Bening Minggat

1264 Kata
Galang pikir istrinya ngambek itu hanya sehari, paling lama dua hari—lalu kembali lagi ke apartemen. Jadi, dia pergi ke luar kota untuk mengurus cabang restorannya tanpa memberitahu Bening. Selama satu minggu Galang pergi, pindah dari kota satu ke kota lain. Saking sibuknya, bahkan dia tak bertanya tentang keadaan Bening pada Reni. Di pikirannya, Bening pasti sudah kembali ke apartemen dan menghancurkan dapur seperti biasa. Bahkan Galang sudah membayangkan betapa berantakannya ruang keluarga akibat snack yang dimakan sang istri berceceran di mana-mana. Namun, semua yang dia bayangkan selama satu minggu ini terpatahkan dengan kondisi apartemen yang sangat bersih dan wangi. Dia baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Niatnya ingin mengomeli Bening agar menjadi wanita yang lebih rapi, ternyata yang dicari tidak ada di kamar, bahkan tidak ada di apartemen juga. Galang mengerutkan dahi. Aneh. Apartemen terlalu bersih, terlalu rapi, terlalu sunyi. Dia membuka pintu kamar tidur Bening. Tempat tidur tersusun rapi, tidak ada baju berserakan seperti biasanya. Kamar mandi? Bersih. Tidak ada handuk basah yang digantung sembarangan. Galang keluar kamar, memeriksa dapur. Bersih. Tidak ada piring kotor, tidak ada bumbu tumpah, tidak ada jejak Bening sama sekali. "Bening?" panggilnya, meskipun sudah jelas apartemen kosong. Galang merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Bening. Berdering namun tak kunjung diangkat. Dia mencoba lagi. Dan lagi. Hasilnya sama. Perasaan Galang mulai tidak enak. Dia langsung menghubungi Reni. Tersambung dan langsung diangkat. "Halo, Pak Galang." "Halo, Mbak. Bening di mana?" "Oh, Mbak Bening masih ada di kost." "Kenapa belum pulang ke apartemen?" "Sudah saya bujuk tapi tetap nggak mau. Katanya dia lebih suka jadi anak kost ketimbang tinggal dengan om-om galak." "Mbak Reni!" "Maaf, Pak. Saya hanya menyampaikan apa yang Mbak Bening katakan." Galang menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Baiklah kalau begitu, besok saya akan menjemputnya. Sedang apa dia sekarang?" "Main kartu sama penghuni kost." "Main kartu? Bening?" Galang memijat pelipisnya. "Astagfirullah, Mbak Reni, suruh Bening kembali ke kamarnya." Hening sejenak. Tak ada suara jawaban dari Reni. "Mbak Reni, dengar saya?" "I-iya, Pak. Tapi masalahnya... kamar Mbak Bening yang dijadikan markas." "APA?!" Galang hampir menjatuhkan ponselnya. Dia membayangkan kamar kost Bening yang sempit, dipenuhi orang-orang bermain kartu dengan suara tawa riuh. Istrinya yang seharusnya sudah istirahat dengan tenang—malah mengadakan perjvdian kecil-kecilan di kamar kostnya. "Mbak Reni, serius? Kamar Bening?" "Iya, Pak. Dari tadi sore. Mereka main rem1 sambil makan gorengan." Galang menutup matanya erat-erat. "Dia habis kena radang malah makan gorengan!" "Dan es teh manis jumbo, Pak." "Mbak Reni, tolong awasi Bening. Jangan sampai dia bikin masalah lagi. Besok pagi saya ke sana." "Siap, Pak. Tapi... boleh saya minta satu hal.” "Apa?" "Pak Galang jangan membentak Mbak Bening lagi ya.” Galang terdiam. Permintaan itu menohoknya. Dia teringat malam itu, ketika dia membentak Bening di tengah jalan, di depan orang banyak. Ketika dia bilang "Nggak usah pulang aja sekalian!" Dan Bening benar-benar tidak pulang. "Iya, Mbak," ucap Galang pelan. "Saya akui memang sudah kelewat batas." "Oh—" Reni tampak paham. "Kalau begitu besok Pak Galang minta maaf sama Mbak Bening ya. Mbak Bening itu orangnya baik, cuma kadang suka nggak mikir panjang aja. Tapi dia nggak pendendam kok." "Terima kasih, Mbak Reni." Setelah menutup telepon, Galang terduduk di sofa ruang tamu apartemen yang sunyi. Matanya menatap kosong ke arah dapur yang biasanya berantakan, tapi kini rapi. Galang merebahkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit apartemen. Pikirannya melayang jauh, ke masa lalu yang selalu membayanginya. Hatinya masih tertambat pada wanita lain. Wanita yang membuatnya trauma akan cinta. Wanita yang meninggalkan luka begitu dalam hingga Galang memilih menikah kontrak ketimbang membuka hati lagi. Entah kenapa, setelah disakiti seperti itu, Galang masih belum bisa melupakannya? Padahal jelas-jelas sekarang dirinya sudah menikah dengan Bening. Meski pernikahan kontrak, namun dia tak pernah ada niat untuk bercerai. Galang memejamkan mata. Wajah wanita itu muncul di benaknya. Cantik, bertutur lembut dan pintar. Tapi selingkuh dengan alasan Galang hanya seorang sekretaris. "Kenapa aku masih memikirkanmu?" gumamnya pahit. *** Pukul tujuh lewat lima belas menit Galang datang ke kosan Bening. Tangannya penuh dengan kantong berisi berbagai macam makanan—nasi goreng spesial, ayam goreng mentega, tumis brokoli, bahkan ada sup ayam hangat dalam termos. Semuanya hasil masakannya sendiri. Galang bangun sejak subuh hanya untuk menyiapkan semua ini. Reni yang sudah menunggu di depan kosan langsung menyambutnya. "Pak Galang sudah datang. Mbak Bening ada di kamar, tapi—" "Tapi apa?" "Sepertinya masih ngambek, Pak." Galang menarik napas panjang. "Biar saya yang urus." Dia naik ke lantai dua, menuju kamar Bening di ujung koridor. Pintu kamar berwarna putih dengan tempelan stiker bunga-bunga lucu. Sangat khas Bening. Tok... tok... tok… "Bening, ini aku. Boleh masuk?" Tidak ada jawaban. "Bening, aku bawain sarapan. Masakanku sendiri. Kamu pasti belum sarapan kan?" Masih tidak ada jawaban. Galang melirik Reni yang berdiri di belakangnya. Reni hanya mengangkat bahu, pertanda dia juga tidak tahu harus bagaimana. "Bening, please. Buka pintunya. Aku mau ngomong." Akhirnya, pintu terbuka sedikit. Wajah Bening muncul dari celah pintu, menatap Galang dengan datar—tanpa senyum, tanpa ekspresi apa pun. "Ada apa?" tanyanya dingin. Galang tersentak melihat sikap Bening yang berbeda. Biasanya wanita ini selalu ceria dan selalu berisik. Tapi sekarang, matanya terlihat lelah dan datar. "Aku bawain sarapan. Aku masak dari subuh, lho. Ada nasi goreng kesukaanmu, ayam goreng mentega—" "Aku lagi puasa." "Hah?" "Puasa Senin-Kamis," jawab Bening singkat. "Kebetulan hari ini Kamis." Galang terdiam. Tangannya masih menggenggam kantong-kantong makanan yang berat. "Tapi kamu nggak pernah puasa Senin-Kamis sebelumnya." "Sekarang aku puasa," sahut Bening, masih dengan nada datar. "Lagipula, Mas ngapain repot-repot masak? Kan ada Mbak Reni yang bisa beliin makanan buat aku." "Bening—" "Kalau nggak ada yang penting, aku mau siap-siap berangkat ke kantor." Bening hendak menutup pintu, tapi Galang menahannya dengan tangan. "Tunggu dulu. Aku mau minta maaf." Bening berhenti. Matanya menatap Galang sekilas, lalu beralih ke lantai. "Maaf buat apa?" "Maaf karena kemarin aku bentak kamu di jalan. Maaf karena aku bilang 'nggak usah pulang aja sekalian'. Aku nggak bermaksud seperti itu." Hening sejenak. "Oh, itu," ucap Bening ringan, terlalu ringan. "Santai aja, Mas. Aku nggak marah kok. Lagian, Mas kan cuma khawatir aku bikin masalah lagi. Wajar." "Bening—" "Eh, makanannya kasih Mbak Reni aja ya. Atau dimakan sendiri. Sayang kalau dibuang. Aku mandi dulu ya, Mas.” Kali ini Bening benar-benar menutup pintu. Klik. Suara pintu terkunci terdengar jelas. Galang berdiri mematung di depan pintu kamar Bening. Tangannya masih menggenggam kantong-kantong makanan yang kini terasa sangat berat. Reni menghampiri, menatap Galang dengan prihatin. "Pak—" "Dia benar-benar puasa?" tanya Galang pelan. "Kurang tahu, Pak. Soalnya belum minta dibelikan sarapan." Galang menatap kantong-kantong makanan di tangannya, lalu menyerahkan semuanya pada Reni—termasuk termos sup ayam yang masih hangat. "Suruh dia sarapan, Mbak. Nanti maagnya kambuh kalau telat makan." "Tapi kan lagi puasa, Pak?" Galang mendengkus. "Kalau dia beneran mau taubat, semalam tidak akan menjadikan kamarnya sebagai markas." Reni mengangguk-angguk paham, menerima semua kantong makanan itu. "Baik, Pak. Nanti saya usahakan Mbak Bening mau makan." "Terima kasih, Mbak." Galang berbalik, melangkah turun tangga dengan perasaan campur aduk. Kesal, kecewa, dan sedih. Permintaan maafnya yang tulus ditolak mentah-mentah oleh Bening. Dia sudah bangun sejak subuh, memasak dengan sepenuh hati, berharap Bening akan tersenyum melihat usahanya. Tapi yang dia dapat? Penolakan dingin dan alasan puasa yang jelas dibuat-buat. "Puasa katanya," gerutu Galang sambil membuka pintu mobilnya. "Main kartu sampai tengah malam, tapi bilang mau mendekatkan diri pada Allah." Dia masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan agak keras. Tangannya menggenggam setir erat, memandangi kosan Bening dari balik kaca mobil. Jendela kamar Bening terlihat jelas. Gordennya tertutup rapat. Galang menarik napas panjang. "Keras kepala sekali!” gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN