lulus sarjana manajemen. Sudah banyak hal yang ia lakukan agar rahasianya tidak terbongkar, mulai dari menguras semua tabungan demi kuliah kedokteran yang terkenal mahal, hingga tidak ada waktu untuknya sekedar bermain, seperti teman-temanya. Tak ada kata yang bisa Nadine ucapkan ketika melihat raut bangga terukir pada wajah kedua orang tuanya, ia berhasil diwisuda sarjana manajemen, meski dalam kondisi rawat jalan. Dan yang lebih membahagiakan lagi kini papanya telah menerima keinginannya menjadi seorang dokter. “Ini bu dokter minumannya.” lamunan Nadine terhenti saat pelayan kantin mengantarkan pesanannya. Nadine tidak memungkiri saat ini ia sangat merindukan keluarganya, ingin rasanya ia menelpon untuk sekedar menanya kabar, tapi ini masih pukul empat pagi mungkin di sana masih pukul dua dini hari bisa-bisa seisi rumah heboh dirinya menelpon jam dua pagi. “Terima kasih bu” Nadine menerima minuman tersebut dan menghirupnya terlebih dahulu, baru meminumnya. Sambil menunggu pagi datang, Nadine memilih berselancar pada sosial medianya, ia menuliskan nama sang adik pada laman pencarian, hal pertama yang ia lihat adalah potret keluarga besarnya, dengan caption 'Minus tanpa mbak Nadine yang sedang bertugas jauh dari keluarga' Nadine mengamati potret kebersamaan keluarganya, setidaknya dengan melihat foto tersebut sudah mengobati rasa rindu yang sudah lama memuncak. *** Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah, Nadine mulai berkeliling rumah sakit memeriksa pasiennya dan kembali memastikan seluruh korban paska longsor dalam kondisi baik, sebelum ia bergegas menuju ruang staf untuk istirahat sejenak. “Bagaimana ibu, apa anaknya sudah bangun?” tanya Nadine dengan senyum yang selalu menjadi andalannya. “Sudah bu, anak saya tadi subuh sudah bangun tapi tadi dia tidur lagi, badannya juga tidak sepanas tadi malam.” “Saya resep kan obat yah? nanti bisa ditebus di apotek, setelah adiknya bangun sudah bisa pulang, kalau begitu saya permisi bu.” “Terimakasih bu dokter, kami sering merepotkan ibu.” Nadine kembali tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Tidak apa bu, sudah menjadi tugas saya sebagai dokter memberi pelayanan pada masyarakat.” *** Tak sampai tiga jam ia tertidur, pukul sembilan pagi ponselnya berdering, ternyata dari Raisya adik manisnya. “Mbak Ndine! Tebak aku ada berita apa?” Nadine menjauhkan ponselnya sejenak, memastikan kembali kalau yang menelponnya adalah adiknya. “Wa'alaikumussalam Ara, ucapin salam dulu dek.” “Heheh iya, Ara lupa.assalamualaikum mbak, Ara mau cerita kalau jadwal seminar proposal Ara sudah keluar mbak, Ara seneng banget.” “Alhamdulillah, Mbak ikut senang mendengar nya, jangan senang dulu masih panjang perjuangan kamu, masih ada sidang sama Kompre. Kira-kira bisa gak yah kamu wisuda mbak udah balik?” “Kemungkinan Ara wisuda putaran ketiga, karena untuk wisuda putaran ke dua Ara harus udah pengajuan ujian kompre dalam bulan ini, yah engga terkejar, seminar juga belum, udah kompre aja.” “Yah kalau bisa kamu jangan nungguin mbak balik baru Wisuda, kalau bisa cepat jangan lama-lama, biar cepat kamu bantuin papa di kantor.” “Iya mbak, kalau gak salah mbak balik tiga bulan lagi kan? jangan lupa bawa DOI( dia orang istimewa) pulang, kenalin sama keluarga.” “Doi apaan sih dek, kamu tuh ada ada aja. Yah kalau pihak rumah sakit enggak nahan mbak, tiga bulan lagi mbak udah balik,” jawab Nadine sambil memaksakan dirinya untuk bangun “Kok mbak betah sih di sana sendirian? mana Papua jauh banget.” “Yah mau gimana mbak dapetnya disini, lagian seru tau mbak jadi makin tau banyak tentang Indonesia.” “Iya deh bu dokter," " Mbak, sebenarnya kemarin aku udah ngenalin dia sama papa.” “Serius? Terus gimana-gimana? Apa kata papa dek ?” “Kayanya oke sih mbak, makanya mbak cepetan pulang bawa tuh duda dokter kemari, dari pada nanti mbak aku langkahin.” “Hus! kamu jangan kencang-kencang ntar kalau ada yang dengar gimana? Udah deh mbak mau tugas, lain kali kita ngobrol lagi, salam sama mama sama papa, salam kangen.” Nadine menyudahi telponan nya sepihak melihat rombongan dokter jaga pagi memasuki ruangan yang tadi ia gunakan untuk istirahat. “Eh ada dokter Nadine, sudah mau pulang dok?” sapa dokter Dimas, laki-laki yang disebut 'duda dokter' oleh adiknya tadi. “Iya mas, sift Nadine sudah selesai, duluan mas.” “Nadine." Panggilan dokter Dimas menyuruti langkah Nadine. "Ada apa dok?" "Nanti malam kamu kosong kan? Saya mau mengajak kamu keluar, kira-kira kamu bersedia tidak?” Nadine berusaha sekuat tenaga untuk tidak tersenyum, dan bersikap biasa saja. “Nanti malam yah mas? Kosong sih tapi nanti aku kabarin lagi yah.” sungguh ingin rasanya Nadine mengatakan ‘iya' tapi ia harus sedikit jual mahal. Jual mahal itu harus. “Baiklah aku anggap kamu setuju dengan ajakan aku, nanti malam aku jemput.” Nadine hanya tersenyum simpul, karena sekali lagi ia bertahan pada prinsipnya 'jual mahal itu harus.' "Nadine duluan, permisi mas" ucap Nadine melangkah keluar dari ruangan tersebut rasanya ia tak kuat berlama-lama berada satu ruangan dengan Dimas, bisa-bisa ia mati gemetaran. Sangking bahagianya selama perjalanan pulang, senyumnya tak memudar barang sedikit pun. "Cie dokter Nadine senyum-senyum ada apa nih?" tanya salah seorang perawat yang sedang berjaga. "Bukan apa-apa sus, saya hanya senang mendapat telepon dari keluarga saya, rasanya saya udah gak sabar ingin bertemu dengan mereka." ucap Nadine tak sepenuhnya berbohong. "Kontrak ibu Nadine sudah habis yah, wah selamat yah setelah dari Papua ibu mau berkelana kemana lagi?" "Belum sus, kontrak saya masih 3 bulan lagi, tapi kalau untuk kemana lagi setelah ini, saya masih belum tau, mungkin saya mau melanjutkan spesialis saya yang sempat tertunda dulu," ucap Nadine memamerkan senyumnya. "Kalau gitu, saya permisi. Mari sus." Nadine meneruskan langkahnya dengan senyum yang masih terukir di bibirnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Stuck With You

read
75.8K
bc

Aira

read
93.1K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
59.0K
bc

Maaf, Aku Memilih Dia!

read
230.5K
bc

Daddy Bumi, I Love You

read
36.0K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
53.9K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
80.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook