Biasanya, Ola tidak pernah kesulitan untuk berkonsentrasi dalam hal apapun, apalagi membaca buku yang disenanginya. Tenggelam dalam sebuah bacaan menarik adalah hal paling mudah yang pernah Ola lakukan. Namun, pagi ini rasanya itu begitu sulit untuk berkonsentrasi, terutama ketika otaknya sedang memikirkan hal lain.
Selama ini, ia selalu dikenal sebagai orang yang selalu fokus dengan apa yang ada di hadapannya, entah itu berhubungan dengan pekerjaan atau hal lain. Sayangnya kali ini, fokusnya memilih pergi tanpa pesan. Otaknya masih saja berpikir tentang pria asing bertubuh sangat hangat dan harum yang telah membantunya mengambilkan buku yang sekarang ada di genggamannya. Buku yang mungkin ditertawakan oleh pria itu karena dibaca wanita dewasa seperti dirinya.
Siapa orang itu sebenarnya? Ola memang tidak mengenal semua orang yang bekerja di perusahaan ini, tetapi ia juga bukan tipe orang yang mudah melupakan seseorang yang pernah ditemuinya. Terlebih, orang yang sering berkunjung ke perpustakaan ini.
Hari ini bukan hari di mana perpustakaan dibuka untuk umum, juga ini masih terlalu pagi dari jam mulai kantor, jadi bisa dipastikan jika pria itu bekerja di sini, dan memiliki akses masuk ke gedung ini.
Bibir Ola berkerut saat ia kembali mengingat sosok itu. Tubuhnya tinggi, tegap, tetapi agak kurus. Bukan tipikal pria yang suka menghabiskan waktunya di gym, tetapi memiliki tubuh yang akan membuat gadis-gadis muda menoleh dua kali terutama karena paras rupawan yang dimilikinya.
Bukannya bermata biru atau berambut coklat pirang, pria itu berambut gelap dan memiliki warna mata yang senada dengan rambutnya. Wajah pria itu mungkin bahkan lebih Asia daripada dirinya yang orang Indonesia asli.
Apa pria itu adalah calon investor baru dari Korea yang belum lama ini mereka rapatkan sebelum James pergi ke Vermont? Namun, saat itu mereka belum membicarakan kesepakatan apa-apa mengenai rencana membuka bisnis waralaba Goldmart di Korea Selatan. Jadi, pria itu seharusnya bukan investor.
Lalu siapa dia sebenarnya?
Merasa frustasi karena tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, Ola menutup bukunya dengan keras dan bersyukur tidak ada orang lain di sekitarnya karena jika ada orang di situ, ia pasti akan menghadapi banyak teguran atas kegaduhan yang ditimbulkannya.
Matanya menyusuri berbagai lorong yang bisa dijangkau dari tempatnya duduk sekarang, dan menemukan pria asing itu di antara barisan rak bertema ‘CULTURE’.
Kening Ola kembali berkerut melihatnya. Biasanya, seorang eksekutif muda seperti pria tersebut, akan lebih memilih bagian bisnis atau olahraga. Bagian culture lebih banyak diisi oleh anak-anak magang, atau para mahasiswa ilmu budaya dan sastra jika kebetulan perpustakaan ini sedang dibuka untuk umum.
Ia mengamati pria itu membaca sebuah buku yang tidak Ola tahu judulnya. Kepalanya menunduk dengan serius menatap buku di tangannya, sementara tubuhnya bersandar santai di rak belakangnya.
Usianya mungkin tidak jauh dari dirinya. Bahkan bisa saja pria itu lebih muda satu atau dua tahun darinya. Wajahnya terlihat sangat imut dengan hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Pakaiannya juga terlihat mahal dan berkelas, semuanya tampak dijahit sesuai dengan tubuhnya. Ia pasti bukan orang sembarangan.
Secara keseluruhan, pria itu menarik, dan selama ini, Ola tidak pernah merasa penasaran pada satu orang pria pun. Meskipun ia mencintai New York dan semua yang ada di dalamnya, itu tidak termasuk dengan pria-prianya. Kebanyakan wanita Asia sangat ingin memiliki pasangan pria asing Amerika atau negara lain yang memiliki warna mata dan rambut yang jarang ditemukan di Asia.
Akan tetapi, Ola bukanlah perempuan kebanyakan dan lagipula, ia memang tidak pernah tertarik untuk menjalin suatu hubungan. Jadi, baginya pria hanyalah mahkluk berjenis kelamin lain yang memiliki ego setinggi gunung Himalaya dan sikap protektif yang berlebihan seperti ayah dan Opanya.
Ola hanya menjalin hubungan pertemanan dan hubungan professional dengan para pria. Selain itu, tidak akan pernah terjadi.
Oke, ini bukan tentang jenis ketertarikan fisik pada pria yang kini beranjak ke bagian ‘NOVEL’ itu. Ada sesuatu dalam kepalanya yang membuatnya tergelitik ingin tahu tentang pria itu. Sesuatu yang sejak tadi terasa mengganggu, dan itu juga sangat membuatnya frustasi. Bagian di kepalanya menjeritkan sesuatu seperti pernah melihat pria itu sebelumnya.
Seakan tahu jika sedang diperhatikan, pria itu menoleh ke arah Ola, hingga membuat wajahnya terasa panas saat melihat mata hitam dan tajam yang dipayungi sepasang alis tebal itu menatapnya.
Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia tidak pernah salah tingkah, apalagi bersemu merah, saat ada pria yang menatapnya. Biasanya, justru dirinyalah yang selalu membuat para pria salah tingkah dengan tatapan dinginnya. Lalu kenapa pria itu bisa melakukan yang sebaliknya sekarang?
Ola merasakan wajahnya memanas, bahkan tidak hanya wajahnya, seluruh tubuhnya juga bereaksi terhadap tatapan dingin itu. Kening pria itu berkerut, seakan juga sedang mencoba mengingat sesuatu seperti yang dilakukannya tadi.
Menyadari bahwa pria itu tidak akan mengalihkan pandangannya, Ola hanya tersenyum kaku sambil menganggukkan kepala. Ia meraih buku yang diletakkannya di meja, mengembalikannya ke keranjang tempat meletakkan buku-buku yang sudah selesai dibaca, dan segera pergi tanpa menoleh lagi.
Punggungnya bahkan masih terasa panas karena ia menyadari jika pria aneh itu masih saja menatapnya. Ola jelas melakukan sebuah kesalahan besar dengan datang kemari pagi ini. Seharusnya tadi ia langsung ke kantornya saja dan bekerja lebih awal.
Ketika lift yang akan membawanya ke lantai kantornya beranjak naik, Ola baru bisa bernapas dengan lega. Ia menyandarkan kepala di dinding sambil terengah-engah seakan baru saja lolos dari sebuah kejahatan yang menegangkan.
Ini pasti karena ia terlalu banyak menonton film-film kriminal dan misteri. Seharusnya ia menonton film komedi atau romantis seperti yang disukai ibunya. Sayangnya, Ola benci segala sesuatu yang berhubungan dengan romantisme menjijikkan itu. Kenapa orang-orang selalu bersikap konyol jika sudah berhubungan dengan cinta?
Ketegangan dan kegugupan yang tadi Ola rasakan di perpustakaan langsung hilang begitu ia membuka pintu ruang kantornya yang luas. Ola tersenyum saat menatap ruangan luas dan elegan yang ia desain sendiri itu.
Meja kantor besar berwarna putih, ia letakkan persis di depan jendela yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan kesibukan jalan di bawahnya. Sebuah kursi besar yang juga berwarna putih, melengkapi meja kerjanya yang ditata rapi itu.
Selain itu, ada sofa lain yang juga berwarna putih di tengah-tengah ruangan, untuk mengadakan rapat kecil darurat dengan timnya, atau menemui James yang suka tiba-tiba berkunjung ke kantornya. Di sudut lain, ada lemari pendingin, juga rak besar berisi buku-buku.
Yeah, tidak cukup dengan perpustakaan di bawah, ia juga membawa beberapa koleksi miliknya ke kantor. Kadang, jika dirinya terlalu malas untuk turun, Ola akan lebih memilih membaca buku di sini.
Ia pasti akan merindukan tempat ini nanti saat cuti. Tempat ini sudah seperti rumah kedua baginya. Bahkan sesungguhnya, Ola lebih sering menghabiskan waktunya di sini daripada di apartemennya. Ia juga memiliki ruang istirahat pribadi di sudut ruangan lain jika terlalu larut untuk pulang ketika dirinya sedang lembur.
Suara ponselnya bergema di ruangan sunyi itu saat Ola duduk di kursi. Ia sudah tahu siapa yang meneleponnya di pagi hari seperti ini. Jika ayah akan selalu meneleponnya setiap malam, maka bunda akan meneleponnya setiap pagi sebelum jam kantor dimulai.
“Kenapa Bunda belum tidur?”
“Well, halo juga, Nak. Kabar kami baik di sini.”
Ola menghela napas sambil memutar bola mata. “Hai, Bunda, aku sudah sarapan dan sudah membaginya pada Drew,” ulang Ola dengan lebih manis.
Meskipun tidak bisa melihatnya, Ola tahu jika bundanya sedang tersenyum. “Kamu baik sekali selalu membawakan sarapan untuk pria tua itu, Nak. Sampaikan salam kami padanya.”
Sebelum Ola sempat menjawab, ia mendengar suara ayahnya menyela.
“Itu karena ia tidak memiliki orang lain yang ia buatkan sarapan di rumah. Coba saja dia punya suami, pasti pria tua itu tidak akan mendapatkan sandwich lagi.”
Jika kebanyakan di luar sana, para ibulah yang selalu khawatir tentang anak gadisnya yang belum menikah, maka pada orang tuanya, itu terjadi sebaliknya. Ayahnya selalu khawatir karena ia belum menikah di usia sekarang, meskipun ayah juga tidak ingin ia memilih pria yang salah sebagai suaminya. Ironis kan?
Jika saja tidak mengenal ayahnya dengan baik, mungkin Ola sudah berpikir jika ayah telah memilihkan seorang pria yang akan dijodohkan padanya saat ia pulang nanti. Namun, Ola masih tidak ingin memikirkan kemungkinan tersebut. Ia masih mencoba berbaik sangka kepada ayahnya.
“Jangan mulai lagi, atau anak kita akan menolak untuk pulang.”
Apa kalian tahu satu hal yang membuat Ola sangat mencintai bundanya? Itu karena bunda selalu berada di sisinya, tidak peduli meskipun keputusan hidupnya adalah sesuatu yang tidak bisa diterima ayah ataupun Opa.
Dulu, sebelum kembali menikah dengan ayahnya, Bunda adalah wanita paling mandiri yang pernah Ola kenal. Meskipun kehidupan mereka saat itu sulit, Bunda tidak pernah mengeluh dan selalu mencoba memberikan yang terbaik untuk Ola.
Tumbuh besar sebagai seseorang yang tidak pernah mengenal orang tua kandungnya, membuat Bunda menjadi wanita yang tidak pernah menggantungkan hidupnya pada seorang pria. Pagi harinya, setelah menitipkan Ola pada ibu pemilik kontrakan yang kini ia anggap neneknya sendiri, Bunda akan bekerja di sekolah, lalu malam harinya mengambil job jasa penterjemah karya ilmiah atau skripsi berbahasa asing.
Mungkin hal itu juga yang membuat Ola ingin menjadi wanita yang kuat seperti Bunda. Walaupun sekarang Bunda sudah bertemu dengan keluarga kandungnya, juga sudah hidup bahagia bersama ayah, di mata Ola, Bunda tetaplah wanita terkeren yang pernah ia kenal. Dan sungguh menyenangkan karena wanita keren itu adalah ibu kandungnya sendiri.
“Jadi, kamu sudah mendelegasikan pekerjaanmu pada timmu nanti?”
Ola mengembuskan napas. “Aku akan mengadakan rapat dengan mereka siang ini atau besok. Hari ini ada rapat mendadak untuk perkenalan putra atasanku yang akan menggantikannya sementara.”
“Ah, si anak misterius yang tidak pernah kalian kenal itu?”
“Yep, itu dia. Anak misterius yang akhirnya muncul ke publik.”
“Apa menurutmu dia tampan? Atau berwajah sama dinginnya dengan atasanmu itu?”
Pertanyaan itu membuat Ola terkekeh. dan selanjutnya mereka membicarakan hal-hal menyenangkan yang selalu mereka bagi berdua. Bundanya adalah satu-satunya teman terbaik yang Ola miliki. Bahkan saat kuliah dulu, ia tidak memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya.
Ia memang bukan gadis yang mudah membuka diri kepada orang lain walaupun itu orang yang sebaya dengannya dan dikenalnya selama ia kuliah. Ola berteman dengan siapa saja tetapi tidak pernah mendekatkan diri secara khusus kepada satu atau dua orang. Ia jauh lebih nyaman seperti ini, berteman dengan dirinya sendiri.
“Aku rasa, aku harus pergi sekarang, Bun. Rapatnya akan segera dimulai dan aku ingin menyiapkan beberapa laporan jika nanti ia meminta laporan dari setiap direktur.”
“Jangan telat makan siang. Bunda dan ayah selalu menyayangimu, Nak.”
Itu adalah yang bunda katakan setiap kali menutup percakapan mereka, dan Ola selalu hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas sebelum menutup telepon tanpa membalas pesan kasih sayang itu.
Ia sering mengirimkan balasan emot tanda cinta setiap kali berkirim pesan pada bunda atau ayah, tetapi jika mengatakannya langsung, Ola jarang sekali melakukan itu. Entahlah, bibirnya seperti terlalu berat mengatakan hal seperti itu. Lagipula, tanpa harus mengatakannya, Bunda pasti tahu jika ia juga menyayangi mereka.
Memutuskan tidak akan bersikap sentimentil lagi pagi ini, Ola menghidupkan komputer, dan tidak lama langsung tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak menyadari jika waktu berlalu terlalu cepat. Ia mungkin saja akan melewatkan rapat seandainya sekretarisnya tidak mengetuk pintu dan mengatakan jika rapat akan segera dimulai.
Ola melepaskan kacamatanya sambil melirik jam tangan. Pukul sebelas kurang sepuluh menit. Ia memang selalu lupa waktu jika sudah bekerja. Biasanya ia juga sering melewatkan makan siang.
Sekretarisnya, Jules, si gadis muda yang berusia 23 tahun itu sering mengajaknya makan siang bersama, tetapi Ola lebih sering menolak daripada menerima ajakannya hingga Jules berhenti mengajaknya. Dan itu membuat Ola lebih sering memesan makanan pesan antar di waktu-waktu yang sudah mepet dan melahapnya sambil tetap menatap layar komputer.
Jika bunda tahu bagaimana ia selalu menghabiskan hari-harinya di sini, wanita itu pasti akan marah besar. Keluarganya adalah tipikal yang selalu makan tepat waktu dan menikmati saat makan mereka bersama orang-orang tersayang.
Namun, hidup dekat dengan keluarga, berbeda dengan hidup sendirian di negara asing di mana, seperti yang dulu ayahnya katakan, tidak ada satu keluarga pun yang ia miliki. Ola sudah terbiasa hidup dengan pola seperti itu selama sebelas tahun ini, dan jujur, ia menikmatinya.
Hampir semua orang sudah berkumpul di ruang rapat saat Ola sampai dan duduk di kursinya yang biasa. Ia tersenyum pada Shane, Direktur pemasaran yang duduk di sebelahnya.
Jika ada hal yang sangat menyenangkan tentang bekerja di sini, itu adalah banyaknya direktur bagian yang masih berusia muda. Mereka rata-rata berusia di bawah 40. Bekerja dengan orang-orang yang seumuran atau tidak berbeda jauh, lebih menyenangkan daripada bekerja dengan yang lebih senior. Mereka tidak akan dicibir jika memunculkan ide yang mungkin dianggap agak aneh.
Mereka bercakap-cakap santai sebelum Stevan memasuki ruangan diikuti dengan seseorang di belakangnya. Saat Ola melihat siapa yang masuk bersama Stevan, napasnya terkesiap. Dia, pria perpustakaan itu adalah anak James!