Karla tentu saja enggan menyapa dan mendekati gadis muda dengan tinggi semampai itu. Make-up tebalnya yang terlihat horor di mata Karla adalah andalan Sintya untuk menarik minat para pria. Tanpa sengaja mereka bersitatap dan Karla menyesali karena dia tidak cepat-cepat membuang muka. Sintya melambaikan tangan. Mau tidak mau Karla harus membalas senyum Sintya karena itu namanya etika. Karla tidak suka dengan orang yang tidak beretika.
Karla berjalan menghampiri Sintya. “Sudah lama di sini?” tanya Karla berakting peduli dan sok perhatian pada Sintya. Karla tidak suka kepura-puraan tapi dia harus melakukannya karena dia menghormati Rangga. Masih atau sudah berpisah dengan Rangga, Sintya harus diperlakukan dengan baik. Karena Sintya adalah seorang konsumen di Library Cafe.
“Lumayan.” Sintya menyesap jus stroberinya. “Kudengar kemarin Rangga ke sini?”
“Ya,” jawab Karla tersenyum.
“Untuk menemuimu?” Sintya bertanya curiga.
“Untuk meminum kopi. Kebetulan aku ada di sini.”
“Oh,” Sintya tampak kecewa. Dia mengibaskan rambut purple ombre-nya. Karla menangkap kalau Sintya sengaja mengibaskan rambut purple ombre untuk pamer pada Karla bahwa model rambutnya sekarang baru. Ya, tentu saja. Sintya adalah salah satu manusia yang hobi pamer. Bahkan di insta story miliknya, dia selalu memamerkan barang mewah yang entah didapat dari mana. Sintya pengangguran dan dia hanyalah model potographer yang mendokumentasikan gambarnya untuk koleksi pribadi. Rangga? Mungkinkah Rangga begitu memanjakan kekasih yang—Karla yakini Rangga tidak sepenuhnya mencintai gadis itu.
“Aku dan Rangga sudah putus, La.” Sintya tampak sendu. Namun, entah bagaimana Karla merasa bahwa kesedihannya hanyalah kamuflase belaka.
“Dia akhir-akhir ini dingin banget dan aku tidak nyaman dengan kedinginannya itu, La.”
“Mungkin dia banyak pikiran.”
“Ya, dia juga bilang kalau dia harus memikirkan strategi baru untuk penjualan brandnya. Tapi, setidaknya dia bisa memberi waktu untuk memberikan perhatiannya.”
“Rangga itu orangnya memang begitu, kalau dia banyak pikiran pasti dia akan melupakan—“
“La,” sela Sintya tidak terima. “Aku bisa sabar kalau dia memberi kabar sehari beberapa kali, tapi dia tidak mengabariku berhari-hari.”sejenak ada kilatan emosi di mata Sintya, namun kilatan itu cepat lenyap.
“Aku iri sama kamu, La. Kamu bisa punya suami kaya Leon yang super sempurna. Kamu pasti bahagia sama dia.” Dan Karla tahu kalau Sintya menginginkan Leon seperti wanita-wanita di luar sana.
Karla tersenyum getir.
“Boleh kalau kapan-kapan kamu mengenalkan aku sama Leon?”
Deg! Baiklah, Karla memang tidak mencintai Leon tapi apakah Karla rela mengenalkan Sintya pada Leon? Tidak. Leon suaminya dan betapa semakin jatuhnya harga diri Karla apabila dia melihat Leon dan Sintya berduaan di hotel.
“Kalau ada waktu.”
Sintya tersenyum mendengar jawaban Karla. Sintya adalah gadis yang akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang dinginkannya dan Karla tahu itu.
***
Leon mematung dengan wajah getir. Dia merasa pilu setelah mendengar informasi dari Miss Alisya. Wanita berusia 27 tahun yang bekerja sebagai salah satu agen yang namanya terdaftar dengan jabatan sekretaris. Alisya bekerja untuk mencari informasi tentang target dari klien. Namun, untuk hari ini dia mengecewakan kliennya.
“Aku tidak bisa menemukan orang yang mengenalnya selain Anna, tapi kurasa dia agak gila.” Alisya menatap jam tangan hitamnya, jam yang diberi mantan kekasihnya dulu. Rambut kuncir kudanya bergerak-gerak mengikuti gerakan kepala Alisya.
“Siapa Anna?” tanya Leon dingin sekaligus penasaran.
“Menurut informasi Anna adalah kakak angkat Natalie.”
“Kakak angkat?” sebelah alis Leon terangkat. “Lalu apa yang Anna katakan tentang Natalie.”
“Natalie mati.”
Alisya bisa melihat kilatan emosi di mata Leon kala dia mengatakan ‘Natalie mati’ namun, Alisya berusaha untuk tetap tenang. “Dia mengucapkan kalimat itu lebih dari 10 kali. Dan tatapannya tidak fokus sehingga aku berasumsi kalau Anna agak gila. Rumahnya sangat kotor, dia hidup sebatang kara. Dan penampilannya berantakan dan bau. Dia persis makhluk yang tak pernah diurus.”
Alisya melihat wajah Leon yang kini berubah menjadi terpukul dan hampa seakan hidupnya tidak lama lagi. Ironi, pikir Alisya. Pria ini masih mencintai gadis yang lima tahun lalu meninggalkannya. Bahkan sekarang sang pria sudah memiliki Istri, Karla Aditya Sam.
“Aku akan memberitahumu informasi terbaru tentang Anna—“
“Aku butuh informasi tentang Natalie, bukan Anna.” Cupid hidung bangir pria itu kembang kempis.
“Iya, maksudku tentang Natalie.” Alisya berdiri, menatap Leon yang wajahnya memerah kesal karena dia tidak mendapatkan informasi apa pun soal Natalie, dan tentang kematian Natalie—itu adalah cerita lama. Leon sudah mendengarnya beberapa tahun lalu, namun dia tidak memercayai isu itu. Nat tidak akan mati sebelum bertemu dengannya. Sebelum rindu itu terbayarkan. Sebelum sakit itu terpulihkan.
Natalie adalah candu bagi Leon. Tidak melihat wajah Nat sehari bagaikan malam tanpa taburan bintang. Hampa. Hambar. Tapi itu dulu, 5 tahun lalu. Sebelum Nat benar-benar meninggalkannya. Nat adalah gadis yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Nat kuliah di kampus yang sama dengan Leon, Rangga dan Karla. Tapi mereka beda jurusan. Nat masuk universitas bergengsi itu dari beasiswa milik pemerintah. Kalau bukan karena beasiswa Nat tidak akan bisa kuliah. Di sekolah Nat adalah salah satu siswi yang cerdas dan Leon menyukai kecerdasan Nat.
Dan sampai sekarang, Nat adalah pengisi hati Leon.
“Sampai kapan aku harus menunggu, Nat? Aku sudah bosan menunggu ketidakhadiranmu. Aku tidak peduli sekarang kamu mencintai siapa, karena aku hanya ingin melihatmu, Nat. Melihatmu dengan keadaan baik-baik saja.”
***
“Bagaimana perkembangan Library Cafe?” tanya Leon setelah makan malam.
Karla mengenakan kaos hitam lengan panjang dengan bahan spandek. Leon suka melihat Karla dengan baju itu karena memperlihatkan lekuk tubuhnya yang cukup berisi. Dan baju bahan spandek warna hitam itu membuat Karla terlihat sedikit kurus. Namun, Leon tahu alasan istrinya sering memakai baju warna hitam adalah karena tidak ada keceriaan dalam diri Karla. Semua musnah setelah Leon menikahinya. Dan Leon paham kalau Karla sakit hati karena Leon tidak benar-benar menganggap Karla istrinya.
“Omset meningkat. Dan, tumben kamu pulang jam 5 sore. Biasanya di atas jam 10 malam dan kadang wanita-wanita penghibur itu menemanimu pulang.”
“Karena aku bosan dengan mereka. Kalau aku malam ini denganmu, bagaimana?”
Karla tercengang mendengar perkataan Leon yang tak pernah diduganya. Bibir busur cupidnya berkedut dua kali.
“Hahaha,” Leon tertawa puas melihat ekspresi kaku yang menegangkan dari istrinya seakan dirinya akan melompati jurang untuk bisa sampai ke rumah. “Tak bisakah kamu seperti w*************a, Karla. Kau terlalu kaku untuk bisa merebut hatiku. Jadi, jangan takut aku akan melakukan sesuatu padamu. Tapi kalau aku mabuk, aku tidak bisa menjaminnya.” Leon menyeringai. Seringai itu mirip harimau pemangsa.
“Ya, aku tidak bisa menggodamu, Leon. Aku juga tidak bisa menggoda laki-laki manapun. Yang ada pria yang selalu kusukai sudah tergoda oleh wanita penggoda.” Karla menatap hampa lantai, bayangan Rangga melintas di benaknya.
“Bagus. Pria itu tidak punya selera. Sama sepertiku.”
Karla menggeleng dan bangkit untuk membereskan meja makan.
“Aku ingin mengajakmu ke Bandung bertemu ayah dan ibuku. Mereka tidak mengenal baik soal menantunya.” Kata Leon nadanya terdengar serius.
“Bagus. Akhirnya kamu berpikir seperti itu juga.” Balas Karla tersenyum miring.
“Terkadang aku harus mengatakan kenyataan kalau istriku terbuat dari batu.”
“Terkadang aku harus mengatakan kenyataan kalau suamiku terbuat dari permen karet.”
***