Cuek

1712 Kata
Apartemen yang selama lebih dari dua minggu terasa sunyi kini kembali dipenuhi kegaduhan—bunyi pintu lemari yang dibanting, laci yang ditarik kasar, serta langkah kaki tergesa yang mondar-mandir. Galang terbangun dari tidurnya di sofa ruang keluarga—tempat dia tidur sejak mereka pulang dari Lombok tiga hari lalu—dengan mata yang masih setengah terpejam. Dia mengusap wajahnya sambil mencoba fokus pada sumber keributan. Bening. Istrinya bergerak cepat ke seluruh penjuru apartemen—dari kamar ke dapur, dari dapur ke ruang kerja, lalu kembali lagi ke kamar. Rambutnya diikat asal, kemeja kerjanya bahkan belum dikancingkan di bagian atas, dan wajahnya tampak begitu sibuk. Terlalu sibuk. "Bening?" panggil Galang sambil bangkit dari sofa. "Kamu mau berangkat sekarang? Ini masih jam setengah tujuh. Biasanya kamu berangkat jam delapan—" "Aku ada meeting pagi," potong Bening cepat tanpa menatap Galang. Dia sibuk memasukkan laptop dan beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya. "Oh, kalau gitu aku anterin—" "Nggak usah. Aku udah pesen taksi online," ujar Bening sambil mengambil blazer dari gantungan dan memakainya dengan tergesa. Galang terdiam. Dia menatap Bening yang terus bergerak tanpa henti—menghindari kontak mata, menghindari percakapan. "Bening, setidaknya sarapan dulu. Aku masakin—" "Nggak sempet. Aku udah telat," jawab Bening sambil meraih tas dan ponselnya. "Aku berangkat." Dan sebelum Galang sempat mengatakan apapun lagi, Bening sudah keluar dari apartemen dan menutup pintu dengan cukup keras. Galang berdiri sendirian di tengah apartemen yang berantakan—gelas kosong tergeletak di atas meja, bantal-bantal sofa tak lagi rapi, dan sarapan yang disiapkan sejak tadi malam masih terbungkus rapi di dalam lemari es. Dia menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya frustasi. Ini sudah hari ketiga Bening bersikap cuek padanya—dan rasanya semakin berat setiap hari. Pagi hari, di hari ke empat… Galang mencoba strategi berbeda. Dia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan untuk sang istri—roti panggang, telur orak-arik, jus jeruk segar, dan buah potong. Dia menatanya dengan rapi di meja makan, berharap Bening mau duduk sebentar dan sarapan bersama. Tapi ketika Bening keluar dari kamar—sudah rapi dengan setelan kerja biru navy dan rambut yang dikuncir kuda—dia hanya melirik sekilas ke arah meja makan. "Kamu udah sarapan?" tanya Galang sambil tersenyum. "Belum. Tapi aku nggak laper," jawab Bening sambil memakai heels-nya. "Bening, kamu harus sarapan. Nanti sakit—" "Aku baik-baik aja, Mas," potong Bening. "Aku berangkat." Dan lagi-lagi, Bening pergi meninggalkan Galang sendirian dengan sarapan yang tidak tersentuh. Galang menatap meja makan itu dengan tatapan kosong. Lalu dia duduk sendirian, makan sarapan yang seharusnya untuk berdua, sambil merasakan kekosongan yang sangat menyakitkan. Siang hari… Galang mencoba mengirim pesan. 📩 Galang: "Bening, aku mau ajak kamu makan siang. Aku jemput jam 12?" Lima menit kemudian, Bening membalas. 📤 Bening: "Maaf, aku lagi meeting sama klien. Nggak bisa." Galang mengerutkan kening. Dia tau jadwal Bening—biasanya meeting dengan klien dijadwalkan di hari Rabu dan Kamis, bukan Selasa. Tapi dia tidak mau menuduh Bening berbohong. 📩 Galang: "Oke. Nanti malam aja. Dinner. Aku booking tempat?" Bening membalas lagi, kali ini lebih cepat. 📤 Bening: "Aku lembur, Mas. Kerjaan lagi numpuk banget. Nanti aku makan malam di kantor aja." Galang menatap layar ponselnya dengan tatapan frustasi. Dia tau Bening memang sedang sibuk—projectnya memang banyak. Tapi dia juga tau Bening sedang menghindarinya. Malam harinya… Galang menunggu di ruang keluarga dengan TV menyala tapi tidak ditontonnya. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu Bening pulang. Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika akhirnya pintu apartemen terbuka. Bening masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Blazer-nya sudah dia lepas dan dilipat di lengannya, rambutnya sedikit berantakan, dan ada kantung tipis di bawah matanya. "Bening, kamu udah pulang," ujar Galang sambil cepat-cepat berdiri. "Udah makan?" "Udah," jawab Bening singkat sambil melepas heels-nya. "Aku masakin sup. Masih anget. Mau aku ambilkan—" "Nggak usah. Aku kenyang," potong Bening sambil berjalan menuju kamar. “Bening, tunggu sebentar,” panggil Galang sambil menyusulnya. “Kita bicara sebentar saja. Lima menit—” "Mas Galang, aku capek," ujar Bening tanpa berbalik. "Aku mau istirahat." Dan pintu kamar pun tertutup di depan wajah Galang. Galang berdiri di depan pintu kamar dengan tangan yang hampir mengetuk, tapi akhirnya dia menurunkan tangannya. Dia tidak mau memaksa. Dia tidak mau membuat Bening semakin kesal. Dia hanya bisa menghela napas panjang, lalu kembali ke sofa—tempat tidurnya yang baru. Galang melemparkan tubuhnya ke sofa dengan kasar, menatap langit-langit apartemen dengan tatapan kosong. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di meja, lalu membuka aplikasi chat. Jemarinya mengetuk nama grup yang beberapa hari ini tak dia buka— 🤖 Suami Bucin. Galang mulai mengetik dengan jempol yang bergerak cepat, menuangkan semua frustrasinya. 🤖 Suami Bucin 📤 Galang: “Aku butuh saran.” 📤 Galang: “Serius.” 📤 Galang: “Bening sudah empat hari bersikap dingin padaku. Dia membalas semua pesanku dan mengangkat setiap teleponku, tapi selalu dengan alasan sibuk. Setiap pagi dia berangkat kerja sebelum aku sempat bicara, malam pulang langsung masuk kamar lalu mengunci pintu.” 📤Galang: “Aku sudah mencoba memasak untuknya, membelikan makanan kesukaannya, bahkan menunggunya pulang. Tapi dia tetap menghindar—seolah aku ini virus.” 📤Galang: “Aku sudah empat hari tidur di sofa demi bisa lebih dekat dengan kamarnya. Punggungku sakit—tapi hatiku jauh lebih sakit.” 📤 Galang: “Tolong. Kasih saran yang bener. Jangan yang aneh-aneh.” Galang menekan tombol kirim, lalu menatap layar ponselnya dengan harap-harap cemas. Tiga titik menunjukkan seseorang sedang mengetik. 📩 Mahen: “WKWKWKWK AKHIRNYA KAMU NGALAMIN JUGA, BRO! WELCOME TO THE CLUB!” 🎉 📤 Galang: “Mas Mahen, aku serius!” 📩 Mahen: “Aku juga serius. Ayla pernah cuekin aku seminggu gara-gara aku lupa ultah pernikahan. Kamu tau aku ngapain? Aku kirim bunga raksasa ke rumah lewat satpam komplek setiap hari sampai dia malu sendiri.” 📩 Bima: “Mahen, itu bukan saran. Itu pemborosan dan merepotkan banyak orang.” 📩 Mahen: “TAPI BERHASIL KAN?!” 📩 Dirga: “Galang, aku kasih saran serius. Kamu bikin grand gesture. Wanita suka drama. Datang ke kantornya bawa bunga, atau serenade di depan semua orang.” 📤 Galang: “Mas Bima, rumah tanggaku bukan sinetron.” 📩 Dirga: “Meskipun kayak sinetron tapi berhasil, karena memang itu yang wanita suka, bro.” 📩 Bima: “Jangan dengerin mereka. Galang, ceritain dulu. Kenapa Bening marah?” Galang menarik napas panjang, lalu mulai mengetik panjang lebar—menceritakan kejadian di lelang, tentang Genta, tentang bagaimana dia menghajar pria itu tanpa memberi penjelasan dulu pada Bening. 📤 Galang: “Intinya, aku memang salah. Aku sudah minta maaf, dan dia bilang sudah memaafkan. Tapi sikapnya justru semakin cuek. Aku benar-benar nggak tahu harus melakukan apa lagi.” 📩 Mahen: “OOOOH. Jadi kamu pukulin Genta di depan Bening tanpa kasih context dulu? Kamu memang salah kalau gitu.” 📤 Galang: “AKU TAU. Makanya aku minta saran, bukan dijudge.” 📩 Dirga: “Okay, ini masalah trust issue. Bening ngerasa kamu nggak percaya dia—dan, cemburu sama mantan sialan itu. Jadi sekarang, kamu harus buktikan kalau kamu percaya dengannya dan sudah tidak ada perasaan sama si Jenong.” 📤 Galang: “Caranya?” 📩 Dirga: “Kasih dia space. Tapi tunjukin kalau kamu tetep ada buat dia. Jangan maksa buat ngobrol, tapi pastiin dia tau kamu peduli.” 📩 Bima: “Mengakulah kalau kamu sudah bucin, tapi bucin yang gentleman.” 📩 Mahen: “WKWKWK BUCIN GENTLEMAN. Aku suka istilah itu.” 📤 Galang: “Jadi aku harus ngapain, konkritnya?” 📩 Mahen: “Oke, aku punya ide. Kasih kejutan besar.” 📤 Galang: “Mas Mahen, aku serius—” 📩 Mahen: “Aku juga serius! Kamu tau nggak, Ayla paling suka kalau aku ngasih surprise. Pernah aku isi mobil dia sama balon pink, dia sampe nangis terharu." 📩 Bima: “Tapi kan Bening lagi marah, bukan lagi ultah. Balon kayaknya nggak cocok deh.” 📩 Mahen: “TERUS APA DONG?!” 📩 Dirga: “Galang, dengarkan aku. Kamu harus menunjukkan usaha yang konsisten. Bukan satu grand gesture lalu berharap dia langsung memaafkanmu, tapi perhatian kecil yang kamu lakukan setiap hari—yang benar-benar menunjukkan kalau kamu peduli.” 📤 Galang: “Contohnya?” 📩 Dirga: “Siapin sarapan tiap pagi meski dia nggak makan. Kirim pesan sweet tapi nggak maksa buat dijawab panjang. Beresin apartemen. Tunggu dia pulang meski dia langsung masuk kamar. Tunjukin konsistensi.” 📩 Bima: “Dan jangan lupa... JANGAN NGELUH. Istri benci suami yang ngeluh pas lagi usaha minta maaf.” 📩 Mahen: “Oh iya! Dan satu lagi... KAMU HARUS ROMANTIS!” 📤 Galang: “Romantis gimana?” 📩 Mahen: “Ya kayak... tulis surat cinta! Taruh di bawah pintu kamarnya tiap malem!” 📩 “Bima: “Atau tinggalin post-it note yang manis di tempat-tempat yang dia sering lewatin. Kayak di lemari es, di cermin kamar mandi, di dashboard motornya.” 📩 Dirga: “Atau… kamu bisa merekam video permintaan maaf yang tulus lalu mengirimkannya padanya. Biar dia bisa melihat ekspresimu dan mendengar nada suaramu—yang benar-benar menunjukkan penyesalan.” 📤 Galang: “—kalian semua ini serius apa becanda sih?” 📩Mahen: “SERIUS LAH! Aku dapet ide post-it note dari drama Korea yang aku tonton sama Ayla. Dan, berhasil.” 📩 Bima: “Aku dapet ide surat cinta dari film romcom yang di tonton Nina. Works like a charm.” 📩 Dirga: “Dan aku dapat ide video itu dari pengalaman pribadi. Tara pernah marah karena aku lupa janji beliin martabak. Aku bikin video minta maaf sambil pegang bunga—dan dia langsung meleleh.” 📤 Galang: “Ya kalau pernikahan kalian normal ide-ide itu mungkin akan berhasil. Tapi, pernikahanku dengan Bening berbeda.” 📩 Mahen: “Makanya gak usah sok kecakepan. Gaya banget ngajak nikah kontrak.” 📩 Bima: “Kamu tuh beruntung, Ga. Dapat istri seperti Bening. Selain cantik, karir bagus juga baik. Eh, malah kamu sia-siakan.” 📩 Dirga: “Kalau sudah begini, bingung, kan, kamu? Sukurin Bening ngambek! Aku doain Bening selingkuh sama CEO kaya raya tujuh turunan, tujuh tanjakan, dan tujuh belokan!” 📩 Bima: “Aamiin.” 📩 Mahen: “Aamiin.” Membaca pesan terakhir dari ketiga sahabatnya, Galang mengumpat pelan. “Kurang ajar,” gumamnya sambil menjatuhkan ponsel ke sofa. “Amit-amit.” Bening selingkuh? Tidak. Galang yakin itu tidak akan terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN