“Ya, kenapa?” Karla bertanya seadanya.
“La, bisa ke Library Cafe malam ini? Aku ingin berbicara denganmu mengenai...” Rangga membiarkan kalimatnya menggantung.
“Mengenai apa?”
“Leon.”
Karla menarik napas dalam. Entah apa maksud Rangga mengajaknya bertemu dan membahas soal Leon. Oke, mungkin Rangga menemukan bukti perselingkuhan Leon dengan wanita penghuni bar dan Rangga ingin Karla tahu. Atau mungkin kekasih Rangga—Sintya—wanita yang terobsesi menjadi aktris layar lebar ketahuan selingkuh dengan Leon. Who knows.
Karla sempat ragu untuk mengiyakan ajakan Rangga. Tapi... bukankah dia juga ingin tahu tentang apa yang akan Rangga beritahu soal Leon. Dan Leon pasti masih sedang berada di bar. Leon selalu pulang di atas jam 10 malam. Dan selama setahun pernikahan Leon tak pernah menyentuh Karla. Karla juga tidak tahu kenapa bos properti itu memilih menikahinya alih-alih di luar sana banyak wanita yang jauh lebih cantik dari Karla. Tentu saja wanita manapun akan rela menikah dengan Leon meskipun dia tak mengenal Leon.
Hanya 20 menit Karla sampai di Library Cafe miliknya. Sesuai dengan namanya kafe itu berkonsep perpustakaan. Di sepanjang dinding kafe hiasan-hiasan kata-kata romantis yang dikutip dari novel berjejer rapi. Lampu-lampu berwarna jingga menghiasi setiap meja kafe. Kafe ini nyaris bangkrut setahun lalu tapi berkat Leon kafe ini kembali ramai. Leon menggelontarkan modal lebih dari lima ratus juta rupiah agar kafe Karla maju. Dan tanpa sepengetahuan Karla, Leon memberi nuansa baru pada Library Cafe. Buku-buku diisi lebih banyak, chef baru didatangkan untuk menghadirkan menu baru dengan kualitas hotel berbintang.
Karla mengenakan pencil skirt motif bunga tulip yang memberi kesan chic dan elegan. Atasan baju bahan wolvis warna putih membuatnya terlihat anggun dan lebih putih. Rangga masih dengan tampilan santai yang selalu mengesankan tanpa penampilan berlebihannya. Rambutnya yang selalu tampak lurus dan lembut masih menjadi kesukaan Karla. Rangga memiliki pesona kalem yang berkharisma. Dan Karla masih menginginkan pria itu. Pria yang dulu pernah menjadi kekasih hatinya semasa kuliah. Hanya karena kesalahapahaman mereka berpisah. Rangga menilai Karla terlalu meninggikan egonya dan Karla menilai Rangga terlalu santai menjalani kehidupannya. Seiring berjalannya waktu, Karla dan Rangga berubah dari mantan menjadi teman. Satu hal yang Karla tahu kalau Rangga memang bisa menjadi temannya, meski dia sebenarnya mencurigai Rangga.
“Aku senang kamu mau datang,” kata Rangga menyambut Karla. Karla tidak tersenyum. Dia ekonomis dalam tersenyum. “Kenapa kamu tidak stay di Library Cafe?”
“Di rumah tidak ada siapa-siapa. Aku harus mengurus rumah.”
“Leon pasti otoriter.”
“Tidak juga. Aku yang meminta agar tidak ada asisten rumah tangga.”
“Leon pasti marah kalau kau menemuiku,” terka Rangga.
“Dia hanya tahu kalau kamu temanku, Rangga. Dan memang seperti itu kan kita.”
Rangga tertawa kecil. Tawa itu dulu selalu memenuhi gendang telinga Karla yang membuat Karla ikut tertawa tapi sekarang tawa itu terdengar menyakitkan bagi Karla.
“Bagaimana kabar Sintya?” Karla mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, begitulah.” Rangga menunduk mengaduk lemon teanya. Dia tidak berminat membicarakan kekasihnya yang super cantik itu.
“Aku dengar dia dapat tawaran bermain film yang diadaptasi dari novel romance best seller.”
“Ya, tapi dia bermain sebagai gadis penunggu toko permen karet.”
Untuk kali ini Karla tidak bisa menahan tawanya. Dia tertawa puas. Rangga senang bisa membuat Karla tertawa dengan Sintya sebagai bahan lelucon.
“Oke, jadi apakah kamu melihat Leon dengan Sintya?” tanya Karla setelah tawanya reda.
“Tidak.” Rangga menggeleng. “Aku melihat Leon menemui seorang penyanyi berinisial G. Lalu mereka pergi ke sebuah hotel.” Sebenarnya Rangga tidak suka mengatakan ini pada Karla. Tapi dia harus memberitahu Karla kalau suaminya itu benar-benar pria tidak berperasaan yang suka bermain dengan sembarang wanita.
“Dia bukan pria yang baik untuk Karla yang optimistis.”
Optimistis? Bahkan keoptimisannya lenyap setelah dia menikah dengan Leon. Karla yang sekarang adalah Karla yang hidup dalam kepesimisan. Karla yang tak tahu akan kemana Leon membawa rumah tangga mereka. Semua serba menyeramkan di pikiran Karla. Mungkin hal yang lebih baik untuk dipilihnya saat tawaran itu diluncurkan kedua daun bibir Leon adalah memilih agar Leon membunuh ayahnya.
“Di sini rupanya istriku,” suara yang tak asing muncul dari arah belakang Karla. Seketika Karla merinding. Dia mendongak, menatap pria yang setahun ini menjadi suaminya.
Leon Aditya Sam.
***
“Leon, kamu di—“
“Ya, tadi aku mau mengajak klienku meeting di sini. Dan ternyata di sini ada istriku bersama teman baiknya.” Leon tersenyum mengejek. Dia menarik kursi dan duduk tanpa mengalihkan tatapannya pada Karla.
Karla cemas, takut-takut kalau Leon mendengar perkataan Rangga. Tapi, tentu saja Leon mendengarnya. Atau mungkin Rangga melihat Leon dari belakang Karla dan sengaja mengatakan sesuatu yang hanya akan membuat suasana semakin memanas.
“Apa kabar?” tanya Rangga santai seakan tadi dia tidak mengatakan apa pun soal Leon.
“Tentu saja aku baik. Selama Karla masih menjadi istriku aku akan baik-baik saja, Rangga. Oh ya, apa kabar kekasihmu itu? Siapa namanya—Santi ya?”
“Sintya.”
“Ya, si Sintya,” Leon menyeringai menyebalkan. Pria itu dengan segala kesombongan dan keangkuhannya membuat Rangga membencinya. Tentu saja Rangga membenci Leon setengah mati karena Leon adalah suami Karla.
“Sintya baik-baik saja. Kenapa? Kamu berniat mengencaninya? Oh ya, asal kamu tahu, Sintya sudah bukan kekasihku lagi.”
“Owh,” Leon memasang wajah berduka seakan Tim—kucing kesayangannya itu hamil dengan kucing kampung yang datang dari kampung antah berantah. “Aku turut bersedih, Rangga. Semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih menarik dari Sintya.” Leon menoleh pada Karla ketika dia mengatakan ‘lebih menarik dari Sintya’.
“Lebih baik aku pulang sekarang, ada buku yang harus k****a. Aku tidak ingin mendengarkan obrolan kalian soal wanita manapun.” Karla memutar bola mata dengan jengah.
“Kenapa sayang? Aku di sini,” Leon melirik pada Rangga. “dan ada Rangga, temanmu. Kau harus tetap di sini.”
“Aku mau pulang, Leon.” Kata Karla tegas.
“Aku antar.”
“Kamu bilang ada meeting.”
“Aku bisa membatalkan meeting-nya. Kamu adalah prioritas utamaku, Karla.”
Karla menatap Rangga beberapa detik sebelum dia pamit dan pergi dengan Leon.
***
Kesokan paginya ketika matahari bersinar terang tanpa malu dan menyengat tubuh Leon yang bertelanjang d**a. Dia berlari sejauh 500 meter dari rumahnya. Wanita-wanita sekitar perjalanan menatap Leon dan dadanya secara bergantian seolah ingin meraih d**a bidang itu. Leon menikmati ekspresi wanita-wanita yang menatapnya. Ekspresi menginginkannya.
Dia sampai di rumah dengan napas tersengal dan melihat Karla sibuk memasak makanan favoritnya, sop iga sapi.
“Tadi ada yang menelponmu,” Karla menatap sekilas ke arah Leon. Tangannya sibuk menata piring di atas meja makan yang terbuat dari kayu eboni. Nuansa minimalis terasa sederhana bagi Leon, tapi sejujurnya dia menyukai apa pun yang disukai Karla. Seperti warna dapur yang didominasi warna pastel.
“Siapa?” Leon menyeka keringat di dahinya.
“Miss Alisya.” Karla menerka nama Miss Alisya adalah salah satu nama perempuan mainan Leon.
“Oh, Alisya. Dia temanku, Karla.” Leon mencoba memberitahu status Alisya. Tapi bukankah semua wanita yang pernah berkencan dengannya hanya dianggap sebagai teman?
“Sepertinya banyak sekali wanita yang kamu anggap sebagai teman ya?” pertanyaan sinis itu meluncur begitu saja dari bibir busur cupid Karla. Bibir yang mengingatkan Leon pada Nicole Kidman.
“Haha, jangan bilang kalau istriku itu cemburu.” Leon meraih gelas dan mengisinya dari dispenser ungu—warna kesukaan Karla.
“Istri? Aku bahkan merasa hanya sebagai pelayan di rumah ini.”
Leon tersedak.
Tanpa memedulikan Leon yang tersedak, Karla menambahkan, “Kamu selalu pulang di atas jam 10 malam, kamu selalu sok sibuk dengan bisnis propertimu, kamu tidak pernah mengunjungi orang tuamu di Bandung, bahkan—kau tak pernah menyentuhku sama sekali, Leon. Dan kamu tentunya ingat kalau aku menikah denganmu karena kamu mengancam membunuh ayahku.”
Hening untuk beberapa saat. Benda-benda di sekeliling Karla seperti piring, gelas, panci, meja, kursi seakan menertawai hidupnya. Karla menyesali ucapannya. Leon terdiam lalu dia menyeringai.
“Bolehkah aku tahu alasanmu menikahiku?” Kata Karla lagi, berharap pertanyaan ke puluhan kali ini dijawab Leon.
“Kamu tahu Karla, aku tidak akan menjawab pertanyaanmu itu. Ini adalah rahasiaku. Ngomong-ngomong aku punya ide untuk main ke rumah orang tuaku di Bandung. Setelah semua proyek pembangunan selesai. Kita akan berlibur ke Bandung.” Dengan santai dan seakan tidak terjadi apa-apa Leon beranjak meninggalkan dapur. Meninggalkan Karla yang kembali merenungi nasibnya. Apakah begini rasanya tidak dianggap? Apakah Leon memang tak pernah menganggap wanita-wanita di sekelilingnya itu sebagai wanita spesial?
Kemarin saat Karla dan Leon sampai di rumah, Leon tak membahas apa pun soal Rangga. Dia selalu berpura-pura. Berpura-pura tak mengerti dan berpura-pura tak tahu. Selalu berpura-pura tak terjadi apa pun sehingga Karla mengikuti alunan permainan Leon. Permainan yang ganjil. Permainan yang tak pernah dia tahu kapan ujungnya. Akankah Leon menceraikannya atau tetap mempertahankan pernikahan absurd ini?
***
Karla menyukai aroma Library Cafe. Aroma hazelnut yang menggairahkan mimpinya. Menggairahkan semua keoptimisannya. Dulu dia bermimpi menjadi seorang politisi yang selalu tampil meyakinkan dan terlihat cerdas. Tapi, seorang politisi tidak harus cerdas, seorang politisi hanya perlu sifat sok tahu meskipun otaknya lemot luar biasa. Sejak menikah dengan Leon, mimpi itu lenyap. Bukan hanya seorang politisi, Karla juga bermimpi menjadi seorang CEO di perusahaan franchise Amerika. Dia memercayakan Library Cafe pada Nabila—asisten manajer dalam kafenya. Menggantikan Karla yang sibuk mengurusi rumah dan pria berusia 28 tahun yang belum bisa ditelusuri kedalaman hatinya.
Saat kuliah pada semester awal untuk kali pertama Karla bertemu Rangga. Pria dengan pesona kalem yang memberikan senyum semangat padanya. Senyum lebar yang menawan. Karla tahu saat itu juga dia terjerat pada pesona Rangga.
“Kamu anak ekonomi ya?” tanya Rangga suatu kali di perpustakaan.
“Iya, kamu tahu dari mana?”
“Tuh, buku yang kamu pegang buku Pengantar Manajemen.” Rangga menunjuk buku di tangan Karla dengan tangannya.
Karla tertawa hingga nyaris keseluruhan mahasiswa di perpus berseru, “Usssttt....”
“Ups!” Karla menutupi mulutnya dengan tangan dan perasaan malu.
Itu kenangan paling manis di awal semester saat dia bertemu Rangga di perpustakaan. Malu, tapi apalah arti sebuah malu jika saat itu juga kamu tahu ada seseorang berwajah tampan yang jatuh hati padamu.
Karla tersenyum miris mengingat kenangan manis itu. Dia melirik asal dan menemukan Sintya duduk di meja paling ujung ditemani segelas jus stoberi.
***