Galan sedang di sebuah kafe sambil menikmati makanan yang ia pesan ketika beberapa pengunjung terlihat serius menatap layar kaca yang di lekatkan di dinding dengan posisi yang lebih tinggi tersebut.
Sejak tadi ia juga mendengarkan suara indah penyanyi tersebut meski ia sama sekali tidak tertarik untuk ikut menonton dan memperhatikan televisi berukuran sekitar 24 inchi tersebut.
" Halo, Gal. Kamu dimana?" tanya Anton.
" Saya sudah di tempat yang mas sebutkan."
" Oh, maaf kalau saya terlambat. Saya sudah di jalan."
" Nggak apa- apa, mas. Saya sengaja datang lebih awal karena sekalian makan siang." jawab Galan dengan meneguk air putih di gelasnya.
" Ya sudah. Sebentar lagi saya sampai."
" Baik, mas."
Setelah meletakkan ponselnya, Galan kembali menoleh ke sampingnya dan melihat sepasang wanita nampak menyeka pipinya dengan pandangan penuh makna ke arah layar televisi seolah ikut terlarut dalam nyanyian tersebut.
" Emang ini Live ya?" tanya salah seorang wanita lainnya pada pelayan yang membawakan pesanannya.
" Sepertinya bukan, kak. Ini siaran ulang." jawab pelayan wanita tersebut dan Galan sedikit tersenyum dalam hati karena merasa mereka terlalu berlebihan pada sang penyanyi wanita.
" Kakaknya suka juga sama Zara?" sambung gadis pelayan sambil meletakkan pesanan di atas meja pelanggannya.
" Suka banget. Spesialis broken heart dianya. Dan lagunya selalu ngena banget ke hati. Dia beruntung banget. Sudahlah cantik, suaranya bagus, suaminya keren dan kaya, dan kelihatan ngemong dia banget. Mana suka ikut acara amal- amal gitu." jelas wanita berusia 30an tersebut dengan antusias.
" Iya, kak. Benar banget. Toss dulu kak sesama Zara Lovers." ucap gadis pelayan tersebut dengan sumringah.
Galan yang tak sengaja ikut mendengar obrolan mereka hanya bisa mengulum senyumnya melihat tingkah para penggemar yang mengelu- elukan sang idola sampai segitunya. Hingga ia pun sedikit penasaran dan mencoba menoleh pada layar televisi namun penampilan sang penyanyi telah berakhir.
" Hai, Gal." sapa Anton ketika memasuki kafe tersebut.
" Mas..." jawab Galan dan langsung berdiri menyambut uluran tangan sang kerabat.
" Apa kabar, kamu?" tanya Anton.
" Baik, mas. Mas sendiri?"
" Seperti yang kamu lihat, mas semakin tua. Dan kamu masih seperti dulu."
Obrolan Galan dan Anton kini malah menarik perhatian dua orang wanita tadi ketika menyadari pria bertopi hitam yang sejak tadi duduk di samping meja mereka ternyata sangat tampan dan memiliki tubuh yang tentu idaman semua pria.
" Duduk dulu, mas." ucap Galan.
" Kamu sudah selesai makannya?" tanya Anton.
" Sudah. Mas mau makan?"
" Nggak usah. Nanti saja." jawab Anton.
" Jadi... Apa kegiatan kamu akhir- akhir ini?" sambungnya.
" Well, seperti yang mas lihat. Saya pengangguran dan gelandangan." canda Galan.
" Kamu saja yang tidak mau melanjutkan bisnis ayah kamu. Malah ngasih ke orang lain. Lagian mana ada gelandangan sekeren kamu dan tinggal di apartemen."
" Mereka lebih berhak dan mereka lebih tahu mengelolanya. Mereka merintis usaha itu sama papa dari nol, akan sangat tidak adil kalau saya mengambil alih dan tidak tahu harus berbuat apa." jawab Galan.
" Lalu apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Anton lagi.
" Saya belum tahu, mas. Yang jelas saya harus cari pekerjaan."
" Galan, kamu tahu kalau itu bukan kesalahan kamu." ucap Anton yang langsung membuat raut wajah Galan berubah.
Pria bertubuh atletis tersebut lalu menyunggingkan senyum masam dan tahu apa yang Anton tengah maksudkan.
" Lalu salah siapa, mas? Saya yang bertanggung jawab dan saya seharusnya tidak meninggalkan pasukan saya." ucap Galan dengan sendu.
" Tapi kamu meninggalkan dia karena kamu sedang menyelamatkan Ricky. Bukan karena sengaja. Kamu tidak perlu menanggung beban tanggung jawab seperti itu dan terus menyalahkan diri kamu."
" Karena itu memang karena kelalaian saya."
" Jadi, bagaimana kabar Ricky?" sambung Galan untuk mengubah topik pembicaraan mereka. Membicarakan kejadian beberapa tahun lalu selalu membuatnya seperti sangat tersiksa.
" Dia baik. Dia sudah bisa berjalan walaupun pincang. Anaknya yang kedua baru saja lahir dan dia akan senang saat tahu kita ketemu." jawab Anton.
" Sampaikan salam saya ya, mas. Suatu saat kami pasti ketemu lagi."
" Hanya kamu dan Tuhan yang tahu dimana keberadaan kamu dua tahun terakhir ini. Andai waktu itu kita nggak sengaja ketemu, saya juga nggak akan tahu kamu masih hidup ataupun tidak. Untungnya saya dapat nomor kamu dari Ramon. Kamu tahu kami semua menyayangi kamu." ucap Anton dengan tulus. Galan memang sudah seperti adik dan kawannya sendiri.
" Terima kasih, mas."
Mereka berdua akhirnya memesan kopi dan makanan kecil sambil bercakap- cakap ringan masalah seputar kehidupan Anton dan pekerjaannya. Anton tahu betul jika pria dihadapannya tersebut tidak menyukai jika harus membicarakan masalah masa lalunya sebagai kapten pasukan khusus. Kapten yang harus kehilangan salah satu anggota pasukan terbaiknya tepat di depan matanya akibat ledakan ranjau yang menurutnya adalah kelalaian dirinya.
***
Galan menaiki taksi online yang ia pesan dan duduk di samping pengemudi yang berusia cukup matang tersebut.
" Sore, pak..." sapanya dengan ramah.
" Sore juga, pak." balas Galan sambil memasang sabuk pengamannya.
" Mas nya prajurit ya?" tebaknya lalu mulai mengemudikan kendaraan miliknya dengan perlahan.
" Bukan, pak. Kenapa bapak tanya begitu?"
" Ya soalnya masnya kelihatan seperti anggota militer. Rambut cepak, badan tegap, dan ganteng. Tapi masnya terlalu putih sih." jawabnya sambil terkekeh.
" Memangnya anggot militer nggak boleh putih, pak?" canda Galan.
" Ya jarang sih mas ya... Habisnya kan mereka kebanyakan di lapangan. Dan saya selalu mau anak saya jadi tentara atau polisi lah"
" Oh ya? Kenapa? Gajinya kan nggak besar, pak? Mana jarang di rumah juga."
" Ya kalau mau banyak duit dan kaya jangan jadi militer. Saya hanya mau anak saya berguna untuk orang lain. Pengen saya jadiin dokter tapi mahal, mas. Nggak mampu saya. Kalau jadi militer kan ada kemungkinan bisa lulus tanpa keluarin duit." jelasnya masih dengan senyuman seolah apa yang ada di bayangannya sudah ada di depan mata.
" Semoga anaknya bisa jadi prajurit ya, pak. Anak- anak bapak pasti bangga punya anda." ucap Galan.
" Makasih, mas."
Galan hanya tersenyum samar lalu kembali menatap keluar jendela. Sungguh keadaan keluarga bapak ini sangat berbeda dengannya. Dulu, saat ia memutuskan ingin menjadi prajurit, semua anggota keluarganya menentang. Ayahnya bahkan mencemooh pilihannya dan memaksa agar ia melanjutkan perusahaan keluarga yang ia rintis dari nol bersama sang sahabat. Ia menganggap menjadi prajurit bukanlah suatu profesi yang menjanjikan dan bisa membuat hidupnya semakin baik. Terlebih lagi, mendiang ayahnya menyimpan banyak harapan dan kebanggan pada anak semata wayangnya tersebut. Hal yang selalu membuat Galan dan ayahnya sering bertengkar.
Galan yang selalu sederhana dan tidak tertarik dengan semua fasilitas dan kemewahan yang diberikan orang tuanya, sejak kecil terkadang memilih untuk lebih banyak bergaul bersama para karyawan yang bekerja di rumahnya dan tidak begitu menyukai kerabat dan keluarganya yang seolah sangat membanggakan kekayaan mereka.
Dan hingga akhirnya ia berhasil lolos menjadi prajurit, ayahnya bahkan tak segan untuk mengusirnya dari rumah karena dianggap hanya akan membuat keluarga mereka dipandang sebelah mata. Kebanyakan sanak keluarga dan kerabat mereka memang menjadi pengusaha, dokter, arsitek, ahli teknologi, dan segala profesi membanggakan yang telah orang tua mereka tetapkan sejak mereka kecil. Namun, Galan tetap pada pendiriannya dan tidak ingin ikut dalam kompetisi sosial kedua orang tua mereka. Ibunya bahkan tidak begitu peduli saat Galan pergi dan mengatakan pada semua orang jika putranya sedang bersekolah di negara lain. Dan saat kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, lalu sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, mereka bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Ia hanya diberitahu oleh pengacara sehari setelah kedua orang tua mereka dikuburkan dengan meninggalkan wasiat dan sepucuk surat permohonan maaf yang mengatakan mereka hanya tidak ingin orang tahu jika putra mereka satu- satunya adalah seorang tentara dan lebih memilih agar ia tidak muncul di rumah sakit ataupun di pemakaman. Hal yang sampau saat ini masih sangat tidak masuk akal bagi Galan. Bagaimana bisa ada orang tua yang jauh lebih mementingkan nama baik dan gengsi mereka daripada anak mereka satu- satunya, bahkan disaat- saat terakhir kehidupannya. Mereka bahkan berpikir jika warisan mereka adalah segalanya untuk sang anak yang bisa menyembuhkan semua kekecewaannya.
***
Galan tiba di sebuah rumah bercat putih yang letaknya cukup jauh dari perkotaan dan terlihat sangat sejuk. Rumah ini agak berjauhan satu sama lain dengan rumah sebelahnya yang sama- sama memiliki halaman yang luas dan betul- betul sangat mengutamakan privasi sesama tetangga mereka. Ruma yang bertuliskan home sweet home pada pintu depannya tersebut selalu membuat Galan tersenyum sinis dan selalu membalikkan tulisan tersebut hingga tidak bisa ia baca.
Rumah tersebut adalah pemberian sang pengacara yang mengurus semua harta peninggalan mendiang kedua orang tuanya agar ia bisa tinggal di tempat yang layak dan cocok untuknya. Dan harus Galan akui, rumah tersebut memang nyaman dan leluasa dan tentu lebih lebih baik daripada hotel yang ia sewa ataupun apartemen sederhana miliknya.
Galan lalu memasuki rumah dengan konsep openspace tersebut dimana semua ruangan menjadi satu tanpa adanya sekat ataupun dinding pembatas. Ia pun langsung menuju tangga yang akan membawanya ke kamar bersekat kaca besar tersebut yang membuatnya bisa melihat seluruh isi rumah dan pemandangan yang cukup asri di luar sana. Pengacara tersebut sepertinya sangat tahu jika ia bukanlah seorang yang suka bergaul dan menyukai keramaian.
Galan lalu berbaring di tempat tidur berukuran besar tersebut dan menatap langit- langit berwarna putih lalu memejamkan matanya sesaat. Dan entah mengapa seolah nyanyian wanita yang ia dengarkan di kafe saat itu terus berkumandang di telinganya.