Episode 1
Nai baru saja terbangun dari tidurnya ketika suara alarm mengusik telinganya. Nai mengusap wajahnya dan menghela nafas berat, kenapa dia selalu memimpikan hal yang sama. Beberapa hari ini entah kenapa Nai selalu memimpikan bagaimana awal pertemuannya dulu dengan James, laki-laki yang dulu dia sukai semasa kecil. Nai terkadang bingung sendiri bagaimana bisa seorang Nai kecil yang masih berusia 8 tahun sudah merasakan suka terhadap lawan jenis. Setiap kali Nai memimpikan James, rasanya Nai sangat merindukan laki-laki itu.
"Kenapa kamu pergi secepat itu James?" Ucap Nai dalam hati.
Seketika Nai teringat pernikahannya dengan James kala itu.
Nai segera menghapus air mata yang menetes di pipinya, dia tidak boleh sedih. Nai kemudian beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah itu Nai bersiap-siap untuk berangkat kuliah.
Nai turun dari tangga, dia melihat orang tuanya juga kakaknya yang tengah sarapan di meja makan.
"Nai, sarapan dulu, mama udah masakin makanan kesukaan kamu."
"Nai langsung berangkat, biar nanti Nai makan di kantin."
Frida bisa melihat raut wajah Nai yang terlihat sedih sejak kepergian James, anaknya itu pasti sangat merindukannya. Sudah beberapa hari ini Nai terlihat murung dan selalu menyendiri, Frida tidak tega melihat anaknya yang terus seperti ini. Ferdi, ayah Nai juga Frans kakak Nai hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Nai yang seperti itu.
"Nai, mama tau kamu sedih, tapi.."
"Nai berangkat, assalamualaikum."
Nai mencium tangan mamanya kemudian pergi meninggalkan rumah.
"Waalaikumsalam "
******
"Oi! Bengong aja lo, kenapa si?"
Luna menghampiri Nai yang tengah duduk, dan seperti biasa, sudah beberapa hari ini Luna selalu mendapati Nai sering melamun di kelas. Luna menghela nafas, kalo Nai terus-terusan seperti ini, dia bisa saja menjadi gila.
"Nai, udah cukup. Kalo lo kek gini terus, lo bisa gila tau nggak."
Luna harus bertindak keras pada Nai sebelum Nai menjadi gila beneran.
Tapi seperti biasa, Nai tidak menghiraukan kata-kata Luna.
"Nai, liat gue!"
Luna melengoskan kepala Nai untuk menatapnya, Luna terdiam saat dia melihat Nai... Menangis. Mata bengkak juga merah, entah berapa lama Nai menangis.
"Nai, lo nangis."
Nai menggelengkan kepalanya dan menghapus air matanya, "Gue nggak papa."
Luna menghela nafas, lagi dan lagi Luna selalu melihat Nai menangis. Dia tau apa yang sudah terjadi, tapi apa harus seperti ini. Dia kasihan sekaligus kesal dengan sikap Nai yang seperti ini terus.
"Nai, gue tau apa yang lo rasain. Tapi jangan gini dong. Lo tau apa pesen James sebelum dia pergi? Dia bilang gue harus jagain lo dan jangan pernah buat lo nangis. Kalo lo nangis, bisa-bisa gue kena sial karena gue ingkar janji sama James."
Nai mengangguk namun Nai kembali menangis, dia tidak bisa tidak menangis jika teringat dengan James. Nai sungguh merindukan laki-laki itu.
Luna mengelus punggung Nai, "Cup cup cup, jangan nangis. Nanti di kira gue ngapa-ngapain lo lagi."
Luna memberikan tisu untuk menghapus air mata Nai, dia juga merapikan rambut Nai yang sedikit berantakan, "Lo harus semangat, gimana kalo habis kuliah kita shoping? Kebetulan hari ini ada diskon besar-besaran di mall. Lo mau kan?"
Nai tersenyum dan mengangguk, Luna bernafas lega karena Nai tidak menangis lagi. Luna menggelengkan kepalanya melihat sikap Nai, umur sudah kepala dua tapi tetap aja cengeng.
Malam harinya, Nai pulang dengan membawa banyak tas berisi belanjaan yang ia beli bersama Luna. Benat kata Luna, shoping memang kadang bisa membuat mood perempuan kembali membaik.
"Nai, kamu belanja segitu banyak buat siapa?"
Nai berhenti, dia melihat kakaknya yang tengah duduk dengan laptop di pangkuannya. Nai melangkah menghampiri sang kakak kemudian duduk di sampingnya.
"Buat Nai lah, ada diskon gede-gedean di mall, makanya aku sama Luna pergi ke sana."
Tanpa melihat Nai, Frans berkata, "Jangan boros-boros, kamu harus latihan hemat."
Nai mengerucutkan bibirnya, dia kesal dengan Frans karena setiap Nai pergi berbelanja, kakaknya itu selalu saja mengingatkan Nai untuk tidak boros dan latihan berhemat. Ayah Nai seorang Direktur sedangkan kakaknya seorang CEO, jadi tidak masalah jika Nai sering berbelanja, toh uangnya tidak akan habis hanya untuk membeli beberapa pakaian.
Ngomong-ngomong, Frans itu kakak kandung Nai, dia sudah menikah dengan Nabila satu tahun yang lalu di umur nya yang ke 27 tahun. Frans seorang CEO di perusahaan ayahnya. Sedangkan Nabila, dia juga bekerja di perusahaan ayahnya tetapi sebagai karyawan biasa.
"Kak, gimana kabar kak Nabila?"
"Baik."
Nai langsung bersemangat, "Kapan urusannya selesai kak?"
"Udah kok."
Suara itu, bukan suara Frans melainkan suara lembut seseorang. Nai berbalik, dia melihat kakak iparnya yang tengah membawakan satu gelas teh hangat untuk Frans.
Nai langsung terkejut melihat Nabila yang sudah berada di rumah.
"Kak Nab kok udah pulang?"
Nabila tersenyum, dia meletakkan teh hangat di meja kemudian duduk di samping suaminya, "Harusnya 2 minggu, tapi ternyata 1 minggu cukup buat nyelesain masalah di sa....na."
Belum selesai berbicara, Nai sudah ngacir ke kamar. Dia berlarian menuju tangga ke kamarnya. Nabila hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Nai.
Frans berhenti mengutak-utik laptopnya, dia kemudian meminum teh buatan istrinya, "Kamu tau sayang? Selama 1 minggu ini Nai udah kaya orang gila."
Nabila tersenyum, dia tau akan jadi seperti ini.
Nai membuka pintu kamarnya, lampunya menyala? Nai lantas menutup pintu. Dia masuk ke dalam kamar, di sana Nai langsung di kejutkan dengan pemandangan yang luar biasa. Dia melihat seseorang tengah keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi pinggangnya juga mengusap rambutnya yang basah karena habis keramas. Seseorang yang ia rindukan kini sudah berada di depannya.
Tanpa banyak kata, Nai langsung berlari dan memeluknya dari belakang. Nai bisa merasakan dingin dari tubuhnya, mencium aroma tubuhnya. Hmm, Nai sangat merindukan aroma tubuh ini.
"Nai?"
Nai masih diam memeluknya dari belakang, rasa dingin di wajahnya karena menyentuh punggungnya yang basah tidak membuat Nai melepaskan, dia justru sangat nyaman.
Laki-laki itu kemudian berbalik, dia tersenyum melihat Nai yang masih saja memeluknya.
"Nai, lepasin dulu."
"Nggak, biarin gue meluk lo dulu."
"Emangnya lo nggak kedinginan? Badan gue basah."
Nai menggeleng, dia ingin memastikan ini bukan mimpi. Jika ini mimpi, Nai tidak ingin bangun dari mimpinya itu. Nai ingin memeluknya lebih lama takut kalo ini hanyalah mimpi.
"Hmm! Biarin gue meluk lo. Gue takut kalo ini mimpi, makanya gue pengen meluk lo lebih lama lagi sebelum gue bangun tidur."
"Lo nggak mimpi, ini nyata."
Orang itu mencoba melepaskan tangan Nai, tapi ternyata tangan Nai cukup kuat membuat dia sedikit susah melepaskan pelukan Nai.
"Apa buktinya kalo ini bukan mimpi."
"Lepasin dulu makanya."
Nai akhirnya melepaskan pelukannya, dia menatap laki-laki itu, tapi kemudian dia merasa pipinya sangat sakit karena di cubit.
"Aw, sakit James!"
"Itu bukti kalo lo nggak mimpi, ini nyata."
Nai mengedipkan matanya, memastikan bahwa ini memang bukan mimpi. Nai berganti mencubit kedua pipi James dengan keras, membuat sang empu menjerit kesakitan, "Sakit Nai! Lo masih belum percaya kalo ini nyata hah?"
Nai mengembangkan senyumnya, ternyata benar dia tidak sedang bermimpi. James benar-benar ada di depannya sekarang.
Nai langsung menabok lengan James membuat James lagi-lagi mengaduh kesakitan, "Wih! Dari dulu lo emang nggak pernah berubah ya, selalu kasar sama gue."
James bergerak menjauh dari Nai untuk mengambil pakaiannya di lemari, dengan nada kesal James berkata, "Suami pulang, bukannya di cium kek, lah ini malah di tabok."
"Lagian lo, kenapa nggak bilang kalo hari ini lo pulang coba?" Nai bersedekap, dia mengikuti James di belakangnya.
Saat James hendak memakai pakaiannya, suara Nai menghentikan aktifitasnya, "Lo mau ngapain?"
"Ganti baju lah."
Mata Nai langsung melotot, "Enak aja, ganti di kamar mandi sana."
James tersenyum miring, sudah lama juga dia tidak menggoda istrinya. James ingin tau apa sikap Nai masih sama seperti dulu, atau sudah berubah sejak dia pergi selama 1 minggu ke Swiss bersama Nabila karena ada masalah yang harus mereka selesaikan di sana.
James membalikkan tubuhnya, "Kenapa? Kita udah nikah kan? Emang gue nggak boleh ganti baju disini?"
Nai menjadi gugup, apalagi saat James menatapnya seperti itu. Nai tau, James pasti tengah menggodanya. Kalo biasanya Nai akan menyerang James jika dia menggodanya, tetapi kali ini Nai benar-benar gugup.
"Ayo jawab, gue nggak boleh ganti baju disini? Atau..."
James menggantungkan kalimatnya membuat Nai semakin gemetaran, "Atau apa?"
James mendekatkan wajahnya ke telinga Nai kemudian membisikan sesuatu yang membuat Nai merinding, "Atau gue nggak perlu ganti baju biar kita bisa kasih cucu buat mama sama papa."
Refleks Nai langsung mendorong tubuh James, membuat tubuh mereka terjatuh bersama karena James juga menarik tangan Nai.
"Ouihh!"
Kini posisi mereka begitu intim, Nai berada di atas tubuh James Jangan tanya bagaimana perasaan Nai sekarang. Karena Nai merasa jantungnya seperti mau copot.
Nai berusaha untuk berdiri tapi sayang, James memeluknya hingga dia kesusahan untuk bangun dari atas tubuh James, "James lepasin."
"Nggak, katanya lo kangen sama gue. Dan selama satu minggu ini lo juga selalu murung dan sedih karena gue tinggal."
"Nggak, siapa yang bilang itu ke lo." Nai mengelak.
James menaikkan sudut bibirnya, "Nggak usah ngelak, kak Frans udah cerita semua sama gue tentang lo selama gue di luar negeri."
"Kak Frans? Dia cerita apa aja sama lo."
"Banyak sampai gue bingung harus mulai darimana."
Nai kesal di dalam hati, kakaknya itu pasti sudah melebih-lebihkan cerita pada James.
"Dan sekarang, lo harus tanggung jawab Nai."
Dahi Nai mengernyit, dia merasa ada bahaya yang akan menimpanya.
"Lo nggak tau kalo saat ini gue nahan buat nggak nyentuh lo, lo tau? Lo udah ngebangunin sesuatu di bawah."
Sadar dengan apa yang di katakan James, Nai langsung berdiri. Dia tidak mau kalo sampai mereka melakukan sesuatu yang tidak-tidak.
Nai duduk di ranjang, dia bahkan tidak berani menatap wajah James lagi. Dia merasa malu, walaupun mereka sudah menikah, tapi mereka sama sekali tidak pernah melakukan hubungan selayaknya suami istri. Bukannya Nai tidak mau, tapi dia belum siap untuk melakukannya. Begitupun dengan James, dia akan tetap menunggu sampai Nai benar-benar siap, dan James tidak pernah memaksakan Nai. Dia mengerti.
James menggelengkan kepalanya melihat kegugupan Nai, ternyata Nai masih sama. James berdiri dan mengambil pakaiannya lalu berlalu ke kamar mandi. Sudah cukup James menggoda istrinya.
Beberapa menit kemudian, James keluar dari kamar mandi yang sudah berpakaian lengkap. Dia tidak melihat Nai berada di kamar lagi, tapi kemudian James melihat Nai masuk ke kamar seperti habis mandi.
"Lo udah mandi?"
"Hm, gue mandi di kamar mandi tamu."
"Kenapa lo mandi disana? Nggak mandi disini."
Nai mengendikkan bahunya, Nai kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersender di kepala ranjang. Sedangkan James, dia duduk di sofa lalu mulai menyalakan televisi.
Mendengar suara getaran, Nai mencari sumber suara. Dia melihat ponsel James bergetar dan beberapa notif w******p masuk di ponsel. Nai membukanya, dan untungnya James belum mengganti kata sandi ponselnya hingga memudahkan Nai tau apa isi pesan itu.
From Mitha..
"James, gimana kabar lo? Gue denger lo udah balik dari Swiss kan?"
From Gina
"James, gue kangen sama lo, besok kita ketemu ya. Lo udah balik kan dari Swiss?"
From Cherly
"James, gimana penerbangan kamu ke Indonesia? Maaf aku nggak sempat anter kamu ke bandara karena ada pekerjaan yang nggak bisa aku tinggalkan. Kalo kamu nggak sibuk, segera kabarin aku:* ."
Nai berdecak sebal melihat satu persatu chat dari beberapa wanita-wanita James. Mitha dan Gina, Nai mengenalnya karena mereka satu Universitas, dan mereka juga satu dari sekian banyak penggemar seorang James Arnold. Tapi Bella? Siapa dia? Melihat isi chat nya, Nai yakin kalo James bertemu Bella di Swiss.
Walaupun Nai sudah terbiasa dengan sifat James yang selalu dekat dengan cewek lain, tapi untuk yang satu ini Nai merasa ada yang aneh.
Tiba-tiba seseorang menelfon James, dan itu Bella
Nai menghembuskan nafasnya, dia mengangkat panggilan dari Cherly. James pasti tidak akan marah, toh dia juga sedang sibuk dengan siaran televisi.
"Halo?"
"Ha..halo?"
"Maaf ini siapa ya? Bukannya ini ponsel James? Kenapa kamu yang angkat?"
"Aku... Aku.."
Belum selesai bicara, tiba-tiba James datang dan merebut ponselnya dan mematikan panggilan.
"James, kenapa di matiin?"
"Nggak penting Nai."
James kembali ke sofa namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
"James, siapa Bella? Apa dia cewek baru lo di Swiss?"
******