Chapter 07

2001 Kata
Nadia mengantar Felix ke bandara, mengantar sang kekasih. Ingin rasanya dia ikut seperti tahun lalu, mengintil pria itu saat pergi ke luar negri. Namun, berbeda kondisinya. Dia sudah menjadi pegawai magang, dan akan banyak tugas – tugas yang selalu memberatkan dia untuk melakukan seenaknya. Nadia yakin, Felix juga sengaja meninggalkan kerjaan yang menumpuk agar Nadia pastinya tak akan menyusul pria itu. Wanita itu menghela napas, dan menatap pria di hadapannya yang sudah mengenakan kacamata hitamnya dengan koper di tangan kirinya. Nadia mendengus sambil menatapnya. "Berapa hari di New Zealand?" Felix hanya menatap Nadia datar. Lalu dia menjawab singkat, "Seminggu." "Kok lama banget sih?" Felix mendengus, "Nad, saya harus melakukan pekerjaan saya. Seminggu itu pun saya juga meeting dan harus mengurus pekerjaan di sana. Saya tidak bermain – main, atau liburan disana." Nadia memajukan bibirnya kesal, "Nggak bisa cepet pulang? Kan kangen itu berat. Aku bukan Dilan, yang bisa nahan kangen.” Felix malah menarik kopernya, dan menatap Nadia. “Aku setengah jam lagi boarding. Aku harus pergi.” Nadia langsung mendekati Felix dan memeluk pria itu dengan erat. Dia pasti akan sangat – sangat merindukan pria itu, meski dia sering membuatnya kesal dengan sikap perfectionisnya. “Jangan lama – lama, cepet pulang pacar.” Felix, membalas pelukan wanita itu meski hanya menggunakan satu tangannya. Sementara satu tangannya lagi memegangi koper miliknya. “Kamu jaga diri baik – baik, selama saya tidak ada di sisi kamu. Jangan ceroboh, dan lakukan pekerjaan kamu dengan baik.” Nadia mengangguk dalam pelukannya. Dia lalu melepaskan kekasihnya, dan tersenyum sambil mengantar kepergian Felix melambaikan tangan. Dia terus tak memudarkan senyumannya. Hingga Felix, benar – benar sudah tak terlihat, baru air mata Nadia menetes satu sudut di ujung matanya. “Hiks, gue kuat. Cuma seminggu, nanti dia juga balik. Gue harus kuat nahan kangen.” Nadia menghapus air matanya dengan punggung tangannya dan memutar badannya pergi dari bandara. Wanita itu melangkah kan kaki keluar dari bandara. Sampai di bandara, dia di sambut oleh seorang wanita. “Sudah mengantar pacar kamu? Kenapa nggak nangis, tumben.” Nadia memajukan bibirnya, “Nanad malu Mah. Udah besar harus nangis. Gengsi lah!” Sandra, wanita itu mengusap pipi sang putri, dan tersenyum. “Ini yang selalu Mamah sampaikan ke kamu dari dulu. Semakin dewasa, kamu harus semakin siap mengadapi situasi yang sulit kamu kendalikan. Semakin kamu mampu mengendalikannya, maka, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.” “Nanad kan memang udah dua puluh empat tahun Mah. Mana bisa di katakana anak kecil. Nanad juga nggak suka makan permen lagi kayak dulu kan? Udah mulai pusing ngurus meeting, ini itu yang ribet. Udah dewasa.” “Dewasa tidak bisa di ukur dari segi umur, Nadia sayang. Umur seseorang memang bisa terhitung dan terlihat secara gamblang. Namun, kedewasaan seseorang di ukur dari sikap.” Nadia mendengus. Dia lalu memajukan tubuhnya memeluk Sandra. “Nadia nggak sanggup jauh dari Felix, Mah. Rasanya, dunia mau runtuh aja.” “Alay kamu. Ayo pulang, Papah sudah kangen sama kamu tuh. Anaknya sibuk ngantor mulu sekarang, jarang ke rumah.” Nadia menganggukan kepala. Dia lalu pergi bersama dengan Sandra. Mereka menuju ke mansion kedua orang tuanya, karena percuma saja di aprtemen karena akan merasa sepi. Nadia sangat betah ke apartemen hanya karena Felix. Semua serba karena pria itu. Sampai di mansion orang tuanya, Nadia masih dengan sikapnya, langsung menyelonong saja masuk dan menidurkan dirinya di sofa panjang di ruang keluarga. Melihat putrinya yang menekuk wajah masam, Bram mendekati Nadia. Dia menatap Nadia dengan heran. “Kenapa lagi, datang – datang wajahnya masam. Kurang piknik atau gimana?” Sandra yang baru saja masuk, menggeleng – gelengkan kepalanya. “Biasa. Felix ada dinas ke luar, anakmu itu susah nahan kangen katanya, Mas.” Nadia mendengar ucapan kedua orang tuanya memutar bola matanya, “Wajar dong Mah. Nadia kan wanita idaman, mana ada celah memikirkan selingkuh. Idaman kan Nadia!” katanya penuh percaya diri. “Idaman apaan, orang cengeng begitu,” celetuk Bram. Nadia yang tadinya melentangkan tubuhnya, kini berganti tengkurap dan menatap Bram yang ada di depannya. “Pah, Papah nggak ada pekerjaan dinas ke New Zealand apa?” Bram sudah menatap curiga sang anak, “Kamu mau ngapain? Ngejar Felix? Nggak nggak ada, udah kamu bener anteng. Lagian kamu masih magang di kantor Felix kan? Magang yang bener, lakuin tugas apa yang di kasih di kantor.” Nadia memajukan bibirnya, gagal sudah usahanya untuk membujuk Bram menuruti apa yang dia inginkan. Karena usaha terakhirnya yang gagal, Nadia meletakan wajahnya diatas sofa. Terlungkup, karena merasa sangat sebal. “Belum kuat kangen Felix hiks hiks,” gumamnya. *** Keesokan harinya, Nadia sudah harus masuk ke dalam kantor seperti bisa. Pertama – tama, dia harus absen dulu, baru bergegas menemui Nara, ketua divisinya saat ini. Dengan malas – malasan, wanita itu berjalan menuju ke ruangan milik Nara. Dia mengetuk dulu pintu sebelum benar – benar di izinkan masuk ke dalam oleh pemilik ruangan. Setelah mengetuk beberapa kali, suara dari dalam, membuat tanda bahwa wanita itu di perbolehkan untuk masuk. Nadia pun masuk ke dalam, dan memberikan senyuman hangat kepada wanita dengan garis alis yang tajam itu. “Selamat pagi, Bu Nara yang paling kece sejagat raya.” Nara, dia menatap Nadia dari atas ke bawah. Lalu dia berdecih, “Kusut amat wajah sama penampilan kamu. Tau aja saya bakal ngasih tugas banyak ke kamu, karena bos lagi keluar negri saat ini.” “Bu Nara mah, nggak kesian saya apa. Tugas mulu dah, bonus aja kagak cair – cair.” “Eits, kamu bisanya complain saja. Minus kamu itu banyak, mau – mau aja terus minta bonus. Dasar solimi, kamu Nad.” Nadia memutar bola matanya malas, “Yaudah iya. Mana tugas buat saya, Bu Nara.” “Karena selama bos pergi, maka ada pengganti yang akan tentu menjalankan pemimpinan. Namanya Pak Lucas. Dia akan datang pukul sepuluh nanti. Tugas kamu seperti biasa, menyambut Pak Lucas, dan jangan buat dia marah.” “Ye, Bu Nara mah. Saya imut gini nggak bakal buat orang marah.” “Bukan gitu, Pak Lucas itu gossip – gosipnya lebih galak dua kali lipat dari Pak Bos Felix. Jadi kamu hati – hati aja, saya sudah kasih tau kamu. Kalau tidak mau di terkam, makanya jangan cari masalah.” Nadia melihat jam di lingkar tangannya. Itu artinya, Bos baru sementara pengganti Felix datang satu jam lagi. Baiklah, dia bisa senang – senang untuk tertidur sebentar sebelum bos pengganti Felix datang. “Yaudah deh Bu. Gitu aja kan, nggak perlu tugas yang lain kan?” “Nggak, satu aja itu udah repot. Lihat aja nanti.” “Iya – iya. Kalau gitu saya keluar ya Bu.” “Oke, sana.” Nadia keluar dari ruangan kepala divisinya, dan menuju ke ruangannya. Dia sungguh tak ada gairah ngantor saat ini. Gairahnya, hanya tertuju pada kekasihnya saja, mood booster sekaligus mood swingnya. Dengan kasar, Nadia meletakan kepalanya diatas meja. Dengan menyedot yogurt miliknya, dia memejamkan mata. Mungkin satu – satunya gairah dia saat ini adalah tertidur. Wanita itu tak peduli, karena dia masih memiliki waktu panjang satu jam mengistirahatkan diri. Saat Nadia masih tertidur. Dia merasakan tidak nyenyak. Karena dia merasa getaran yang ada di meja di mana tempat yang dia sebagai tumpuan dari tidurnya. “Ngeh, jangan usil ih. Gue ini lagi istirahat, ntar gue bakal ngurus kedatangan si bos baru. Udah jangan usil ya, ini pasti lo kan Anggit!” Nadia tetap melanjutkan tidurnya, tak peduli entah Anggit, temannya atau bukan yang mengganggu tidurnya. Tapi, gebrakan di meja membuat Nadia terkaget dan akhirnya bangun mau tak mau. Brak! “Astaghfirullah hal adzim. Saiton ni rojim!!” teriak Nadia. Saat dia menoleh ke samping, dia membelakan matanya dan langsung saja bangkit dari sana. “Eh, elo?!” Flash back. “Bang saya mau foto copy!” “Bang saya mau foto copy!” Nadia melihat pria yang sama – sama ngos – ngosan sepertinya, menatapnya tajam. Sama seperti wanita itu, yang melihat wanita itu tajam. Nadia yang merasa sudah duluan, tidak mau kalah begitu saja. “Bang saya duluan!” “Bang saya duluan!” Lagi – lagi mereka mengatakan hal yang sama. Nadia lalu menghela napas dan menatap pria itu kesal, “Lo itu bisa nggak usah ngikutin omongan gue?” Pria itu bersedekap dan menatap kesal Nadia, “Dih, lo pikir gue ngikutin omongan lo? Kepedean banget jadi cewek!” Nadia lalu menatap ke arah Abang yang jaga foto copyan, “Bang, saya lagi buru – buru. Foto copy punya saya dulu!” kata Nadia sambil menyerahkan kertas – kertas itu kepada Abang tukang foto copy. Saat Nadia menyerahkan kertas – kertas itu, pria disampingnya juga tidak mau kalah. “Nggak bisa! Punya saya duluan Bang! Saya lagi buru – buru.” Nadia mendengarnya menjadi kesal, “Apaan sih lo, kan gue duluan!” “Lo pikir ini toko punya lo? Lo itu datang akhir dari pada gue!” Nadia menatap tajam Abang foto copyan, “Bang, cepetan punya saya dulu. Saya bayar dua kali lipat!” Pria itu kesal dengan apa yang dilakukan Nadia, dia juga tidak mau kalah, “Saya bayar tiga kali lipat Bang!” “Apaan sih lo! Sepuluh kali lipat Bang!” Abang foto copyan yang melihat perdebatan antara Nadia dan pemuda itu memegang kepalanya, “Aduh Neng, Akang, kenapa pada ribut. Sebenarnya yang duluan itu siapa?” “Saya!” “Saya!” Abang foto copyan menahan napasnya hampir bengek melihat kedua orang itu, “Aduh, jangan ribut atuh Neng Akang. Lagian, sebelah saya juga masih ada foto copyan. Kalau terburu – buru bisa ke toko sebelah atuh…” “Nggak!” “Nggak!” Nadia merasa kesal lalu menatap pria itu, “Apaan sih lo ngikutin mulu! Kalau lo buru – buru sono minggat ke toko sebelah! Toko ini gue duluan yang datangin!” Pria itu tak merasa gentar terus berdebat dengan Nadia, “Eh lo pikir lo siapa ngusir gue! Lo aja yang ke sana, ngapain nyuruh gue!” “Lo aja, gue nggak mau!” teriak Nadia. “Lo-” “Udah stop Akang Neng! Saya tutup aja lah kalau begini, pusing…” Flash back off. Nadia terkejut dengan pria yang pernah dia temui beberapa waktu silam. Dia memang masih benar hapal wajah pria itu, meski lebih rapi sekarang, dia menggunakan setelan baju kantor dengan rapi menggunakan jas seperti orang kantor lainnya. “Heh, lo stalker?! Ngapain sih lo ikutin gue sampai sini! Gue kasih tau. Lo itu dulu yang salah karena nyerobot antrian foto copy gue. Lo mau balas dendam? Tau dimana lo kantor gue disini! Dasar stalker,” nyrocos Nadia. Pria itu masih diam dan mengerutkan keningnya. “Apa? Kamu bilang tadi? Stalker? Nggak salah?” Sementara Nadia merespon dengan memutar bola matanya jengah. “Udah deh. Gue tau gue cakep. Lagian, lo nggak sopan banget sih, udah stalker mana gebrak meja gue. Kalau gue nggak males, lo udah gue panggil satpam buat nyeret lo. Mending lo pergi deh, dari pada di seret satpam dengan ketidak hormatan, dasar stalker!” Saat Nadia masih mengomel, Anggit datang berlari dengan ngos – ngosan kepada Nadia. “Nad, lo nggak lupa kan jemput Pak Luc-Eh?” Nadia yang lagi kesal menatap Anggit sebal. “Nih stalker ngikutin gue Nad. Mana acara ngegebrak meja gue. Suruh pergi sono dari sini, nyebelin banget!” Anggit membelakan mata, melotot kearah Nadia. “Nad, hush! Lo nggak tau apa ini siapa?” “Dih, siapa. Nggak penting, stalker gini ngapain gue urusin!” “Lucas Kanserino, orang yang tidak penting dan juga stalker,” kata pria itu dengan tatapan penuh permusuhan kepada Nadia. Mendengarnya, Nadia meneguk salivanya, dan terkejut, “Ha?!” Nadia melotor, dan benar - benar merasa dalam masalah yang besar. "Kalau begitu, artinya, dia bos baru gantiin Felix? Mampus gue! Mana udah nyerocos nggak ada akhlak lagi. Mampus!" batin Nadia. Wanita itu berakhir tersenyum memperlihatkan gigirnya, sambil menggaruk tengkuknya. "Hehe, Pak Lucas ternyata? Maaf Pak, saya- saya kira itu stalker saya anu-" "Ikut ke ruangan saya sekarang!" Singkat padat dan jelas. Nadia pasti mampus kali inI!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN