Akhir yang di tunggu - tunggu untuk seorang Nadia Bramantyo, yaitu jatah libur. Tanggal merah, nampaknya tak bisa di katakan libur untuk Nadia, karena akan ada saja suatu tragedi yang membuat dia tidak jadi libur.
Seperti hal nya kali ini. Nadia, dia bersantai menggunakan masker di wajah. Memanjakan diri, dengan berselonjor di atas sofa empuk dengan kepala yang mengadah ke atas.
Telinganya tertutup oleh lagu NCT, idol korea favoritnya. Mulutnya mulai komat - kamit asalan, asal hatinya senang.
Saat wanita berusia dua puluh empat tahun, menikmati me timenya. Lagu merdu NCT, yang aduhai berganti dengan nada dering panggilan khas ponselnya.
Nadia yang tadinya terpejam sambil komat - kamit, membuka matanya langsung. Dia menoleh ke sampingnya, melihat handphone miliknya, dan meraihnya.
"Ya elah, gini amat jadi karyawan magang. Ada aja musibah idup gue."
Dengan malas, Nadia mengangkat panggilan yang masuk.
"Halo?"
"Ha?! Sekarang?!"
Nadia sontak menegakan posisinya menjadi duduk hingga maskernya tercopot jatuh ke bawah. Matanya melotot terkejut.
"I-iya Pak! Sa-saya datang lima belas menit lagi... I-iyaa!"
Tut!
Nadia langsung melempar ponselnya asal, dan naik ke atas tangga untuk menuju ke kamarnya. Dia langsung mengambil pakaian formal kerjanya dengan random, dan juga rok span di atas lututnya.
Saat ini dia sangat bodo amat, meski wajahnya buluk. Karena waktunya hanya lima belas menit saja.
Setelah berganti pakaian, Nadia hanya memoles lip tint tipis di bibir miliknya. Dia lalu turun dan mengambil sepatu flatshoesnya random asal pakai. Lalu, dia menyambar kunci mobilnya dan segera keluar dari apartemen miliknya.
Nadia berlari dari apartemennya menuju ke parkiran mobilnya. Dengan cepat dia masuk ke mobil, dan memasang seat beltnya dengan napas yang terengah - engah.
"Mampus! Mampus! Kenapa pakai mogok segala sih!"
Cobaannya tak hanya sampai di sini. Mobilnya mogok dan tak mau di hidupkan, membuat wanita itu sungguh merasa depresi sekali.
Mau tak mau, Nadia keluar dari mobilnya, dan harus mencari taksi terdekat untuk sampai ke kantor lima belas menit dari sekarang.
Dia berjalan sebentar, hingga dia sampai di ujung dekat halte tak jauh dari apartemennya. Siapa tau disini ada pangkalan taksi atau taksi yang lewat. Namun, sepertinya memang dia di ujung nasib yang sial. Tak ada taksi yang lewat atau nge-team disini.
"Dih, kok nggak ada taksi sih. Gimana caranya gue kalau gini?!"
Nadia benar - benar bingung. Dia benar - benar merasa kesal. Saat dia sedang bingung, sebuah mobil berhenti tepat ke arahnya. Nadia menoleh dan mengerutkan keningnya ketika seorang pria turun dari mobil, dan mendekati dirinya.
"Mas Evan?!"
Ya, pria itu adalah Evan. Laki - laki yang kebetulan bekerja satu kantor dengan dirinya, kantor milik Felix.
Evan dengan senyuman ramahnya menyapa Nadia. "Eh Nad, kamu ngapain disini sendirian malam - malam?"
"Mas Evan sendiri ngapain disini?"
"Ah, saya kebetulan pindah unit apartemen di daerah sini. Saya seperti mengenali kamu, jadi memutuskan untuk turun dan memastikan. Eh, ternyata benar, itu kamu."
Nadia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Hehe, iya Mas. Em... Mas Evan, Nadia boleh minta tolong nggak? Darurat banget nih!"
"Darurat? Kalau bisa saya bantu, saya bantu Nad."
"Boleh anter Nadia ke kantor nggak sekarang? Mobil Nadia mogok, dan taksi satu pun nggak lewat disini, Mas. Ya ya ya..."
"Oh boleh, yaudah kamu naik gih di mobil. Saya antar kamu."
Nadia menghela napasnya lega. "Fyuh, syukur deh kalau Mas Evan mau bantu hehe. Nebeng ya Mas!"
"Iya. Naik gih, katanya darurat."
Nadia menepuk jidatnya. "Ah iya! Lupa hehe."
Wanita itu tanpa sungkan langsung masuk ke dalam mobil Evan, duduk di samping kemudi. Mobil pun di putar arah, berjalan menuju ke arah kantor mereka.
Di dalam perjalanan, Nadia terus saja mengecek jam di pergelangan tangannya. Sementara Evan, yang sedang mengemudi menyadarinya dan akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Kamu kenapa ngelihat jam tangan terus? Memang kamu ke kantor di suruh siapa? Kayaknya darurat banget gitu, Nad."
Nadia menoleh dan menyengir, "Ini biasa. Sama kepala divisi aku Mas. Bu Nara."
Evan nampak mengangguk, anggukan kepalanya paham. "Lalu kenapa kamu nggak pindah divisi aja? Kalau sudah tau Bu Nara orangnya seenaknya, kenapa nggak coba pindah divisi aja Nad? Saya bisa bantu kok, kalau kamu mau sih."
Nadia meneguk salivanya. "Astaga, gue aja betah - betah di divisi Bu Nara, gara - gara biar deket sama Felix. Gimana mau pindah, makin jauh dong sama doi..." batin Nadia.
Melihat Nadia yang hanya diam, Evan kembali bertanya lagi. "Nad? Kamu masih dengarkan saya, kan?"
Nadia mengerjapkan matanya melihat ke arah Evan. "Ah, iya Mas? Maaf, tadi sedikit tidak konsentrasi hehe."
"Itu, saya tadi nawarkan kamu untuk bantu pindah divisi lain. Mungkin mau pindah satu divisi dengan saya?"
Nadia menggaruk tengkuknya, "Em, nggak tau juga sih Mas. Masalahnya kan aku anak magang juga. Ribet ah pindah divisi - divisi. Malah aku yang pusing jadinya. Kalau untuk Bu Nara, paling puji dikit juga nggak ngamukan Mas haha," alibinya.
Evan tersenyum tipis, "Ah, yasudah. Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungin saya. Saya siap untuk membantu kamu untuk pindah divisi Nad."
"Iya, Mas."
Nadia kembali menatap ke depan, sambil memperhatikan jalan.
Akhirnya, mereka pun sampai di kantor. Nadia pun melepas seat beltnya, dan menatap Evan di kemudi.
"Mas Evan, makasih banget lo. Sumpah, kalau nggak ada Mas Evan, aku nggak tau bakal jadi kuyang kali sama Bu Nara. Aku turun dulu ya Mas, takut Bu Nara ngomel hehe!"
Nadia membuka pintu dan keluar dari mobil milik Evan. Evan pun tersenyum dan melambaikan tangan kepada Nadia sebelum pergi.
Nadia, sebelum masuk kantor pun melambaikan tangan kepada mobil Evan. Lalu, setelah mobil Evan sudah menjauh dari kantor, dia langsung masuk ke dalam.
Dia berlari menuju ke lift, dan menekan tombol lalu masuk ke dalam. Nadia dengan gelisah menekan lantai tiga, dan menunggu sambil menetralkan perasaannya yang sangat gelisah.
"Semoga Bu Nara kagak galau, putus sama pacarnya. Jadi gue nggak kena omel sama omelan pedesnya. Amin!"
Ting!
Liftnya pun terbuka. Saat Nadia keluar lift, dia anehnya tak melihat siapapun di kantor. Dia mengerjapkan mata, sambil melihat sekeliling.
"Ini, gue di prank apa gimana? Kok kagak ada orang sama sekali? k*****t!"
Nadia masuk ke office bagian dalam, dan mencari kepala divisinya.
"Bu Nara. Bu Nara dimana ya Bu? Ibu yang cantik aduhai semok semplowoh... Nadia sudah di sini, Bu..."
Tapi tak ada satu orang pun disini. Mana dia udah bela - belain nebeng Evan kemari. Ya kali dia kena prank?
Nadia mendengus kesal. Dia akan mencoba mencari satpam untuk bertanya di mana kepala divisinya saja kalau begitu.
Saat Nadia berbalik, dia terkejut dengan sosok pria dengan tubuh jakung yang berada di belakangnya.
"Eh ayam, ayam!"
Matanya membelak, dan terkejut. "Felix?!!"
Felix, ya, dia adalah kekasihnya. Kekasihnya itu malah berdiri dengan tanpa ekspresi di belakangnya layak jelmaan setan yang di film - film yang Nadia tonton.
"Ngagetin aja ish! Kamu ngapain disini?"
"Ini kantor saya kan. Kenapa harus tanya. Ngapain malam - malam kamu disini? Bukannya ini jatah kamu libur, Nadia?"
Nadia menghela napasnya kesal. "Iya! Tadinya... sebelum Bu Nara telpon saya suruh datang ke kantor. Mana masih maskeran, masih rebahan, merdeka merdekanya... mana bisa liburan," omelnya.
Nadia yang masih mengomel, entah kenapa membuat Felix gemas. Dia tapi masih berusaha dingin, dan tak mau membuat wanita itu menjadi geer karenanya.
"Nara sudah pulang. Baru saja pulang."
Nadia mendongak dan membelakan mata, "Ha! Gila apa ya Bu Nara! Nyuruh gue datang, eh dia balik. Mana mobil gue mogok, gue aja datang pake acara nebeng mobil Mas Ev-"
Nadia membelakan mata, dan menutup mulutnya dengan rapat dengan tangan.
"Mampus! Pake keceplosan segala sih!" batin Nadia.
Sementara Felix menaikan sebelah alisnya. "Kamu berangkat naik mobil siapa tadi?"
Nadia masih menutup rapat mulutnya sambil menggelengkan kepalanya tak mau menjawab.
Felix, yang semakin penasaran malah memajukan langkahnya. Dan terus mengintimidasi Nadia, agar wanita itu mau membuka suaranya.
Namun, Nadia tetap bungkam sambil memundurkan perlahan langkahnya sambil waspada kepada sang kekasih.
"Nad, saya ulang pertanyaan saya. Kamu berangkat dengan siapa tadi?"
Nadia masih bungkam sambil membelakan mata waspada. Buka mulut kena, bungkam juga kena. Nggak ada enak - enaknya sama sekali jadi Nadia. Dia hanya main aman, kini dengan meringis.
"Hehe, apaan sih! Udah ah, mau-mau cari minum dulu. Aus!" Nadia mencoba mengalihkan topiknya dan menatap ke arah lain.
Tatapan Felix bagai momok untuk Nadia. Takut takut serr gimana gitu. Apalagi meski pria matang itu seolah tak peduli, menyangkut pria lain, pria itu bisa tiba - tiba jadi sangat peduli.
Wanita itu kelabakan melihat ke arah lain, sambil melihat kesekeliling. Felix pun, yang menatap wanitanya memalingkan wajah, hanya bisa terus menatap.
"Sayang..."
Nadia lemah. Dia langsung menatap memelas kearah Felix, dan memegang lengan kekar pria itu.
"Ih, Felix. Suer, aku nggak boong. Mobil aku bener - bener mogok. Terus pas aku mau cari taksi, taksi nggak ada satu pun. Nggak sempet ketemu Mas Evan tadi di jalan, terus minta tolong Mas Evan buat nebeng ke kantor. Suer... Nggak boong..."
Felix hanya menepuk puncak kepala wanita itu pelan. Itu saja respon milik Felix mengenai ucapan panjang lebar dari Nadia. Lalu, setelah itu, dia pergi meninggalkan Nadia.
Nadia, yang tak mau di tinggal mengapit lengan Felix menyusul. "Ih, jangan ninggal! Nanti aku pulang sama siapa coba?! Kamu tega banget sih, sayang."
Felix berhenti, dan menarik alisnya sebelah. "Telpon aja Mas Evan. Dia kan siaga sama kamu."
Felix melepas tangan Nadia, dan pergi begitu saja. Nadia melongo mendengarnya. Lalu, dia tertawa kecil.
"Pacar gue cemburu! Gue harus selamatan tujuh hari tujuh malam, gini caranya. Mas Evan, thanks banget... Eh, eh, gue di tinggal-SAYANG TUNGGUIN AKU!!"
Nadia berlari dengan sumringah menuju ke lift menyusul sang kekasih.